Jika ada orang asing yang benar-benar membuat Han Sen waspada, Orang buta pasti termasuk salah satunya.
Pada awalnya saat secara tak sengaja bertemu Orang buta, sang tunanetra memberikannya sebuah buku yang mirip dengan Aliran Kenaifan Suci. Saat itu Han Sen belum merasakan apa-apa, namun kemudian Orang buta ternyata mengirimkan tungku tiga kaki berukiran pola Kucing Darah Sembilan Nyawa, membuat Han Sen mulai mencium keanehan.
Jika Orang buta adalah anggota Sekte Darah Hidup, mengapa dia mengirimkan barang itu ke Han Sen? Pertanyaan ini membuat Han Sen mengernyitkan dahi.
Identitas sang tunanetra membuat Han Sen waspada. Menurut penjelasan Penerus Sekte Xuan, Sekte Darah Hidup adalah aliran kuno yang memiliki jagoan sejati. Bahkan sang ahli pun mengingatkan Han Sen untuk berhati-hati jika bertemu dengan penerus sejati sekte tersebut, membuat Han Sen tentu tak bisa meremehkan.
"Ikuti aku." Bisik Orang buta sambil melintas di sisi Han Sen tanpa menoleh, suaranya sengaja direndahkan.
Han Sen mengerutkan kening, tapi tetap berbalik mengikuti si tunanetra. Di wilayah Alliance ini, selama tidak memasuki area privat, bahaya besar tidak akan mengintai.
Untungnya Orang buta tidak menuju ke tempat rahasia, sehingga Han Sen pun tanpa keraguan mengikutinya. Setelah berganti ke jalur pejalan kaki, mereka langsung masuk ke sebuah restoran prasmanan layanan pintar penuh. Setelah menggesek kartu untuk masuk, Han Sen mencari sudut ruangan yang sepi dan tak berpenghuni lalu duduk.
"Kenapa kamu mengirim tungku obat seperti itu padaku?" Han Sen menuduh si Orang buta.
Orang buta malah terkekeh, mengucapkan kalimat yang di luar dugaan Han Sen: "Aku bukan mengirim barang padamu, tapi sedang menyelamatkan nyawamu."
Han Sen yang bukanlah anak kecil yang mudah diintimidasi, sepanjang hidupnya tak pernah percaya takhayul. Mendengar itu ia langsung mengerutkan kening: "Percuma bicara omong kosong, aku tak punya waktu untuk mendengar ocehanmu. Langsung ke intinya!"
Orang buta tak tersinggung, masih tetap tersenyum bahagia: "Ini bukan basa-basi. Barang itu benar-benar bisa menyelamatkan nyawamu. Simpan baik-baik, sebelum kenaikan level ke semi-dewa, pastikan untuk memakan benda di dalamnya."
"Kamu pikir aku akan memakannya?" Han Sen merasa dirinya tidak gila, berarti pasti orang buta ini yang gila. Bagaimana mungkin dia mau makan barang tanpa alasan seperti itu, apalagi barang itu kemungkinan besar terkait dengan Sekte Darah Hidup.
"Ya." Orang buta itu mengangguk dengan penuh keyakinan.
Han Sen menyeringai dingin: "Kalau begitu tunggu saja."
Setelah berkata demikian, Han Sen berdiri hendak pergi. Meski sangat ingin tahu tentang urusan Sekte Darah Hidup dan identitas asli si orang buta, tapi jelas-jelas orang buta ini tidak berniat serius berbicara dengannya. Bagi seseorang yang tidak mau bekerja sama, bicara panjang lebar pun percuma.
"Aku takkan menghalangimu pergi, tapi setidaknya lihatlah ini dulu." Orang buta itu tetap tenang, seolah sama sekali tidak khawatir Han Sen akan pergi.
Han Sen menoleh dan melirik. Namun pandangan sekilas itu membuat pupilnya menyempit, seluruh tubuhnya membeku seolah dikenai mantra penguncian gerak. Matanya mengawasi ketat sesuatu yang ditekan oleh jari orang buta itu.
Jari-jari orang buta itu kasar, pendek dan kekar. Tangan yang penuh kesan tenaga. Di bawah jari tengahnya, tertekan sebuah cincin. Cincin logam mulia biasa yang dihiasi batu permata. Warna perak mengkilap, dengan batu permata seukuran biji kacang yang transparan tak berwarna seperti berlian.
Bukan cincin yang istimewa. Bahkan di dalam Shelter sekalipun, di Alliance ini hanyalah cincin biasa belaka.
Tapi Han Sen mengenal barang ini. Karena cincin seperti ini juga dipakai di tangan ibunya. Sejak dia mulai ingat, sang ibu tak pernah melepasnya. Itu adalah cincin pernikahan ibunya dengan ayahnya.
Desain cincin ini sangat mirip dengan milik ibunya, hanya sedikit lebih besar. Han Sen samar-samar ingat, saat masih kecil, cincin yang selalu dipakai ayahnya di tangan adalah yang satu ini.
Si buta melihat Han Sen membeku, lalu menggunakan jari tengahnya untuk perlahan-lahan mendorong cincin ke tepi meja yang dekat dengan Han Sen, sebelum menarik kembali tangannya.
Han Sen menyambar cincin itu dan melihat ke bagian dalamnya. Terpahat tiga karakter: "Ai Zhi Lan". Ekspresinya langsung berubah drastis.
Ia mengingat tiga kata ini. Suatu kali di masa kecilnya, ayah membawanya ke taman belakang rumah tua untuk menggali kolam ikan sendiri. Khawatir cincinnya kotor, ayah melepas dan memberikannya kepada Han Sen untuk dipegang.
Saat itu Han Sen belum banyak mengenal karakter. "Ai" dan "Zhi" ia tahu, tapi karakter "Lan" tidak. Ia pun bertanya pada ayah bagaimana cara membacanya dan apa artinya.
Ayah memberitahu Han Sen bahwa karakter itu dibaca Lan, yang mewakili ibunya. Setelah Han Sen mempelajari lebih banyak karakter, dia merasa heran: ibunya jelas-jelas bernama Luo Sulan dengan karakter 'Lan' (anggrek), mengapa cincin ayahnya diukir dengan karakter 'Lan' yang berbeda ini?
Baru beberapa tahun terakhir Han Sen mengetahui bahwa nama asli ibunya adalah Luo Lan, menggunakan karakter 'Lan' yang sama ini.
Tapi karena saat itu Han Sen masih terlalu kecil, hanya memiliki kesan samar, dia tidak bisa membedakan apakah cincin di tangannya sekarang adalah cincin yang sama dulu.
"Apa ini?" Han Sen menatap tajam si Tunanetra, sengaja tidak mau bicara dulu untuk menghindari jebakan pertanyaan.
Si Tunanetra terkekeh pendek. Suaranya serak, bukan serak karena penuaan yang membuat pita suara kehilangan kelenturan, melainkan seperti kerusakan akibat konsumsi alkohol dan rokok berlebihan.
"Jika kamu tidak mengenalinya, bawa saja kembali ke Luo Lan. Dia pasti tahu."
Han Sen di hatinya langsung tegang, mengawasi ketat Orang Buta cukup lama, barulah bertanya kata demi kata: "Kamu mencariku hanya untuk ini?"
"Tuan cincin ini menyuruhku menyampaikan pesan, sebelum kenaikan semi-dewa, wajib memakan barang di dalam tungku." kata Orang Buta.
"Mengapa harus? Cuma mengandalkan Dia? Sekalipun ini benar cincin itu, lalu bagaimana?" Han Sen memandang dingin ke Orang Buta. Di usianya yang sudah lewat masa mudah bersemangat, sekalipun ayahnya hidup-hidup muncul di hadapannya, tetap harus dipastikan dulu keasliannya.
Orang Buta menghela nafas pelan, lalu berkata perlahan: "Tahukah kamu warna kucing itu?"
Han Sen tiba-tiba membeku, tak mengerti maksud ucapan Orang Buta. Kenapa tiba-tiba membahas warna kucing? Kucing di Tianxia begitu banyak, setan tahu warna macam apa yang dia maksud.
"Ini bukan kode rahasia Sekte Darah Hidup kalian, kan? Aku bukan anggota Sekte Darah Hidup, percuma bicara seperti ini padaku." Suara Han Sen terdengar dingin.
Si orang buta menggelengkan kepala, melanjutkan bicaranya sendiri: "Kucing itu berwarna biru, karena ada yang mengecatnya menjadi biru."
Begitu mendengar kalimat ini, kepala Han Sen langsung terasa seperti dipenuhi jutaan guntur menggema, membuat otaknya blank seketika dan nyaris tak bisa berpikir.
Saat masih kecil, Han Sen punya sifat sangat lincah. Kala itu di rumah mereka memelihara kucing putih tua berjenis Persian tidak murni. Kucing gendut berbulu panjang itu selalu malas-malasan berjemur di pekarangan, tak peduli seberapa sering Han Sen menggodanya.
Suatu kali Han Sen impulsif menggunakan cat lukis untuk mengecat seluruh tubuh kucing itu menjadi biru. Saat itu hanya ayahnya yang ada di rumah, dan ayahnya marah besar sambil memarahinya habis-habisan, melarangnya menyentuh kucing tua peninggalan Tai Yeye itu lagi.
Itu pertama kalinya Han Sen melihat orang selembut ayahnya meledak amarah, sehingga ia ingat betul kejadian itu.
Belakangan mereka berdua membersihkan kucing itu bersama, tapi beberapa hari setelah kejadian, kucing tua itu sakit dan mati. Han Sen waktu itu sedih lama, merasa mungkin dialah penyebab kematian si kucing.
