Han Sen mencoba berbagai metode, tapi tetap tidak bisa melepas sepatu kristal itu. Sepatu itu seolah menyatu dengan kakinya, sama sekali tidak bisa dilepas.
Dalam sekejap ini, seekor tikus pasir telah sukses menembus danau fluor, merantau hingga ke atas pulau di tengah danau.
Pulau itu tidak besar, hanya seluas seratus hingga dua ratus yard persegi, seperti meteor berbentuk roti kukus yang jatuh di tengah danau. Di atasnya tumbuh sebatang pohon buah yang sepi.
Pohon itu juga tidak terlalu tinggi, mirip dengan pohon pir biasa, tingginya hanya beberapa meter. Namun tidak seperti pohon pir yang berbuah lebat, entah sudah dipetik orang atau memang hanya ada segini, di pohon yang luas itu hanya tergantung tiga buah pir.
Satu pir berwarna hijau kebiruan, satu merah menyala, dan satu lagi kuning.
Tiga buah pir di satu pohon yang sama, namun terlihat sangat berbeda jauh, cukup membingungkan.
Jika pir hijau dianggap belum matang, lalu mana yang mewakili kematangan sepenuhnya antara pir merah dan kuning?
"Kita ke pulau dulu," kata Han Sen melihat sepatu kristal masih belum bisa dilepas, menyuruh Xiao Xing terbang lebih dulu ke pulau di tengah danau.
Dia tidak panik. Karena transformasi Super Di Ling masih bisa memengaruhi sepatu, perlahan-lahan pasti bisa terselesaikan. Sama sekali tidak perlu terburu-buru.
Paling-paling kakinya dibabat saja. Dengan konstitusi fisik Han Sen dan kemampuan penyembuhan Si Perak Kecil, kaki yang terpotong dapat beregenerasi dengan cepat.
Ketika Xiao Xing tiba di pulau, sudah terlambat. Tikus pasir yang beruntung berhasil menyerbu pulau di tengah danau itu sudah merangkak ke atas pohon buah dan menggigit buah pir kuning itu.
Buah pir itu tidak besar, hanya seukuran tinju. Sekali gigitan tikus pasir langsung menggerogoti hampir setengah buah. Dari bagian yang patah terlihat getahnya melimpah, aroma manis langsung menyebar.
Tikus pasir yang sudah menggigit sekali masih ingin menggigit kedua kalinya, tapi tiba-tiba raganya membeku seperti dipatungkan menjadi batu, lalu terjatuh dari ranting pohon.
Han Sen dan yang lainnya di pulau tengah danau terkejut, mengawasi tikus pasir itu tanpa berani mendekat.
Tikus pasir itu jatuh di atas batu, tubuhnya memancarkan semburat cahaya kuning. Bulu abu-abu gelapnya tiba-tiba berubah menjadi keemasan.
Seandainya tidak melihat sebelumnya, orang akan mengira itu adalah patung emas yang hidup dan nyata.
Semakin pekat cahaya yang memancar dari tubuh tikus pasir, warna keemasannya semakin murni. Sebaliknya, aura kehidupan dalam tubuhnya semakin melemah.
Tak lama kemudian, tikus pasir itu kehilangan seluruh vitalitasnya. Cahaya pun menghilang total, berubah sempurna menjadi patung emas.
Han Sen dan kawan-kawan saling pandang. Untuk sesaat tak ada yang bergerak, bahkan Sumera yang paling antusias terhadap buah pun kini tak berani bertindak gegabah.
“Buah itu ternyata tidak selalu memberi keuntungan jika dimakan. Tikus Raja sebelumnya mungkin memakan satu buah yang bermanfaat bagi tubuhnya, sehingga berubah menjadi seperti itu. Tapi tikus pasir ini tidak seberuntung itu, sepertinya membuat pilihan yang salah.” Sumera mengamati dua setengah buah pir di pohon itu.
“Siapa di antara kalian yang bisa membedakan mana dari dua buah tersisa ini yang baik dan yang buruk?” Lin Feng menatap semua orang.
“Long Nu, kamu yang paling memahami hal-hal semacam ini. Bisakah kamu melihat perbedaannya?” Han Sen bertanya kepada Koki Wanita Komunitas Naga, sementara dirinya sendiri tidak melihat perbedaan pada tiga buah tersebut.
Tiga buah buah sama-sama penuh vitalitas, tidak ada kelainan yang terlihat. Han Sen pun tidak bisa menentukan mana yang baik atau buruk.
Koki Wanita Komunitas Naga menggelengkan kepala halus: “Aku belum pernah melihat buah seperti ini. Dari penilaianku, seharusnya ketiga buah ini tidak bermasalah. Tapi entah kenapa, tikus pasir yang memakannya justru mengalami transformasi seperti itu.”
Bahkan Koki Wanita Komunitas Naga yang berpengalaman di area liar pun tidak bisa membedakan, Lin Feng dan Kyōgiri Kiri semakin tidak bisa melihat perbedaan kualitas.
Harta berharga sudah di depan mata, tapi Han Sen dan yang lain tidak ada yang berani mengambilnya. Suasana tiba-tiba membeku.
Han Sen berputar-putar di sekitar pulau tengah danau, ingin melihat apakah ada penemuan. Sepatu kristal di kaki kirinya yang baru saja diambil dari air membuat langkahnya tidak seimbang, meski tidak mengganggu tapi rasanya tetap aneh.
Lin Feng dan Kyōgiri Kiri juga memiliki pikiran yang sama dengan Han Sen. Saat berputar mengelilingi pulau, mereka benar-benar menemukan sesuatu.
Hanya dengan berputar satu putaran mengelilingi pohon buah, mereka menemukan deretan karakter terpahat di batang pohon sisi lain - tulisan kuno manusia.
“Jika pandangan mata tiada dendam perpisahan, tak percaya di dunia ada uban.” Lin Feng membacakan kalimat ini, menunjukkan kedalaman penguasaannya pada teks klasik yang cukup mengagumkan.
“Dilihat dari ukiran tulisan ini, sepertinya sudah sangat lama. Luka bekas ukiran sudah menjadi parut pohon, hampir menyatu dengan batangnya. Sayang kita tidak tahu siklus pertumbuhan pohon ini, kalau tidak bisa menentukan kapan pengukirnya datang ke sini.” Kyōgiri Kiri mengerutkan kening sambil berkata.
“Entah semi-dewa manusia yang mana, ternyata sudah datang ke sini sejak dulu. Aku penasaran apakah dia sempat memakan buah itu.” Lin Feng merenung.
Lin Feng dan Kyōgiri Kiri sama-sama meyakini tulisan itu adalah peninggalan semi-dewa manusia. Meski Han Sen cenderung setuju, ia tak bisa seyakin mereka.
Setelah menghadapi banyak persoalan, Han Sen menemukan bahwa yang bisa menggunakan aksara kuno manusia tak terbatas pada manusia saja.
“Orang yang meninggalkan tulisan ini seharusnya seorang wanita.” Long Nu tiba-tiba menyela percakapan.
“Kenapa?” Han Sen dan yang lainnya langsung tertuju pada Long Nu, tidak tahu bagaimana dia bisa menilai itu.
Karena bekas ukiran sudah berkeropeng, sehingga membuat tulisan tampak berubah. Meski goresan tulisannya masih terlihat, namun bentuknya sangat rapi. Tidak bisa dibedakan apakah lembut atau berkesan kuat, sulit menentukan apakah ditulis oleh wanita atau pria.
“Intuisi wanita.” Long Nu berkata dengan serius.
Han Sen langsung merasa bingung antara ingin tertawa dan menangis. Bagaimana mungkin intuisi wanita bisa dijadikan patokan? Apalagi Long Nu bukanlah manusia wanita sama sekali, melainkan makhluk roh perempuan.
Terlepas dari siapa penulis tulisannya, hal itu tidak membantu Han Sen dan kawan-kawan. Setelah menjelajahi pulau itu dengan teliti lagi, tak ada barang lainnya yang ditemukan.
Tikus-tikus pasir itu masih mati-matian berenang ke hulu menuju pulau di tengah danau. Dari puluhan ribu tikus pasir, sebagian besar telah tertarik ke dasar danau. Kini hanya tersisa belasan ekor yang masih meronta-ronta berenang mendekat, satu per satu terus merosot ke dalam air. Sangat sulit dipastikan apakah masih ada tikus yang bisa menyerbu ke atas.
Saat semua orang sedang bermuram durja, Bao'er justru telah memanjat pohon. Ia langsung memetik sebutir buah berwarna hijau kebiruan, lalu menggigitnya sekali lahap.
Han Sen merasa jantungnya berdebar-debar. Meski tahu Bao'er sendiri sangat unik, tetap saja tak bisa menghindari kekhawatiran. Bagaimanapun, menghadapi sesuatu yang tak dikenal, tak ada yang bisa memastikan 100% tidak akan muncul masalah.
Bao'er melahap buah pir hijau itu dalam dua tiga gigitan. Buah yang mirip pir ini ternyata tidak memiliki biji, seluruhnya ditelan bulat-bulat oleh Bao'er.
Bao'er menjilat-jilat bibirnya, seolah masih belum puas. Namun tiba-tiba seluruh tubuhnya memancarkan cahaya hijau kebiruan, lalu terjatuh dari pohon. Han Sen langsung berubah pucat.
