Awalnya Han Sen mengira Putra Suci ras Underworld pasti berasal dari ras yang sama, paling-paling seorang anak. Dia sudah mempersiapkan mental sebagai pengasuh. Tapi ketika mengikuti arah pandangan wanita itu, yang terlihat bukanlah anggota ras Underworld, bahkan bukan makhluk roh sekalipun.
Mengikuti tatapan wanita itu, Han Sen melihat sebuah batu setinggi sekitar tiga meter. Semula dikiranya itu hanya batu hias di taman.
Tapi saat menelusuri arah pandangan wanita tersebut, Han Sen melihat di permukaan batu itu terdapat lukisan.
Lukisan itu menggambarkan seorang wanita memegang payung di atas jembatan. Dalam rintik hujan gerimis yang samar, hanya terlihat bayangan punggungnya. Meski wajahnya tak terlihat, terpancar keanggunan yang tak terkatakan.
“Maksudmu wanita dalam lukisan itu adalah Putra Suci? Lalu di mana keberadaannya?” Han Sen tak percaya dengan pemikirannya sendiri, mencoba bertanya dengan pemahaman berbeda.
Wanita itu seolah membaca pikiran Han Sen: "Seperti yang kau duga, orang dalam lukisan itu adalah Putra Suci. Dia ada di sana."
"Artinya lukisan itu sendiri adalah Putra Suci?" Han Sen masih tak percaya, menggunakan aura Dongxuan untuk menscan seluruh batu dan lukisan di atasnya, tapi tak merasakan sedikitpun vitalitas - itu jelas benda mati.
"Benar." Wanita itu mengangguk serius: "Sekarang kau bisa kembali ke Alliance untuk mempersiapkan diri, bawa beberapa karya sastra untuk dibacakan padanya, ajarkan dia sebanyak mungkin tentang pola pikir manusia. Jika pengajaranmu buruk," dia mengeluarkan gunting buaya, "akan kupotong kepalamu. Tapi jika kau berhasil, ini akan menjadi milikmu."
Sambil berkata demikian, wanita itu mengayun-ayunkan gunting buaya di depan Han Sen.
"Tapi..." Han Sen masih ingin protes, namun wanita itu sudah berbalik dan menghilang dari taman dalam sekejap mata.
"Sial, kamu orang gila? Menyuruhku mengajari lukisan, apa dia bisa mengerti?" Han Sen berseru dengan frustasi.
"Siapa bilang aku tidak mengerti?" Tiba-tiba, dari arah batu, terdengar suara wanita yang samar.
Han Sen langsung terkejut, matanya membelalak menatap tajam batu itu. Aura Dongxuan-nya menyapu area tersebut, namun tetap merasakan benda mati.
"Kamu yang bicara denganku?" Han Sen mendekati batu dengan ragu, menatap gambar wanita berjubah hijau di atasnya.
"Ada makhluk lain di sini?" Suara itu muncul dari dalam batu, tapi gambar wanita hijau tetap statis tanpa perubahan.
Han Sen mencoba bicara lagi, namun gambar wanita hijau itu tetap membisu.
"Hei, kamu masih ada?" Han Sen terus memanggil beberapa kali, tapi tak ada lagi respon suara wanita itu.
"Aneh, apakah tadi aku mengalami halusinasi pendengaran?" Han Sen kebingungan di dalam hati, wajahnya bermacam perasaan sambil menatap lukisan di batu itu.
Tapi Han Sen akhirnya tahu, batu dan lukisan ini memang bukan benda biasa. Permintaan wanita itu untuk mengajarkan lukisan itu pun menjadi lebih bisa dipahami.
Tidak bisa berbuat apa-apa, meski ingin kabur tapi tak bisa melarikan diri, terpaksa kembali ke Alliance. Ia mencari beberapa buku dan membacakannya untuk lukisan itu. Namun selain dua kalimat awal, tak pernah lagi terdengar suara wanita berbaju hijau dalam lukisan itu berbicara.
Wanita itu melarang Han Sen meninggalkan taman. Selain membacakan buku untuk wanita hijau dalam lukisan, Han Sen hanya bisa mempelajari Teknik Kulit Es dan Tulang Giok serta Jing Dongxuan, agar bisa segera menyatu kembali intikristal dan payung penghalang langit.
Han Sen tidak benar-benar serius mengajari wanita hijau dalam lukisan itu. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berlatih atau mengobrol dan bermain dengan Bao'er.
Bukan berarti Han Sen tidak mau mengajar, tapi membacakan buku untuk lukisan di sini tanpa ada yang merespons, hal semacam ini sama sekali tidak perlu dia lakukan. Wanita itu bisa mengambil beberapa buku, bahkan makhluk roh biasa pun bisa menggantikan Han Sen untuk menyelesaikan tugas apapun, bahkan lebih baik darinya. Setidaknya mereka tidak akan mengelak kerja seperti Han Sen.
Untungnya, seberapa malas pun Han Sen, wanita itu tidak pernah datang mencarinya, seolah telah melupakannya. Selama kurang dari sebulan di taman, selain relief di batu, bahkan satu makhluk hidup pun tak pernah ia temui. Alam semesta seakan telah melupakan keberadaannya.
"Entah bagaimana kabar Ling Mei'er. Kuharap dia baik-baik saja, jangan sampai tertipu oleh Ling Shisan." Sekarang pun, sekalipun Han Sen ingin membantu, kemampuan magisnya sudah tidak memadai.
Setelah mempelajari Tulang Giok dan Kulit Es serta Jing Dongxuan, Han Sen yang sedang bosan akhirnya mengeluarkan pedang Tai A. Dengan gerakan gemulai, ia mulai mempraktikkan Jalan Hati Pedang aliran Enam Jalan.
Jalan Hati Pedang tidak menekankan gerakan. Sekalipun mempelajari semua bagian teknik Enam Jalan, itu tidak berguna. Jalan Hati Pedang mementingkan nuansa, konsentrasi pribadi lebih penting daripada teknik pedang itu sendiri.
Han Sen sangat menyukai jenis teknik pedang ini, tapi saat ia mencoba melatihnya, hasilnya tidak sesuai harapan dan belum menunjukkan efek yang memuaskan.
Setelah merenung, Han Sen menyadari masalahnya terletak pada Pedang Liu Dao. Selain faktor genialitas Liu Dao yang luar biasa, alasan penting lainnya adalah bakat alami dan sifat Inti Gen Pedang Liu Dao-nya sangat cocok dengan Jalan Hati Pedang, sehingga memungkinkannya mencapai daya hancur puncak dari teknik tersebut.
Tanpa sifat khusus dan Inti Gen Pedang Liu Dao, upaya Han Sen untuk mencapai tingkat nuansa Jalan Hati Pedang seperti itu jauh lebih sulit dibandingkan yang dialami Liu Dao.
Namun Han Sen tidak berniat mencapai tingkat penguasaan Liu Dao. Ia hanya menggunakan metode Jalan Hati Pedang sebagai cermin untuk memperjelas keyakinannya sendiri, sekaligus sebagai proses perenungan diri dan pencerahan eksistensial.
Meski Jalan Hati Pedang dipelajari dari Liu Dao, namun saat digunakan oleh Han Sen, hasilnya sama sekali berbeda dengan Liu Dao. Karena pada dasarnya mereka berdua memiliki kepribadian yang bertolak belakang, bahkan bisa disebut sebagai dua kutub ekstrem yang saling bertentangan.
Liu Dao adalah tipe perfeksionis dengan gaya romantis nan sempurna. Seolah tak ada hal di dunia ini yang bisa meninggalkan jejak dalam hatinya, bahkan Inti Gen Kaisar pun bisa dihancurkannya tanpa ragu, sama sekali tidak dipedulikannya.
Berbeda dengan Han Sen yang telah merasakan pahitnya kehidupan. Beban yang dipikulnya terlalu berat, sehingga terkadang sulit baginya untuk melepaskan, dan ia pun enggan untuk melepaskannya.
Jalan Hati Pedang pada hakikatnya adalah jalan idealisme. Perbedaan kondisi psikologis akan menghasilkan nuansa yang sama sekali berbeda saat menggunakan teknik pedang, meski gerakannya identik, namun terlihat seperti dua aliran bela diri yang berbeda.
Saat Liu Dao menggunakan Pedang Hati, ia bagaikan jelmaan Tuhan yang membuat orang rela menyembah. Keinginan untuk mengorbankan diri demi merasakan pedangnya begitu kuat, bahkan kematian di bawah pedangnya tak akan meninggalkan secuil pun penyesalan.
Tapi ketika Jalan Hati sampai di tangan Han Sen, sama sekali tidak seperti itu. Orang lain yang melihat teknik pedangnya justru terstimulasi semangat juang mereka, bukannya ingin menyerahkan diri sebagai "umpan pedang".
Ini di luar kendali Han Sen karena keyakinannya sendiri memang demikian - pantang menyerah menghadapi kesulitan apapun, bahkan mencari peluang 1% untuk bertahan hidup dari kematian. Keyakinan ini terkonversi ke dalam Jalan Hati, sehingga terciptalah gaya khas seperti ini.
Kecuali Han Sen mengubah niat dasarnya sendiri, sekalipun dia mengubah semua gerakan pedangnya, nuansa esensial teknik ini tidak akan berubah.
"Pedang ini dilatih dengan sempurna, apa namanya?" Han Sen yang sedang berlatih tiba-tiba mendengar suara mendayu-dayu keluar dari dinding batu, persis seperti suara perempuan yang pernah didengarnya sebelumnya.
