"Serigala berkepala manusia sudah turun, Sienna masih di luar, entah ke mana perginya." Yang Mulia Harimau menjawab.
"Kalau begitu, aku akan turun dulu untuk melihat-lihat." Han Sen merenung sejenak, akhirnya memutuskan untuk menyelidiki situasi terlebih dahulu.
Yang Mulia Harimau mencoba menasihatinya beberapa kali, melihat Han Sen bersikeras ingin turun, akhirnya tidak menghalanginya lagi. Beliau hanya berpesan agar Han Sen berhati-hati dan segera keluar jika menemukan situasi yang mencurigakan.
Han Sen berterima kasih kepada Yang Mulia Harimau, lalu mendekati ambang lubang tanpa dasar. Terlihat banyak tali berteknologi tinggi yang tergantung di tepiannya - meski bukan terbuat dari logam, tingkat keteguhannya tak kalah dengan kabel metal.
Seorang Keterian yang melihat Han Sen mendekati lubang itu segera mendekat sambil terkekeh-kekeh menawarkan jasa. Dengan membayarkan sedikit uang, Han Sen bisa menggunakan talinya untuk memanjat turun dengan jaminan keamanan.
Meski memiliki kemampuan terbang, Han Sen enggan menampakkannya di sini. Setelah membayar orang itu, ia mulai merangkak turun mengikuti tali menuju kedalaman lubang tak berujung.
"Di tali lainnya, ada banyak orang yang sedang memanjat turun," sambil terus turun, Han Sen berbisik pada Bao'er: "Bao'er, apa kamu melihat sesuatu di bawah?"
"Tidak, mata besar itu sudah menghilang." Bao'er melirik ke bawah lalu menggelengkan kepala kecilnya.
"Bagus kalau sudah tidak ada. Nanti jika kamu melihat sesuatu yang aneh lagi, beri tahu Ayah segera, ya?" Han Sen menambahkan.
"Baik, Ayah." Bao'er tak henti-hentinya mengangguk.
Han Sen terus merangkak turun. Bao'er yang menempel di punggungnya sesekali melongok ke kedalaman lubang tanpa dasar, tapi tidak menemukan sesuatu pun.
Han Sen juga melihat ke bawah. Hitam pekat yang tak tertembus, seribu meter di bawahnya terbentang dunia kegelapan tak bertepi. Cahaya yang mencapai sana seolah diserap habis.
Jarak seribu meter sebenarnya tidak terlalu tinggi. Han Sen tak lama kemudian telah memanjat hingga ke bawah seribu meter. Setelah melewati titik seribu meter itu, ia langsung menyadari bahwa bagian bawah tidak segelap yang terlihat dari atas. Meski masih agak remang, tapi sudah bisa melihat beberapa objek.
Di bawah masih berupa lubang hitam besar, namun di dinding batu sekelilingnya terdapat banyak tangga batu yang menjorok keluar. Susunannya seperti tangga berputar, berliku-liku terus ke dalam kedalaman lubang hitam besar, tak diketahui seberapa panjangnya.
Di atas tangga batu itu, Han Sen melihat banyak orang Keterian dan beberapa ras lain.
Selain tangga batu, di dinding batu juga terdapat banyak lubang batu besar-kecil. Di dalam lubang-lubang itu, sepertinya ada siluman bergerak-gerak.
"Tampaknya cukup banyak orang yang turun ke sini." Han Sen mengerutkan kening halus, matanya menyapu area sekeliling. Tak terlihat anggota Kelompok Hitam. Sepertinya sesuai dengan informasi Yang Mulia Harimau, Tuan Muda Ketiga memang belum mengizinkan orang turun.
Menepuk punggung Bao'er, Han Sen menyusuri tangga batu ke bawah. Karena banyak yang turun, busana Armor Mantra-nya tidak terlihat aneh.
Tapi Bao'er sangat mencolok. Selain Han Sen, siapa yang mau membawa anak ke tempat angker begini?
"Hei saudara, keren betul. Ke sini bawa anak?" Seorang Keterian di belakang Han Sen menyeringai mengejek.
Han Sen diam saja terus turun. Setelah ribuan meter, tiba-tiba tangga batu terputus. Di bawahnya hanya jurang mengerikan Abyss yang hitam pekat.
Han Sen memandang sekeliling. Tak ada yang menggunakan tali. Para Keterian dan ras lain menyelinap ke gua-gua di dinding batu, lalu menghilang.
Keterian yang baru saja mengejek Han Sen tadi juga sampai di ujung tangga batu, melongok ke dalam lubang hitam besar sambil berkata: "Ini sudah akhir tangga batu. Konon ada yang mencoba menuruni dengan tali, tapi tak satu pun berhasil kembali. Tapi gua-gua di sekitar sini punya jalan menurun. Kalau berani mati, boleh dicoba. Membawa anak ke tempat begini saja sudah salah, lebih baik jangan ambil risiko lagi. Buah Gen Kosmis sehebat apapun tak sebanding dengan nyawa."
Melihat Han Sen tak menjawab, Keterian itu menggelengkan kepala sambil tersenyum getir, lalu berjalan menuju gua di sampingnya.
Di dalam gua batu yang menjalar ke segala penjuru, memang ada jalan menurun. Tapi entah bisa dilanjutkan atau tidak, Han Sen memilih satu jalur. Sesekali terlihat Keterian dan ras lain keluar-masuk gua - ada yang maju, ada yang mundur. Jelas mereka belum menemukan jalan turun, hanya mondar-mandir tak tentu arah.
"Temukan jalan keluar!" Terdengar teriakan tiba-tiba. Seketika kerumunan bergerak menyatu ke satu arah.
Han Sen mengerutkan kening diam-diam, tapi terpaksa mengikuti kerumunan. Tak lama kemudian mereka tiba di sebuah gua batu besar. Di ujung gua tersebut berdiri dua pintu batu setinggi belasan meter.
Banyak Keterian dan ras lain telah berkumpul di depan pintu batu. Suara bisik-bisik terdengar, beberapa bahkan mencoba mendorong pintu itu. Tapi pintu batu tetap tegak tanpa bergerak, sama sekali tidak terbuka.
Han Sen tidak memandang pintu batu itu. Sorot matanya menyapu kerumunan. Tiba-tiba, ia melihat sosok bertudung jubah yang meringkuk di antara orang-orang, tampak tidak mencolok.
Namun ketajaman penglihatan Han Sen luar biasa. Meski tak melihat kepala dan wajahnya, ia tetap mengenali - anggota ini adalah manusia serigala yang selalu mengikuti Sina!
"Ternyata dia di sini," gumam Han Sen dalam hati. Tapi tiba-tiba sorot mata manusia serigala itu justru menoleh ke arahnya. Kedua pasang mata itu bertemu dalam pandangan yang saling mengunci.
"Peraba yang sangat tanggap!" Hati Han Sen merinding, langsung mengalihkan sorot matanya. Tapi dia tahu, si manusia serigala itu sudah melihatnya, bersembunyi pun sudah tidak berguna.
Serigala penyendiri melihat Han Sen, tak tahan lagi mengerutkan kening halus. Tapi tak dipedulikannya, hanya melirik sebentar sebelum mengalihkan pandangan ke tempat lain.
Tiba-tiba muncul anggota ras lain setinggi lebih dari tiga meter dengan empat lengan, tubuhnya lebih besar dari beruang. Dengan empat tangannya menggenggam palu besar, dihujamkannya dengan keras ke Pintu Batu.
Palu besar itu memancarkan cahaya hitam seperti api, jelas terlihat sebagai persenjataan gen. Dihantamkan terus-menerus oleh monster itu, Pintu Batu berdentum-dentum, batuan terus-menerus runtuh berantakan, semangatnya sungguh sangat mengerikan.
Melihat jurus ini efektif, monster itu menghantam lebih ganas. Kepalu sebesar tong bensin itu berulang kali menghujam Pintu Batu, setelah puluhan kali pukulan, retakan-retakan mulai bermunculan di permukaannya.
Boom!
Puluhan pukulan berikutnya akhirnya membuat Pintu Batu tak lagi sanggup menahan serangan. Seketika pecah berkeping-keping dan runtuh, memperlihatkan ruang di baliknya.
Di balik lubang batu terbuka sebuah gua setengah alami setengah buatan. Di dalamnya tumbuh sulur logam bercahaya, dengan bunga-bunga metalik berbentuk teratai yang bermekaran. Di tengahnya, sesuatu mirip biji teratai terus memancarkan kilauan misterius.
"Itulah Wan Ci Guo!" Entah siapa yang berteriak, seketika ada yang menerjang ke tumbuhan rambat di dalam gua batu itu.
Seketika puluhan siluet berebutan masuk, tak ada yang mau ketinggalan. Semua khawatir harta karun itu akan direbut orang lain.
