Monster-monster itu menuju sungai cahaya. Saak mendekat, barulah mereka sadar: benda mirip ular itu bukanlah reptil sejati.
Bentuknya lebih menyerupai akar-akar yang menyembul dari pasir. Tapi karena gerakannya yang berliku-liku, dari kejauhan terlihat seperti ular yang sedang merayap.
Monster langsung menerjang ke dalam akar-akar yang bergerak seperti ular itu. Terinjak monster, akar-akar itu seolah ketakutan dan menyelinap kembali ke bawah tanah.
Monster terus merayap menyusuri jalur akar tersebut. Di setiap area yang dilaluinya, akar-akar itu satu per satu menghilang ke dalam pasir.
Jalinan akar ini berkelok-kelok di atas gurun bagai galaksi bintang, sekaligus menyerupai jalan setapak bercahaya yang memandu gerombolan monster ini menuju tujuannya.
Barulah ketika fajar mulai merekah di ufuk timur, jejak akar di depan mereka menghilang. Namun Han Sen dan kawan-kawan justru melihat gunung aneh berdiri di kejauhan.
Keanehan gunung itu terletak pada bentuknya yang mirip buah zakar raksasa yang tegak di tengah gurun. Di sekelilingnya, hamparan pasir gersang masih membentang tanpa batas.
"Benda sebesar ini, jangan-jangan benar-benar telur? Makhluk sebesar apa yang bisa mengeluarkan telur seukuran ini?" gumam Han Sen dalam hati sambil bergolak berbagai pemikiran.
Monster-monster itu melihat gunung berbentuk telur, berlari semakin cepat. Monster kecil itu berdiri di punggung seekor monster besar, terus-menerus menjerit histeris ke arah gunung telur.
Han Sen dan rombongannya semakin dekat dengan gunung telur itu. Ketika mereka melihat jelas gunung tersebut, mereka semua tercengang.
Benda sebesar gunung itu memang bukan batu biasa. Meski terlihat gelap dan pekat, benda itu sepertinya terbentuk dari jalinan serat-serat, seperti kepompong yang terlalu besar untuk dibayangkan.
Setiap serat kristal sebesar lengan, memancarkan kilau transparan seperti giok.
Para monster itu berlari sampai di depan kepompong raksasa dan akhirnya berhenti. Monster yang membopong Han Sen dan rombongannya juga merundukkan badan, jelas-jelas meminta mereka turun.
"Barang apa sih ini?" Klan Atas bermata elang berparuh burung menatap tajam kepompong raksasa sambil berkata.
Vich, Adipati Yanluo, dan Icha tidak berbicara, hanya mengawasi ketat kepompong raksasa itu, sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
Han Sen masih menangkap secuil ekspresi gembira di wajah Adipati Yanluo, meski hanya sesaat, tapi tetap tak luput dari sorot matanya.
"Ketiganya sepertinya tahu apa barang aneh ini. Apalagi Icha, Vich dan Adipati Yanluo sebenarnya ditangkap secara tidak sengaja. Ternyata mereka mengenal benda ini. Jangan-jangan sebelum datang ke Mozhong, mereka sudah tahu keberadaan makhluk ini?" Berjuta-juta pikiran bergolak dalam benak Han Sen.
Beberapa orang itu mengamati kepompong sebesar gunung, sementara monster-monster itu merangkak di tanah bagai umat beriman setia yang sedang berdoa kepada Tuhannya.
Hanya monster kecil berwarna darah gelap itu yang merangkak mendekati kepompong, berputar-putar mengelilinginya seolah mencari sesuatu.
"Haruskah kita kabur selagi ada kesempatan sekarang?" kata anggota Klan Atas Bermata Elang Paruh Burung sambil memandangi monster-monster yang tiarap di sana seolah takkan pernah mengangkat kepala.
"Kau pikir mereka bodoh? Mereka membiarkan kita sekarang, bukan berarti akan mengizinkan kita kabur. Tidak lihat mereka terus mengelilingi kita?" Adipati Yan Luo mencibirkan bibir.
Si anggota Klan Atas Bermata Elang Parung Burung hendak berbicara lagi, tapi tiba-tiba merasakan gurun pasir di bawah kakinya berguncang seolah terjadi gempa bumi.
Han Sen juga merasakannya. Bukan hanya pasir yang bergerak, kepompong raksasa sebesar gunung itu pun bergetar. Di area persinggungan antara kepompong dan tanah, pasir mulai amblas membentuk pusaran pasir hisap bagai ada lubang pembuangan di bawahnya.
Han Sen dan yang lain ingin mundur, tapi monster-monster itu tetap tak bergerak merangkak di tanah. Bahkan untuk mundur pun tak ada ruang, kecuali harus menginjak tubuh para monster tersebut.
Tapi segera mereka menyadari, pusaran pasir hisap itu hanya terbatas di sekitar kepompong raksasa, tidak menjalar ke arah mereka.
"Benda itu sepertinya sedang naik!" Klan Atas Paruh Burung tiba-tiba berseru.
Han Sen sebenarnya sudah memperhatikan kepompong raksasa itu perlahan terangkat. Getaran bukan berasal dari gurun, melainkan gerakan kepompong yang memengaruhi pasir di sekitarnya. Sumber getarannya adalah benda itu sendiri.
Sekarang Han Sen tidak sedang mengamati kepompong, melainkan Vich, Adipati Yanluo, dan Isha. Ekspresi Isha tak terbaca karena topengnya.
Wajah Adipati Yanluo jelas-jelas menunjukkan antusiasme, sementara sorot mata Vich yang biasanya kalem mulai berbinar.
"Pasti mereka tahu apa ini," gumam Han Sen dalam hati. Ia memikirkan cara untuk mengorek informasi dari retorika mereka.
Saat Han Sen masih dalam perenungan, kepompong raksasa sebesar gunung itu ternyata telah lepas dari gurun, dengan mengerikan melayang di udara - tayangan yang megah yang tak terucapkan.
Persis seperti Pegunungan Himalaya tiba-tiba terbang ke langit. Di hadapannya, manusia lebih kecil daripada semut, membuat orang khawatir: Bagaimana jika ini jatuh? Akankah mereka menjadi pasta daging?
Kepompong raksasa terus naik hingga mencapai ketinggian lima enam meter dari tanah baru berhenti. Dengan sangat tidak ilmiah, benda itu diam di udara tanpa bergerak, seolah dibekukan oleh ruang.
Han Sen tidak bisa membayangkan tenaga seperti apa yang bisa membuat raksasa seperti ini terapung diam.
Monster kecil kembali ke depan pasukan monster, meneriakkan sesuatu pada kawanannya. Seketika semua monster berdiri, mengelilingi Han Sen dan yang lain berjalan ke bawah kepompong raksasa.
Han Sen melihat Lisa dan yang lain tidak menunjukkan ekspresi panik, jadi dia pun tidak buru-buru mencari cara kabur. Dia juga ingin melihat, untuk apa sebenarnya monster-monster ini membawa mereka ke sini.
Para monster mengelilingi mereka hingga mencapai pusat bagian paling bawah kepompong raksasa. Barulah Han Sen melihat, di bagian terbawah kepompong itu ternyata ada lubang bundar hitam berdiameter sekitar dua meter - bagi benda sebesar kepompong itu, lubang ini kecil seperti lubang jarum.
Han Sen dan rombongan mendongak melihat ke dalam lubang. Area yang terlihat dipenuhi serat kristal melingkar sebesar lengan, sama persis dengan bagian luar kepompong raksasa.
Monster kecil itu menunjuk ke dalam lubang kepompong dengan cakarnya, lalu mengaum dua kali ke arah Adipati Yan Luo dan yang lain, seolah menyuruh mereka merangkak masuk ke dalam kepompong.
"Bagaimana? Apa kita harus masuk?" Anggota Klan Atas bermata elang dan berparuh burung itu ekspresinya berubah-ubah. Terlihat bingung, ia memandang Adipati Yan Luo dan Viki.
“Sekarang apa masih ada pilihan lain?” Adipati Yan Luo berkata sambil berjalan perlahan menuju lubang bundar hitam.
Meski berusaha keras meredam kegembiraan di hatinya dan sengaja melambatkan langkah, Han Sen tetap bisa melihat betapa Adipati Yan Luo sangat haus untuk memasuki kepompong raksasa itu.
“Bagus, kalau sudah sampai di titik ini, terpaksa kita lanjutkan.” Ujar Vichi sebelum menyusul langkah Adipati Yan Luo.
Han Sen merasakan ucapan santainya justru menyembunyikan kekhawatiran bahwa sang adipati mungkin telah merebut kesempatan pertama tertentu.
Anggota Klan Atas bermata elang dan berparuh burung itu pun mengikuti. Ketiganya melompat gesit dan merangkak masuk ke dalam lubang, meninggalkan Han Sen dan Isha di luar.
