Ini bukan sekadar benturan kekuatan, melainkan pergulatan tekad tanpa celah untuk kecurangan sedikit pun.
Seseorang yang lemah atau kuat, bisa menipu semua orang di dunia, tapi tak bisa menipu hati mereka sendiri. Sekarang adalah ujian langsung bagi jiwa. Jika keyakinan Han Sen goyah, tanpa perlu Enam Jalan membunuhnya, dia sendiri akan menerjang pedang kuno itu mencari kematian.
Ada perbedaan antara jiwa dan energi spiritual. Energi spiritual yang kuat memang bisa memperkuat keyakinan, tapi itu bukanlah keseluruhan dari kekuatan jiwa.
Sekalipun energi spiritual biasa-biasa saja, bahkan tenaga fisik pun rata-rata, tetap ada banyak individu dengan keyakinan dan jiwa yang luar biasa kuat.
Jiwa yang kuat mungkin tak menjadikan seseorang petarung sejati, tapi para petarung sejati pada dasarnya pasti memiliki jiwa yang kokoh.
Benturan antara kepalan dan pedang, tabrakan keyakinan demi keyakinan. Tak ada percikan api yang mengguncang langit-bumi, juga tak ada gelombang energi pedang yang berkeliaran, tapi bahayanya justru lebih mengerikan.
Setiap tusukan, setiap putaran badan, adalah momen yang hampir bersinggungan dengan maut.
Han Sen telah mengalami begitu banyak pertempuran, tak terhitung kali berkeliaran di ambang hidup dan mati, tapi belum pernah merasakan sengsara seperti hari ini.
Bahkan saat melawan makhluk-makhluk yang lebih kuat darinya, dia hanya berjuang maksimal.
Tapi pertempuran ini telah mendorong fisik dan mental Han Sen hingga batas kemampuannya, tak hanya raganya, bahkan jiwanya pun kelebihan beban.
Namun kelebihan beban ini justru memicu Han Sen mengeluarkan kekuatan yang melampaui batas dirinya, membuat banyak pilihan sulit dan respons yang biasanya sulit dilakukan.
Di bawah daya tarik fatal tersebut, Han Sen tetap menjaga kesadaran otaknya tetap jernih dari awal sampai akhir, tidak melakukan sedikitpun kesalahan, gerakannya pun tidak berubah bentuk sama sekali, sepenuhnya tidak menyerah pada pesona Enam Jalan.
Han Sen tak pernah menempatkan statusnya terlalu tinggi, meski telah mencapai wujud semi-dewa yang bisa disebut sebagai kemampuan tempur top Alliance, kebahagiaan yang diinginkannya tetap sederhana seperti dulu, tak pernah berubah.
“Bahkan jika Kamu adalah Tuhan di langit, lalu apa? Aku hanyalah sepotong lumpur, tapi aku punya keyakinanku sendiri. Tak perlu keyakinan orang lain dipaksakan padaku.” Han Sen bertekad bulat seperti baja. Meski keyakinan Liudao bagaikan awan di langit yang memukau dan beragam, tak membuatnya ingin menjadi awan indah itu.
“Asalkan aku tetap menjadi diriku sendiri, itu sudah cukup.” Han Sen diam-diam mengingatkan dirinya sendiri di dalam hati, memperkuat keyakinannya, tak tergoyahkan oleh teknik pedang maupun keyakinan Liudao.
Tiba-tiba, Liudao menyimpan pedangnya dan mundur. Ia berdiri mematung sambil mengawasi Han Sen dengan pedang masih terhunus.
"Kenapa berhenti bertarung?" tanya Han Sen dengan sedikit kebingungan sambil menatap Liudao.
Liudao menggelengkan kepala: "Teknik gerakmu terlalu mistis, seolah bisa meramalkan takdir langit. Tusukan pedangku tak bisa mengenaimu, Jalan Pedangku pun tak sanggup menggoyahkan hatimu. Melanjutkan pertarungan ini sudah tak bermakna lagi."
"Kamu menyerah?" Han Sen tertegun sejenak.
"Teknik Pedang Enam Jalanku baru saja menggunakan Jalan Hati Pertama, masih ada lima jalan yang belum digunakan. Bagaimana mungkin aku menyerah? Tapi kamu adalah satu-satunya musuh yang kuhadapi sejak aku lahir, bisa bertarung melawan Jalan Hati Pedangku tanpa menggunakan Inti Gen. Sungguh langka. Justru lawan sepertimu yang tak ingin kulanjutkan pertarungan ini."
"Apa maksudnya? Apakah sebenarnya bertarung atau tidak?" Han Sen tidak memahami apa sebenarnya maksud Liu Dao.
Liu Dao menjawab tenang: "Makanan terlezat harus dinikmati dengan sepenuh hati. Bagiku, kamulah makanan terlezat itu. Tapi kekuatanmu saat ini belum mencapai tingkat yang bisa membuatku mengerahkan seluruh tenaga untuk menikmati pertarungan. Menang atau kalah sama sekali tak bermakna. Untuk hari ini cukup sampai di sini. Aku akan menantimu sampai suatu hari nanti kamu mampu membuatku melepaskan seluruh kekuatan dalam pertarungan."
Setelah berkata demikian, Liu Dao mengembalikan pedang ke sarungnya dan bersiap meninggalkan Medan Gen.
"Tunggu sebentar!" Han Sen berteriak tergesa-gesa.
"Masih ada apa lagi?" Liu Dao kembali berbalik memandang Han Sen sambil bertanya.
"Meski tidak bertarung, sebenarnya kamu bisa merebut posisi pertama. Asal memberi sesuatu padaku, kita bisa bertukar posisi pertama ini. Inti Genku sudah diperkuat sembilan kali. Kalau kamu baru delapan kali, bukankah aku yang diuntungkan? Aku paling tidak suka mengambil keuntungan dari orang lain." Han Sen berkata dengan bermuka tebal, seolah sangat murah hati.
Tapi dalam hati Han Sen berpikir lain: "Dia seorang Kaisar, meski menghancurkan Inti Gen untuk memulai kembali, pastinya membawa barang-barang bagus. Asal memberi sesuatu, pasti lebih baik dari barang brengsek yang diberikan Mata Hantu itu."
Liudao terlihat agak bingung mendengar perkataan Han Sen. Setelah beberapa saat baru berkata: "Baiklah, tukar posisi pertamamu dengan ini."
Han Sen menangkap barang yang dilempar Liudao. Saat diamati lebih dalam, ternyata itu pedang kayu. Desain pedangnya mirip dengan pedang kuno Liudao, hanya saja yang ini terbuat dari kayu hitam yang dipahat, terasa cukup berat saat dipegang.
Meski Han Sen tidak bisa mengenali jenis kayu apa ini, dia bisa melihat bahwa ini bukan Inti Gen maupun roh binatang. Ini hanyalah pedang kayu yang diukir dari sepotong kayu.
"Pedang kayu ini kupahat saat sedang berkontemplasi mendalam tentang Jalan Pedang. Kau bisa menyebutnya apapun, hanya ini yang kumiliki." Liu Dao berkata dengan datar.
"Ahem, baiklah... kalau begitu aku pergi dulu..." Ucap Han Sen sambil berpura-pura hendak pergi, namun langkahnya tak bergerak sama sekali. Matanya masih menatap Liu Dao.
Ada rasa tak rela di hatinya. Awalnya dia mengira akan mendapat harta berharga, hasilnya malah hanya mendapat pedang kayu yang diukir sembarangan oleh Liu Dao.
"Di masa depan, pasti akan ada pertarungan antara kita. Semoga kau bisa segera meningkatkan kekuatanmu, agar aku bisa menikmati pertarungan sesungguhnya." Liu Dao berkata dengan nada tenang.
"Baik, aku pasti akan berusaha keras." Han Sen menjawab sekenanya, lalu dengan pasrah memilih menyerah dan keluar dari Medan Gen.
“Hah, kerugian besar. Posisi puncak yang bagus ternyata hanya ditukar dengan pedang kayu usang.” Han Sen merasa sedikit frustasi di hatinya, tapi karena sudah terlanjur diucapkan, dia malu untuk ingkar janji.
Enam Jalan yang menduduki puncak daftar Inti Gen Perunggu tidak menimbulkan kehebohan besar. Karena aksi Enam Jalan menghancurkan gennya sendiri dan memulai dari awal sudah lebih menggemparkan daripada sekadar menjadi nomor satu di klasemen Inti Gen Perunggu.
Enam Jalan bukanlah Kaisar tanpa nama. Lahir dari Kekacauan, dalam ribuan tahun singkat sudah menyerbu Tianxia. Hanya segelintir makhluk yang layak bertarung dengannya.
Inti Gen Enam Jalan sebelumnya adalah makhluk kuat yang selalu menduduki peringkat kedua di Daftar Inti Gen Super. Aksi Enam Jalan Kaisar menghancurkan gennya dan memulai ulang sudah memicu kehebohan besar di Perlindungan Suci Tuhan Keempat. Dibandingkan dengan itu, pencapaiannya sebagai juara Inti Gen Perunggu dianggap hal wajar oleh semua makhluk, sama sekali tidak layak dibuat heboh—itu memang sudah seharusnya.
Han Sen dengan sedikit kesal membawa pedang kayu kembali ke tempat perlindungan, kebetulan bertemu dengan Nyonya Sekejap yang ingin memasuki Perpustakaan Inti Gen.
Tatapan mereka bertemu, Nyonya Sekejap tanpa sengaja melirik pedang kayu yang digenggam Han Sen, tiba-tiba matanya membelalak menunjukkan ekspresi tak percaya.
"Kamu mau apa?" Han Sen melihat Nyonya Sekejap mendekatinya dalam 2-3 langkah, dengan semangat meraih pedang kayu itu menggunakan kedua tangan, memeriksanya seinci demi seinci seolah sedang mengamati barang antik bernilai tinggi.
"Tidak mungkin... Bagaimana mungkin..." Ekspresi terkejut di wajah Nyonya Sekejap semakin jelas, hingga akhirnya wajahnya dipenuhi keterpukulan.
