Han Sen berputar-putar di sekitar area itu beberapa kali, tetap tak menemukan sosok yang menyerupai Santo Tianzhu.
"Mungkin benar-benar halusinasi." Han Sen menggelengkan kepala, lalu mencari penginapan di dalam kota Buddha.
Kota Buddha terlihat seperti seluruhnya terbuat dari emas murni, bahkan ubinnya berkilau keemasan. Patung-patung ras Buddha bertebaran di sekitarnya, membuat Han Sen merasa tak nyaman.
“Kapan Ishara akan datang?” Han Sen menunggu dua hari, belum juga melihat Ishara, mulai merasa tak sabar.
Di seluruh kota Buddha terdengar orang membicarakan acara Leluhur Ran Deng membacakan kitab suci. Bahkan rakyat biasa Kerajaan Buddha, baik dari ras Buddha maupun bukan, boleh datang mendengarkan tanpa batasan.
“Pantas saja Ishara bilang tak perlu serius mendengarkan. ‘Hukum takkan tersebar ke enam telinga’ - tapi khotbah yang disiarkan seluas ini, sekalipun ada kebenaran mutlak, sudah jadi item populer yang umum di pasaran.” Dalam hati Han Sen berkomentar sambil berdiri di depan patung Buddha.
Ini adalah Jalan Utama di Depan Buddha yang termasyhur. Jalan sepanjang 30 meter ini mengarah langsung ke Kuil Buddha Ran Deng, diapit 3.000 patung Buddha emas di kedua sisinya.
Konon setiap patung Buddha mewakili satu alam semesta - 3.000 patung berarti 3.000 alam semesta.
Ras Buddha memiliki teknik gen 3.000 Alam Semesta yang katanya terinspirasi dari 3.000 patung emas ini.
Meski Han Sen kurang percaya, tapi karena tidak ada kerjaan, dia memutuskan untuk datang melihat-lihat. Barangkali ada sesuatu yang bisa diperoleh.
Mungkin karena pengaruh pidato kitab suci Leluhur Lentera, jumlah ras asing di Jalan Buddha sangat banyak. Seperti Han Sen, hampir semuanya membawa anggota klan Illusi.
Pao Pao melonjak-lonjak di tubuh Han Sen dengan penuh kegembiraan.
Perkembangan intelektual klan Illusi sangat lambat. Karakter mereka monoton, tanpa ekspresi yang kompleks.
Untuk mencapai tingkat transformasi ilusi seperti anggota klan Illusi yang pernah menyamar sebagai Ishara, dibutuhkan puluhan tahun dan pasokan sumber energi besar untuk pertumbuhan mereka.
3.000 Buddha dengan pose beragam tanpa pengulangan, Han Sen melihatnya satu per satu dengan saksama sekadar untuk mengisi waktu.
Saat melihat patung Buddha ke-200-an, tiba-tiba melihat Biksu Buddha Non-Bicara bersama beberapa ras lain juga datang ke Jalan Buddha. Tampaknya status sosial ras-ras itu cukup tinggi. Biksu Buddha Non-Bicara mungkin mendampingi mereka untuk melihat-lihat 3.000 patung Buddha.
Han Sen melirik sebentar, tak bisa menahan keterkejutannya. Ras-ras itu ternyata semuanya berbeda, berasal dari sistem grup yang berlainan. Di antaranya bahkan ada seorang dari Ras Bersayap.
Sejak Ras Bersayap dipecat dari Klan Atas, jarang terlihat aktivitas mereka di luar Surga Suci. Bisa melihat anggota Ras Bersayap di sini pun sudah termasuk sulitnya.
Anggota Ras Bersayap itu tentu tak dikenalnya. Tapi di antara mereka, benar-benar ada orang yang dikenal Han Sen: Haier dari Da Dao Tian. Ternyata dia juga datang ke Kota Buddha.
"Tampaknya multiras sangat menghargai Tanah Suci Kebahagiaan. Entah keuntungan apa sebenarnya yang ada di dalamnya. Aku juga tidak tahu bagaimana Ishara berpikir, ternyata tidak menjelaskan persoalan ini secara transparan. Sungguh membuatku curiga apakah Aku benar-benar muridnya, atau malah otaknya yang sudah ditendang keledai." Han Sen merasa pasrah.
Untungnya Haier hanya mengenali Han Sen dalam status Zirah Dongxuan, yaitu penampilan Koin Emas, seharusnya tidak mengenali wajah aslinya. Kalau tidak, mungkin dia akan langsung berusaha mati-matian melawan Han Sen di sini.
Selain Han Sen, ada juga seorang Minotaur yang hitam dan kekar mirip Raja Iblis, bukan dari ras Kao, kemungkinan satu klan dengan Minotaur yang pernah Han Sen temui di Raboot.
Tersisa tiga yang lain, satu ras serangga dengan kepala mirip capung, satu dengan tiga wajah dan enam lengan di kepalanya, yang terakhir adalah seorang laki-laki dari ras Gana yang memiliki ekor ular secara mencolok.
"Beberapa anggota ini satu per satu terlihat memiliki aura yang luar biasa, seberapa hebatnya Han Sen tidak tahu, tapi identitas dan asal-usul mereka jelas sangat istimewa."
Han Sen menarik kembali sorot matanya dan tidak lagi melihat mereka, berbalik tubuh melanjutkan pengamatan patung-patung Buddha. Dia tak ingin bertemu dengan Haier, khawatir celah strateginya terbaca.
"Biksu Buddha, dalam perjalanan menuju Tanah Suci Kebahagiaan kali ini, entah berapa banyak makhluk yang bisa mencapai tepi tak berubah." Pria ras Gana itu berbicara kepada Biksu Buddha Non-Bicara.
"Kali ini bakat-bakat istimewa dari berbagai ras datang tak terhitung, pasti akan banyak yang mencapai tujuan. Kalian semua adalah elit klan masing-masing dengan bakat berbeda dari manusia biasa. Asal pikiran tetap murni, pasti bisa sampai ke sana." Biksu Buddha Non-Bicara berkata tenang.
Minotaur itu mendengus keras: "Belum tentu! Pembukaan Tanah Suci sebelumnya selalu membatasi jumlah penyintas maksimal sepuluh. Semakin banyak jagoan datang, kompetisi pasti semakin sengit."
"Amitabha Buddha!" Biksu Buddha Non-Bicara mengucapkan mantra suci, lalu berkata lembut: "Pangeran Sig tidak perlu khawatir, tepi tak berubah tidak memiliki batasan apapun. Seluruh makhluk hidup yang mampu menyelesaikan perjalanan di Tanah Suci Kebahagiaan, semuanya bisa mencapai tepi tersebut."
Anggota ras Gana melirik Minotaur, berkata dengan datar: "Sig, jika kau takut, kami mau menyarankanmu untuk tidak masuk ke Tanah Suci Kebahagiaan."
"Gude, apa maksudmu?!" Minotaur membentak marah. Anggota ras Gana yang sedang berapi-api itu mengeluarkan aura dengan percikan api dari hidungnya.
"Mohon tenangkan amarah kalian. Di jalanan-Mu Sang Buddha, tidak boleh berisik." Biksu Buddha Non-Bicara berdiri di antara keduanya.
Haier dan makhluk berwajah tiga dan enam lengan seperti iblis jahat itu sama sekali tidak bicara, hanya mengawasi dari samping.
Sig dan Gude sepertinya juga tidak benar-benar ingin bertarung. Mereka mendengus keras dan tak lagi mengacuhkannya.
Biksu Buddha Non-Bicara membawa mereka melanjutkan kunjungan ke Patung Buddha Tiga Ribu. Saat mereka melewati Han Sen, dengan sengaja dia membelakangi mereka, tak ingin ikut campur.
Meski hanya melihat bayangan punggungnya, Biksu Buddha Non-Bicara langsung mengenali Han Sen. Sorot mata ankilah terlihat sesaat, tapi dia pura-pura tidak melihat Han Sen sambil terus menerangkan Patung Buddha Tiga Ribu pada Haier dan yang lain.
Menyaksikan mereka satu per satu berlalu, Han Sen diam-diam menghela nafas lega. Namun sebelum leganya sempurna, tak lama setelah rombongan itu menjauh, Haier tiba-tiba berbalik dan berjalan langsung ke arahnya.
Jantung Han Sen berdebar: "Jangan-jangan dia menemukan celah?"
Yang ditakutkan Han Sen bukan Haier, melainkan terbongkarnya identitas koin emasnya. Masalah sesungguhnya ada di pihak Ishara.
Haier berjalan mendekati Han Sen, mengamatinya dengan penuh minat. Han Sen tetap asyik mengamati patung Buddha, sama sekali tidak menghiraukannya.
Bagaimanapun, Han Sen sudah bulat tekad. Sekalipun Haier benar-benar menemukan celah, dia mutlak tidak akan mengaku. Pokoknya sampai mati pun tetap tidak akan mengakui.
Tiba-tiba Haier mengulurkan satu tangannya menekan bahu Han Sen, bibir merahnya mendekati telinganya sambil tersenyum manis: "Kamu punya hubungan khusus dengan Biksu Buddha Non-Bicara, kan?"
Han Sen tak bisa menahan diri membeku sejenak. Tak menyangka Haier bisa mengucapkan kalimat seperti itu. Ia menatap Haier dengan pandangan kosong, tak paham apa maksud sebenarnya.
