Maharani melihat Han Sen berhenti bergerak, malah berusaha menahan langsung guncangan tombak kuno perunggu di tangannya. Dengan mendengus keras, sorot mata jahatnya berkilat saat tombak itu berputar kencang seperti bor menyerang Han Sen.
Rotasi dahsyat tombak itu menusuk kehampaan hingga senjata perunggu itu seolah menghilang, tak terlacak ke mana perginya.
Han Sen sama sekali mengabaikan keberadaan tombak tersebut. Sorot matanya tertancap tajam pada Maharani sambil mengerahkan seluruh tenaganya ke dalam pedang malaikat di genggamannya.
Pedang malaikat yang transparan itu kini berkilauan ilusif. Distorsi ruang membuat bilahnya nyaris tak terlihat di antara jurang pemisah dimensi, hanya menyisakan pancaran cahaya tembus pandang yang terus bermetamorfosis.
Pada sekejap tombak kuno perunggu menghilang, Han Sen juga mengenggam erat Pedang Malaikat dengan kedua tangannya, menghantamkan pedangnya ke arah Sang Maharani.
"Matilah!" Sorot kegirangan melintas di mata Sang Maharani. Saat tombak perunggu kuno muncul kembali, ujungnya telah menusuk di titik tengah dahi Han Sen.
Sementara pedang besar Han Sen belum sempat diayunkan, Sang Maharani 100 persen yakin bisa menembus tengkorak musuhnya sebelum pedang itu jatuh.
Brak!
Darah mengotori langit. Rambut panjang Sang Maharani berkibar liar. Kedua matanya membelalak ketakutan hingga batas maksimal, wajahnya dipulas rasa tak percaya.
Tubuhnya telah terbelah dua tepat di tengah. Dua bagian wajah yang dipenuhi ekspresi teror dan separuh badan itu beterbangan dalam guyuran darah, jatuh terpisah ke kedua sisi.
Ular Perunggu Raksasa itu langsung panik, berbalik badan ingin melarikan diri.
Han Sen kembali memenuhi keinginannya, kekuatan misterius dalam tubuhnya bangkit lagi dan menyatu. Dengan menggerakkan Raja Ikan yang ditungganginya, dia menghantam Ular Perunggu Raksasa dalam semburan sinar jingga.
Ular Perunggu Raksasa yang sudah kehilangan semangat tempur setelah Sang Maharani terbunuh, berusaha kabur dengan tubuh besarnya menerjang batuan untuk menyelam ke bawah tanah.
Namun dalam kilatan sinar jingga itu, Han Sen sudah berada di belakang Ular Perunggu Raksasa.
Qin Xuan yang sedang bersembunyi di gua dengan Bao'er, terpaksa bergegas keluar karena gempa tiba-tiba yang membuat gua bergoyang.
Di luar, pandangan Qin Xuan disambut tabrakan epik antara cahaya keemasan dan sinar hijau kebiruan yang menghancurkan gunung-gunung bahkan aliran sungai sekalipun.
Kedua kekuatan maut itu bergerak cepat ke arah mereka, membelah tanah dengan retakan mengerikan yang sulit dibayangkan.
Qin Xuan mana lagi berani terus membaca di sini, langsung memeluk Bao'er sambil berbalik dan kabur mati-matian.
Tapi Qin Xuan sendiri baru saja naik ke Perlindungan Ketiga belum lama, mendapatkan beberapa gen juga tidak berarti, kecepatannya masih biasa-besaja, sama sekali tidak bisa mengalahkan cahaya emas dan kilatan hijau itu.
Belum jauh melarikan diri, baru sampai di lereng gunung, tiba-tiba mendengar geraman mengerikan dari belakang. Qin Xuan menoleh sebentar, langsung berteriak dalam hati: Habislah!
Tampak kilatan hijau itu sudah mendekat di belakang, dan masih terus mendekat dengan kecepatan luar biasa.
Dengan jarak sedekat ini, dalam sekejap Qin Xuan akhirnya melihat jelas apa sebenarnya kilatan hijau itu.
Itu adalah ular raksasa mengerikan yang ditempa dari perunggu, persis seperti piktogram tumbuhan purba yang dipuja manusia zaman dulu. Tubuhnya sebesar naga sejati, aura dan mulut ular yang menganga itu sungguh mengerikan sampai puncaknya.
Melihat Ular raksasa yang mengerikan itu menerjang turun, Qin Xuan langsung tak punya jalan kabur. Secara tidak sadar ia menggunakan raganya untuk mengawal Bao'er dalam pelukannya. Meski tahu tindakan ini tak berguna - satu gigitan saja sang ular bisa melubangi tanah besar-besaran bersama mereka - tapi Qin Xuan tetap melakukan gerakan protektif reflektif ini.
Sebenarnya Qin Xuan hanya terkena bencana tak terduga. Ular itu sebenarnya ingin menerjang ke bawah tanah. Kebetulan Qin Xuan yang membawa Bao'er justru lari ke sini, sehingga tanpa sengaja masuk ke dalam mulut ular.
Dengan raga membelakanginya melindungi Bao'er, mata Qin Xuan tetap mengawasi ketat Ular raksasa itu. Meski dilanda keputusasaan, ia tak menutup kelopak matanya.
Inilah kualitas seorang tentara sejati. Menutup mata tak akan menyelesaikan masalah, bahaya tak akan menghilang. Tapi dengan mata terbuka, mungkin masih ada kesempatan melihat harapan.
Qin Xuan adalah tentara standar. Karena itu ia tetap membuka matanya lebar-lebar. Namun yang terlihat bukanlah keputusasaan.
Menyaksikan mulut ular berdarah itu telah menyelimuti mereka, bayangan telah menutupi tubuh mereka. Dalam sekejap, Qin Xuan membuat respons cepat - melemparkan Bao'er ke kejauhan.
Waktu yang teramat singkat sama sekali tidak memberi ruang pertimbangan. Qin Xuan bahkan lupa bahwa Bao'er adalah roh binatang. Hanya insting untuk memberikan secercah harapan hidup padanya yang mendorongnya melemparkan bocah itu.
Setelah melemparkan Bao'er, Qin Xuan berdiri sendiri menghadapi bayangan maut. Keputusasaan masih mengisi hatinya, namun ada kelegaan kecil karena telah menyelamatkan yang lain.
Kres!
Mulut ular telah membungkus tubuh Qin Xuan. Kepalanya hampir menyentuh taring ular, tiba-tiba cahaya menyilaukan muncul di hadapannya.
Seberkas terang membelah kegelapan. Dengan pandangan tak percaya, Qin Xuan menyaksikan tengkorak ular raksasa itu terbelah sempurna menjadi dua bagian dari tengah.
Bukan hanya kepala ular, bahkan tubuh di belakang kepala ular terbelah bagai menghancurkan segala rintangan, darah ular mengalir deras seperti air sungai.
Karena daya terjang ular perunggu raksasa terlalu kuat, setelah terbelah dua, kedua bagian tubuh sebesar bukit kecil itu masih meluncur deras ke depan, menyisakan dua parit dalam di tanah.
Qin Xuan berdiri di tengah, menyaksikan tanah berbatu di kedua sisinya tertembus oleh tubuh ular, debu dan batu beterbangan di udara, sementara tanah di bawah kakinya berguncang hebat. Kehilangan keseimbangan, Qin Xuan terjatuh ke tanah dan terpaksa mencengkeram erat batu besar di bawahnya agar tak terlempar.
Setelah sisa-sisa tubuh ular raksasa itu berhenti, Qin Xuan baru bisa menstabilkan posisi. Matanya menatap ke arah hamparan tanah yang masih berdebu itu, di mana cahaya keemasan mulai menampakkan diri dari balik kepulan debu.
Ternyata seekor ikan mas cantik sedang melayang di angkasa, perlahan mendekati Qin Xuan.
Qin Xuan secara tidak sadar mundur. Meski ikan mas ini terlihat sangat cantik dan tidak semenakutkan ular perunggu raksasa, Qin Xuan sangat paham bahwa di dalam dunia perlindungan, seseorang tak boleh menilai makhluk mutan hanya dari penampilan luarnya.
Ular perunggu mengerikan tadi sangat mungkin dibunuh oleh ikan mas ini. Lalu seberapa mengerikankah ikan mas ini sebenarnya?
Qin Xuan sangat ingin berbalik dan kabur, tetapi aura ikan mas ini terlalu kuat. Dia takut jika langsung kabur justru akan memicu serangan paling mematikan. Jadi dia terpaksa mundur perlahan selangkah demi selangkah, mungkin masih ada secercah harapan.
Bao'er yang tadi dilempar Qin Xuan tiba-tiba merangkak cepat mendekati sambil menggigit dotnya, lalu langsung melesat menuju ikan mas cantik itu.
"Bao'er, berhati-hati!" Qin Xuan panik ingin menghentikan Bao'er tapi sudah terlambat. Kecepatannya jauh kalah dengan Bao'er.
Bao'er melonjak ke depan ikan mas dan ternyata mendarat di atas kepala ikan itu. Qin Xuan mengikuti arah pandangan Bao'er, dan terkejut melihat bocah itu justru jatuh ke dalam pelukan sepasang tangan.
"Han Sen!" Qin Xuan membelalakkan matanya menyaksikan siluman yang berdiri di atas kepala ikan mas, memeluk erat Bao'er dalam dekapan. Saat debu mulai mengendap, wajah itu semakin jelas—ternyata Han Sen!
Han Sen sekarang dipenuhi sukacita. Saat dia baru saja mengeksekusi ular perunggu raksasa, dering pemberitahuan sistem berburu bergema di benaknya.
"Berhasil membunuh Makhluk Dewa Super yang Mengamuk 'Singgasana Ular'. Mendapatkan Roh Binatang Singgasana Ular. Daging tidak dapat dikonsumsi. Dapat mengumpulkan Esensi Gen Kehidupan. Penyerapan akan memberikan 0-10 poin Super Gen Tuhan secara acak."
