Han Sen tahu sekarang sudah terlambat untuk mencegah, terpaksa mendarat di samping sambil menunggu kesempatan, berharap bisa menemukan celah untuk membantu Raja Ikan Terbang.
Kilau keemasan-merah bergerak dengan kecepatan luar biasa, tak lama kemudian sudah mendekati danau besar. Terlihat air sungai berbalik arah, bergulung-gulung seperti ombak raksasa yang membanjiri danau, diikuti oleh raga bercahaya keemasan milik Raja Ikan Terbang.
"Yang Mulia, haruskah kita menghindar?" Yasha buru-buru menoleh ke Sang Ratu dan bertanya.
Sang Ratu berkata dengan datar: "Tidak perlu, awasi saja."
"Tidak melakukan Pemburuan Naga Terbang Ikan?" Ekspresi wajah Yasha berubah sedikit, jelas dia tidak menyangka akan ada perubahan seperti ini. Awalnya dia mengira Sang Maharani akan memburu Naga Terbang Ikan, namun melihat sikapnya sekarang, sepertinya tidak ada niatan untuk menyerang.
"Sementara tidak perlu. Tunggu sampai dia dan Sulur Birusak saling melukai parah baru kita bertindak." Sang Maharani berkata dengan tenang.
Yasha tidak berkata-kata lagi, menunduk dan mundur ke samping. Hanya sorot matanya yang terus berubah-ubah, sesekali melirik pria manusia yang duduk di tepi danau itu.
Yasha sangat yakin, sebelumnya Sang Maharani memang berniat memburu Naga Terbang Ikan. Tapi pengunduran diri tiba-tiba ini, pasti ada hubungannya dengan pria yang muncul mendadak ini.
Hanya saja Yasha tidak bisa menembus asal-usul pria ini. Ditambah kehadiran Sang Maharani di sampingnya, dia pun tidak berani melakukan gerakan mencurigakan.
Raja Ikan Terbang telah berenang memasuki danau raksasa, mengelilingi wilayah perairan beberapa kali. Saat melintas dekat lokasi Sang Maharani, sorot mata ikannya sempat menyapu wajah sang penguasa.
Mungkin karena masih merasakan kehadiran Sang Maharani, kali ini Raja Ikan Terbang tak terburu-buru melawan arus. Ia berenang berputar-putar dalam danau cukup lama, tanpa tanda-tanda akan menerjang air terjun.
Mentari pagi mulai menyemburat di ufuk timur, tanda kemampuan Jubah Malam hampir habis. Han Sen terpaksa menyelinap ke dalam rumpun pepohonan di sekitarnya, menyamar dengan menyatukan aura tubuhnya ke dalam denyut kehidupan vegetasi.
Sejak Jing Dongxuan membuka kunci gen ketujuh, kemampuan persepsi dan simulasi Han Sen mencapai tingkat mikroskopis. Kini ia bisa meniru tak hanya aura makhluk perkasa, tapi juga getaran energi sekecil rumput atau dedaunan.
Dulunya Han Sen menganggap kemampuan ini tak berguna. Tapi di momen genting ini, justru teknik tersebut yang menyelamatkannya.
Han Sen tiarap di antara semak-semak, seolah telah menyatu dengan vegetasi. Jika tidak menyaksikannya secara langsung, sulit menemukan dia yang menyelinap di balik rerumputan.
Alasan tidak bersembunyi di balik bebatuan adalah kekhawatirannya akan runtuhnya struktur gunung jika pertempuran besar benar-benar terjadi, yang akan memaksanya pindah posisi.
Bersembunyi di antara pepohonan relatif aman. Bahkan jika pohon tumbang menghujam tubuhnya, itu hanya sensasi biasa tanpa memaksa perubahan posisi persembunyian.
Senja mulai menyapu ufuk timur, mengisyaratkan fajar yang segera tiba.
Air terjun megah bagai naga perak itu tiba-tiba menyusut alirannya, perlahan terputus sama sekali, tak ada setetes pun air yang masih menetes dari langit.
Lapisan awan pun berangsur-angsur bubar. Matahari yang terbit perlahan meleburkan lautan awan, menyingkap cadar mistis dari gunung raksasa yang menjulang tinggi bak menembus langit.
"Aneh, terakhir kali di siang bolong lautan awan tidak bubar, kenapa kali ini lautan awan ternyata bubar? Dan air terjunnya juga kering?" Han Sen mengerutkan kening halus.
Tapi cepat dia mendapat jawaban, di puncak gunung tumbuhan rambat ungu telah menjuntai seperti naga-naga ungu raksasa, menutupi lebih dari separuh gunung di bawahnya.
Sulur ungu ini kini telah membesar tak terkira, sementara makhluk mengerikan yang ditumpanginya sudah berubah menjadi tumpukan tulang putih.
Han Sen memusatkan pandangannya, menemukan sulur ungu raksasa ini terbagi dalam tujuh batang utama, setiap batang utama tumbuh sebuah buah hijau giok.
Buah-buah itu tumbuh dengan bentuk yang sangat unik, bukan termasuk jenis melon atau buah-buahan biasa, lebih mirip bel-bel hijau giok yang tergantung di tumbuhan rambat. Setelah lautan awan menghilang, tiupan angin sepoi-sepoi menyentuhnya, buah hijau giok yang berbentuk seperti bel itu bergoyang perlahan, dan benar-benar mengeluarkan suara 'ding-dang' seperti lonceng unta yang bergema lama tak hilang, melayang-layang di antara pegunungan dan sungai.
Meski bentuknya agak mirip bel, tapi ukurannya jauh lebih besar puluhan kali lipat dari bel biasa. Yang terkecil seukuran semangka, sedangkan yang terbesar seperti batu gilingan.
Han Sen menyimak dengan seksama, tujuh bel mengeluarkan suara yang berbeda-beda, seolah mewakili tujuh not musik.
Di antara gemerincing suara bel itu, sinar matahari menyinari buah-buah tersebut. Han Sen terkejut melihat para penyihir terbang atau dewi-dewi menari-nari mengelilingi buah-buah itu dengan gemulai.
Buah-buah itu diselimuti sinar jingga mengalir, diiringi getaran musik surgawi, dikelilingi penyihir-penyihir terbang, menciptakan pemandangan penuh cahaya aneh yang tak terucapkan.
Meski Raja Ikan Terbang masih memiliki pertimbangan, gen bawaan lahir dan sifat aslinya membuatnya sulit menahan godaan Buah Biluo. Dengan kibasan siripnya, ia tiba-tiba melesat ke angkasa, berubah menjadi semburan cahaya keemasan yang menerjang sulur ungu di puncak gunung.
Sulur ungu yang mirip naga itu langsung bergerak, menyambarkan aliran sinar ungu ke arah tubuh Raja Ikan Terbang.
Berbekal pengalaman sebelumnya, ditambah Raja Ikan Terbang sepertinya semakin berkembang dalam beberapa waktu ini, cahaya keemasan di tubuhnya berubah-ubah. Di atas kepalanya muncul tanduk emas, sisik-sisik keemasannya berkilauan. Dengan kibasan ekor bercahaya seperti ikan melewati arus deras, ternyata ia berhasil menghindar dari samping sulur ungu itu.
Satu per satu sulur ungu menyambar seperti sinar jingga, namun Raja Ikan Terbang yang berkeliaran di langit berhasil menghindari semua semburan cahaya ungu itu, sambil berputar-putar menuju sebutir Buah Biluo.
Sang Maharani dan pria manusia itu sama-sama mengawasi Raja Ikan yang terbang di langit. Sang pria menunjukkan ekspresi bermain-main, bahkan ada secuil belas kasih di dalamnya. Entah belas kasih ini ditujukan pada siapa.
Han Sen melihat Raja Ikan Terbang telah menembus rintangan sulur ungu yang bertumpuk-tumpuk. Jarak menuju Buah Biluo itu tinggal kurang dari sepuluh meter, tapi Sang Maharani dan yang lain masih belum bergerak.
Tiba-tiba, para penyihir terbang yang mengelilingi Buah Biluo itu bergerak serempak. Mereka menyerbu ke arah Raja Ikan Terbang.
Hati Han Sen berdesir. Awalnya ia mengira para penyihir itu hanyalah ilusi saat Buah Biluo matang, bukan entitas nyata.
Tapi kini jelas, para penyihir terbang itu bergerak lincah bagai makhluk hidup. Dalam sekejap mata, mereka telah mengerumuni sang Raja Ikan dengan selendang-selendangnya yang melayang.
Riben-riben sutra yang meliuk-liuk mengikuti gerakan para penyihir terbang yang berpindah-pindah, menyilang dari tubuh Raja Ikan dan akhirnya mengikatnya di tengah jalinan tersebut.
Cahaya keemasan memancar dari tubuh Raja Ikan yang berusaha melepaskan diri dari ikatan riben para penyihir terbang, namun setelah beberapa kali meronta, tetap gagal membebaskan diri.
Sebaliknya, riben di tangan para penyihir malah semakin banyak melilit dan mengencangkan ikatan di tubuh sang raja ikan.
Tanduk emas di kepala Raja Ikan menyala terang, sisik-sisik keemasannya berdiri tegak seperti sisik naga yang marah, dalam sekejap memutus semua riben yang membelitnya dan berhasil melepaskan diri.
Riben yang terputus itu membuat para penyihir cantik berubah menjadi kerangka mengerikan tanpa aura surgawi, meneriakkan teror sambil menerjang Raja Ikan.
