Suku Rebeite memiliki personel khusus yang bertugas memandu Han Sen dan rombongannya masuk ke dalam vortex spasial. Setiap kali cahaya putih berkilat di dalam pusaran ruang itu, sesuai urutan, seorang Baron akan terjun ke dalam vortex.
Han Sen ditempatkan pada urutan terakhir. Menyaksikan sembilan Baron di depannya telah masuk ke dalam vortex spasial, tanpa ragu lagi dia melompat ke dalam pusaran lubang hitam saat kilatan cahaya putih itu muncul.
Setelah Han Sen melewati terowongan ruang, ia mendapati dirinya berada di atas sebuah planet. Ketika menengadah ke langit, bahkan satu bintang atau bulan pun tak terlihat, seolah tempat ini bukan lagi Lunar Narrow, melyerupai bintang kesepian yang berdiri di kehampaan.
Planet ini juga memiliki perbedaan dari planet biasa. Sekelilingnya adalah dataran, namun setiap jarak tertentu terlihat sebuah gunung berapi.
Setiap gunung berapi berjarak puluhan kilometer, tanpa pegunungan di antaranya—bahkan perbukitan pun tak tampak—sungguh sangat aneh.
Saat Han Sen mengamati sekeliling, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah gunung berapi. Kemudian, gunung berapi raksasa itu seolah menggeram dari perut bumi, menyemburkan pilar cahaya yang menembus langit.
Bukan hanya gunung berapi terdekat dari Han Sen. Sepanjang pandangan, setiap gunung berapi sedang meletus. Pilar-pilar cahaya membelah cakrawala, menciptakan tayangan yang megah tak terucapkan.
Han Sen segera menyadari ada yang tidak beres. Letusan gunung berapi itu menyembur ke atas namun tidak ada yang jatuh kembali, seolah semua material yang disemburkan menyatu ke dalam lapisan awan tebal yang bergulung-gulung. Awan-awan bercahaya itu menyelimuti seluruh langit.
Letusan gunung berapi hanya berlangsung kurang dari satu menit sebelum berhenti total, tak ada lagi pilar cahaya yang menyembur.
Namun lapisan awan di langit semakin terang benderang. Tak lama kemudian, Han Sen melihat hujan deras mulai turun dari awan itu.
Saat butiran hujan itu mendekat, Han Sen baru menyadari keanehannya - yang jatuh dari awan bukanlah air hujan, melainkan ratusan bilah pisau.
Pisau pendek, kapak panjang, pedang ramping, golok tebal, pisau Yanyu Dao, pisau terbang - berbagai jenis senjata tajam berjatuhan dari langit dengan sangat rapat, menyelimuti seluruh permukaan tanah.
Han Sen terkejut. Dengan kepadatan hujan pisau seperti ini, mustahil mencari tempat berlindung. Satu-satunya pilihan adalah memaksakan diri menahan gempuran senjata tajam itu.
Tapi Han Sen tidak membawa senjata. Sebelumnya dia ingin membawa pedang untuk menggunakan jurus Taring itu, namun Ishara bilang tidak perlu. Sekarang Han Sen akhirnya mengerti kenapa Ishara mengatakan itu.
Di sini semua langka, kecuali pedang.
Saat hujan pedang hampir menghujani Han Sen, dengan gesit ia meraih sebilah pedang di udara. Kedua tangannya mengayun, membelah semua pedang yang mengarah padanya.
Hujan pedang hanya berlangsung beberapa detik. Setelah menangkis semuanya, Han Sen memandang sekeliling. Tanah di sekitarnya dipenuhi berbagai senjata tajam, bagaikan perbendaharaan raksasa pedang.
Dan semua senjata tajam ini benar-benar ada, bukan halusinasi. Di tangan Han Sen menggenggam sebilah Pisau Yanyu Dao dan sebilah pisau tebal berhulu lebar. Satu terbuat dari baja berkualitas tinggi, satu lagi dari logam khusus tertentu, keduanya memiliki tekstur yang sangat nyata. Benturan saat menahan hujan pisau tadi meninggalkan beberapa celah di mata pisaunya. Senjata-senjata ini pasti asli.
Han Sen menunduk melakukan pencarian, ingin melihat apakah ada pisau dengan kualitas lebih baik.
"Tak perlu mencari. Ini baru putaran pertama hujan pisau, kualitasnya masih sangat buruk. Jika ingin menemukan pisau bagus, setidaknya harus menunggu sampai tujuh putaran hujan pisau. Tentu saja jika kamu bisa bertahan sampai saat itu."
Seorang pria dari Suku Rebeite berjalan mendekat dari kejauhan, berkata dengan datar pada Han Sen.
Han Sen berbalik menatap pria itu. Wajahnya tampak tegas dan tampan, di kepalanya tumbuh sepasang telinga kelinci hitam. Di tangannya mengangkat sebilah pisau ramping, sepertinya juga baru saja diambil dari hujan pisau tadi.
“Yang Mulia？” Han Sen menatap lelaki Suku Rebeite itu dan bertanya.
“Hei Gang, putra Raja Bulan Hitam.” Pria itu berkata sambil melirik Han Sen, kemudian melanjutkan: “Dua tahun lalu, aku pernah memohon pada ayahku untuk membawaku menghadap Yang Mulia Sang Ratu Pisau Tajam, berharap Yang Mulia mau menerimaku sebagai murid. Namun permohonanku ditolak.”
Mendengar perkataannya, Han Sen langsung tahu bahwa Hei Gang datang dengan niat buruk. Rupanya masalah akan segera datang menemuinya.
Hei Gang menggenggam pedang sambil mendekati Han Sen dan melanjutkan: “Kalau Yang Mulia mau menerimamu sebagai murid, meski ada desas-desus buruk tentangmu di luar sana, aku tidak percaya Yang Mulia adalah orang yang sembarangan. Pasti ada kelebihan khusus yang membuatmu layak. Jadi, tunjukkan padaku, keunggulan apa sebenarnya yang kau miliki melebihiku?”
Begitu selesai bicara, pedang di tangan Hei Gang sudah melesat secepat kilat menghantam ke arah Han Sen.
Jurus pedang Hei Gang jelas bukan Gigi Pedang, aura-nya sangat keras dan kasar. Meski pedang sempit di tangannya biasa saja, tapi satu tebasan terasa seperti bisa memenggal ribuan pasukan dengan aura Sengit.
Pisau Yanyu Dao di tangan Han Sen bergerak, gerakannya ambigu antara menebas atau menusuk, tapi sangat ganas, seperti menerkam leher Hei Gang.
Pedang sempit Hei Gang menghantam, bertabrakan dengan pisau Han Sen. Kedua bilah tak tahan benturan kekuatan, sekaligus patah dua bagian.
"Tak kusangka kau sudah menguasai jurus Gigi Pedang Ratu... Bagus..." Sorot mata Hei Gang memancarkan cahaya ilahi meledak, sembari mencabut pedang dari tanah di sisinya, kembali menyerang Han Sen.
Pisau tebal punggung di tangan lainnya Han Sen kembali menyambut dengan gigi taring. Karena kualitas pisau terlalu buruk, kedua bilah langsung patah lagi.
Keduanya bertarung di tengah Hutan Pedang, sama sekali tidak kekurangan pedang. Begitu satu pedang patah, langsung mencabut yang baru dari samping. Di mana pun mereka melintas, pedang-pedang patah berhamburan tak henti.
Meski Hei Gang tidak berada di posisi inferior, raut wajahnya masam. Han Sen bolak-balik hanya menggunakan satu jurus Taring itu saja, dari awal sampai akhir tidak berubah sama sekali.
Tapi dengan satu jurus Taring itu, Han Sen bertahan melawan Hei Gang hingga detik ini tanpa sedikit pun terdesak.
Bagi Hei Gang, ini adalah penghinaan besar. Sorot matanya membeku hingga ke puncak, sambil menghantamkan pedang ke arah kepala Han Sen. "Hanya ini satu-satunya jurus yang kau punya?" bentaknya dengan suara dingin.
"Benar. Sebelum ke sini, Yang Mulia Ratu hanya mengajarkan satu jurus ini padaku," jawab Han Sen sambil mengangguk.
Hei Gang langsung membeku, pedang di tangannya berhenti di udara. Ia menatap Han Sen dengan pandangan kosong. "Kapan Yang Mulia Ratu mengajarkan jurus ini padamu?"
"Beberapa hari yang lalu," jawab Han Sen sembarangan.
"Ekspresi Hei Gang semakin aneh, dia melanjutkan pertanyaan: 'Selain jurus pedang ini, apa kamu masih punya jurus lain?'"
"Ada sih, tapi semuanya jurus yang tidak masuk peringkat." Han Sen tentu tidak bisa mengekspos jurus pedangnya. Sebenarnya, jurus pedangnya sama sekali tidak buruk.
Hei Gang memandangi Han Sen dengan wajah bermacam perasaan cukup lama, lalu melempar pedangnya ke tanah. Dengan suara dingin dia berkata: "Mengalahkanmu sekarang tidak ada artinya. Aku akan kembali bertarung setelah kamu benar-benar menguasai Gigi Pedang."
Han Sen mengangkat bahu tanpa konfirmasi. Pertarungan tanpa makna seperti ini sudah lama tidak menarik minatnya.
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan hujan pedang di sini?" Han Sen menatap Hei Gang sambil bertanya. Menurutnya, Hei Gang ini sepertinya tidak terlalu sulit diajak berinteraksi.
