Sorot mata Han Sen menyipit seperti batu karang yang tegak di tengah aura dahsyat itu. Tekanan mengerikan yang menindihnya langsung hancur berkeping-keping, bagaikan ombak yang menghantam tepian.
Langkah demi langkah sosok itu mendekat, aurnya kian mengerikan. Seluruh langit-bumi seolah berubah warna di hadapan Han Sen, seperti gelombang raksasa yang tak henti menerjangnya bertubi-tubi.
"Siapa yang berani mendekat?" Han Sen berdiri megah di kaki gunung, sorot matanya yang menyipit mengawasi siluet itu. Ujung jubahnya berkibar-kibar ditiup aura mengerikan itu.
Tapi raut wajah Han Sen sama sekali tidak berubah, seolah aura mengerikan itu tak ada sama sekali.
Siluet itu tidak menjawab, tetap melangkah demi langkah. Namun saat kakinya menginjak lempengan batu, terdengar suara keras.
Dum!
Langkah kaki yang seolah ringan itu bagai halilintar menyambar di dalam otak Han Sen, membuat matanya kembali terpejam perlahan.
Dum! Dum! Dum! Dum!
Langkah demi langkah siluet itu mendekat, derap kaki bagai guntur terus meledak dalam kesadaran Han Sen. Aura mengerikan itu pun semakin menggunung.
Han Sen mengamati siluet itu. Tinggi badan yang semula setara dengannya, kini dalam pupil matanya membesar bak dewa dengan wujud kosmik, membuat manusia merasa diri mereka bagai debu.
Meski tahu ini hanyalah ilusi yang dihasilkan aura, kemampuan memanfaatkan aura hingga tingkat seperti ini jelas tak bisa ditahan oleh orang biasa.
"Kapan muncul petarung kuat seperti ini di Suku Rebeite?" Han Sen merasa sedikit bingung.
Meski aura siluet ini mengerikan, energi vitalnya tidak mencapai level Raja, paling tinggi hanya adipati. Han Sen tak bisa membayangkan adipati mana di Celah Bulan yang memiliki kemampuan seperti ini.
Langkah demi langkah siluet itu mendekat, namun tetap tak bisa menggoyahkan Han Sen. Akhirnya berhenti sepuluh langkah di hadapannya, berdiri sambil mengamati Han Sen.
Kali ini Han Sen melihat jelas: ternyata siluet itu adalah wanita berpakaian hitam dan zirah hitam. Helm hitam dengan helm wajah menutupi raganya, hanya menyisakan sepasang mata cantik berkilauan gelombang keemasan, serta tubuh bugar yang terbungkus baju zirah.
Tinggi badannya hampir sama dengan Han Sen, namun sepasang kakinya jenjang dan tegak sangat mencolok.
Tapi sorot mata Han Sen tidak teralihkan oleh matanya atau kaki jenjang itu, hanya mengawasi ketat tangan kirinya.
Tangan kanannya terbungkus sarung tangan hitam, hanya memperlihatkan proporsi jari ramping dan jenjang. Namun tangan kiri telanjang, jelas terlihat telapak tangan putih lembut dengan jari-jari kristal, serta kuku transparan bak cangkang kerang.
Han Sen saat ini tidak berminat menyaksikan keindahan telapak tangan itu. Alasannya memandang tangan kiri ini karena di telapak itu sedang mengkristal kekuatan yang tak terkatakan.
Tanpa cahaya ilahi dahsyat atau semangat mengerikan, kepalan tangan elegan itu menerjang Han Sen. Sorot matanya sekejap terpaku sepenuhnya pada tinju itu.
Pada saat tinju itu menghantam ke arah Han Sen, seluruh tubuh Han Sen gemetar. Bukan karena takut, melainkan untuk mengaktifkan setiap helai tenaga dari seluruh tubuhnya.
Seperti saat menggigil di musim dingin, getaran ini bertujuan merangsang energi dalam tubuh dengan cepat demi mencapai pelepasan tenaga seoptimal mungkin.
Tekanan dari pukulan ini begitu dahsyat, memaksa Han Sen mengerahkan seluruh kekuatannya. Wanita berbaju hitam di hadapannya memancarkan aura bahaya yang ekstrem.
Han Sen tak mencoba menghindar. Saat tinju itu meluncur, seluruh ruang seolah dipenuhi kepalan, langit dan bumi dikuasainya - menciptakan ilusi tak ada tempat berlindung.
Tapi Han Sen juga tak berniat kabur. Tangan kanannya menggenggam tinju, tubuh bergetarnya mengkristalkan seluruh tenaga ke kepalan yang dihantamkan keras ke arah tinju sang wanita.
Api pukulan menggeram bak iblis jahat, membawa Kekuatan Gigi Mutlak yang mengerikan merobek ruang menyambut tinju wanita itu.
Tinju bertabrakan, Kekuatan Gigi Mutlak di tinju Han Sen hancur seketika. Tinju putih mengkilap transparan itu menghantam keras tinju Han Sen.
Boom!
Han Sen hanya merasakan kekuatan tak terbendung meledak dari tinju putih itu, dalam sekejap seolah ledakan besar alam semesta, membuat tinju dan raganya terlempar tanpa kendali.
Han Sen menginjak-injak tanah dengan kaku, batuan keras terkikis menjadi dua parit dalam oleh kakinya, memanjang ratusan meter hingga tubuhnya menghantam tebing dan membuat sebagian besar dinding tebing ambruk, barulah berhenti.
Dinding tebing runtuh, tapi Han Sen masih berdiri tegak. Hanya tangan kanannya yang tergenggam erat sudah penuh luka, tulangnya juga tampak retak.
"Siapa kau?" Han Sen mengawasi ketat wanita itu dan bertanya lagi.
Tenaga pukulan wanita itu sangat eksentrik, membawa getaran tak terbendung yang nyaris tak bisa ditahan bahkan oleh konstitusi fisik super kuat Han Sen sekarang.
Setelah menerima pukulan ini, Han Sen akhirnya menyadari: Wanita mengerikan berbaju hitam dan berrompi hitam ini ternyata sama seperti dirinya - hanya seorang Marquis.
Inilah yang benar-benar mengejutkan Han Sen. Jika bicara soal tenaga murni, kekuatannya mungkin bahkan melebihi Gu Zhu, ditambah dengan gaya pukulan khusus itu.
Han Sen memperkirakan, bahkan dirinya sendiri harus mengoordinasikan jurus Hong Tian Liu Po untuk bisa melawan frontal gaya pukulannya.
"Mampu menerima pukulanku tanpa tumbang, pantas disebut yang sejajar dengan Gu Zhu. Kamu lulus." Mata wanita itu memancarkan cahaya keemasan menatap Han Sen, suaranya tetap datar namun penuh wibawa: "Kuberi kesempatan menjadi anggota guild Ksatria-ku."
"Kamu dari ras?" Han Sen mengawasi ketat wanita itu.
"Benar." Jawab wanita itu dengan tenang.
"Kenapa mempersulitku?" Tanya Han Sen lagi.
Wanita itu menjelaskan tanpa ekspresi: "Awalnya aku ke sini mengantarkan surat rekrutmen untuk Ishara, sudah mau pergi. Tapi mendengar ada Marquis sejajar Gu Zhu di sini, sekalian kucoba kemampuanmu. Hasilnya, layak bergabung dengan guild kami."
"Maaf, aku tidak berniat meninggalkan Celah Bulan." Han Sen menjawab sambil waspada, mempersiapkan diri menghadapi serangan berikutnya dari wanita tangguh ini.
Tapi wanita itu tidak berniat melakukan serangan berikutnya. Setelah mendengar penolakan Han Sen, dia berbalik dan pergi, hanya menyisakan bayangan bugar dari belakang dan rambut panjang keemasan yang berkibar. Sikapnya seolah mengatakan bahwa Han Sen sama sekali tidak tahu apa yang telah dia lewatkan.
"Wanita yang sangat sombong," gumam Han Sen dalam hati.
