Memandangi anak-anak kodok yang seolah menganggapnya spesies sejenis, mengerumuni dan mondar-mandir di sekitarnya, Han Sen merasa sedikit frustrasi: "Aku bukan kodok lumpur."
Sejak hari itu, Han Sen tidak lagi menggunakan token penjaga gerbang dingin ketika datang ke sini untuk menyerap Gaya Beku dan tenaga bulan. Bahkan dia bisa mengikuti kodok dewa melawan arus seperti anak-anak kodok kecil, mencapai bagian atas air terjun, dan menyerap tenaga bulan yang dimuntahkan kodok dewa di sebelahnya.
Teknik Kulit Es dan Tulang Giok Han Sen mengalami kemajuan pesat. Awalnya diperkirakan butuh hampir setahun untuk naik ke tingkat Adipati, namun sekarang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda akan naik level. Diyakini dalam dua tiga bulan lagi, dengan beberapa kali menyerap gaya beku dan tenaga bulan, pasti bisa mencapai level Adipati.
Begitu Teknik Kulit Es dan Tulang Giok mencapai level Adipati, dia harus langsung mencari sumber daya level tinggi. Tidak boleh terjebak di Bintang Gerhana lagi.
Tempat itu bagus untuk latihan awal, tapi selama tidak bisa keluar dari sana, mustahil ada perkembangan sesungguhnya.
Tanggal lima belas bulan ini, setelah Han Sen menyelesaikan tugas penjaga gerbang, dia hendak meninggalkan Bintang Tajam Pisau untuk kembali ke Bintang Gerhana miliknya. Namun baru sampai di istana, dua sekretaris dari Suku Rebeite sudah mendekat ditemani Adipati Salju Burung.
"Han Sen, Yang Mulia Raja Bulan Sabit memanggilmu. Mohon ikut kami ke Kuil Bulan Purnama," ujar salah satu sekretaris dengan bermuka masam.
"Ada urusan apa Yang Mulia memanggilku?" Han Sen mengerutkan kening bertanya.
Kuil Bulan Purnama sebenarnya adalah ruang rapat bulan purnama. Biasanya hanya para penguasa wilayah Celah Bulan yang berhak berdiskusi di sana. Pemanggilan seorang Marquis kecil seperti dirinya oleh Raja Bulan Sabit di ruang rapat jelas merupakan hal yang luar biasa.
"Tiba di sana nanti pasti akan mengerti," jawab sekretaris lainnya dengan suara dingin.
Han Sen melirik Adipati Salju Burung di sebelahnya. Raut wajah sang adipati terlihat tidak beres, namun dia hanya mengangguk perlahan tanpa berkata apa-apa.
“Yang Mulia Raja Bulan Sabit dan para penguasa lainnya sudah menunggu. Ayo kita segera berangkat.” sang sekretaris mendesak.
Han Sen terpaksa mengikuti mereka ke Kuil Bulan Purnama. Saat duduk di pesawat ruang angkasa, hatinya bergolak: "Pasti ada masalah dengan Ishara. Kalau tidak, Raja Bulan Sabit takkan memanggilku ke Ruang Rapat Bulan Purnama. Jika benar Ishara bermasalah, hidup enakku di Suku Rebeite sudah tamat."
Han Sen sadar betul: Di Celah Bulan, mungkin hanya Raja Bulan Hitam yang masih punya niat baik padanya.
Para penguasa lain tak begitu menyukainya sebagai murid Ishara. Mengingat Han Sen bukan anggota Suku Rebeite tapi menikmati begitu banyak sumber daya mereka, bisa dikatakan baik hati mereka belum menjadikannya duri dalam daging.
“Jika Han Sen benar-benar bisa terbang tinggi, sebenarnya tidak sulit membuat beberapa Sang Penguasa Celah Bulan memandangnya dengan pandangan baru. Masalah utamanya adalah tingkat kesulitan kenaikan level Han Sen yang sangat tinggi - mereka bahkan menganggap kemungkinan naik ke level Raja saja hampir tidak ada, apalagi mencapai tahap mitos. Wajar saja mereka semakin tidak tertarik.”
“Seperti tugas penjaga gerbang kali ini. Jika diganti dengan Marquis berbakat lainnya yang sudah menjaga gerbang begitu lama, mungkin sudah hampir naik ke tingkat Adipati. Tapi Han Sen sama sekali tidak ada perkembangan.”
“Dulu masih ada Ishara yang mengawalnya. Jika Ishara tidak ada lagi, pada dasarnya Suku Rebeite tidak mungkin lagi membuang-buang sumber daya sebanyak itu untuk anggota ras lain seperti Han Sen.”
“Pola lama persaingan Suku Rebeite masih terlalu sempit. Klan atas yang berasal dari budak ini sudah terlalu terbiasa dengan kemiskinan, tidak memiliki kewibawaan dan keluasan hati. Hanya Ishara yang masih memiliki visi, sayangnya.” Han Sen mengolok dalam hati. Untuk hasil perjalanan ini, dia sudah bisa memperkirakan sekitar 70-80%.
Ketika Han Sen tiba di ruang pertemuan bulan purnama, ia melihat di atas meja bundar yang sempurna seperti bulan penuh itu duduk Raja Bulan Sabit dan yang lainnya.
Hampir semua petarung level Raja di Celah Bulan hadir dalam pertemuan ini. Raja Bulan Sabit duduk di tengah, sementara Raja Bulan Hitam, Raja Bayangan, Raja Liu Hua, Raja Sungai Malam, dan beberapa petarung level Raja lainnya masing-masing menempati sisi kiri-kanan dalam bentuk bulan sabit, semuanya mengawasi Han Sen yang berdiri di bagian bawah.
"Han Sen menghadap Yang Mulia." Setelah memberikan penghormatan kepada Raja Bulan Sabit dan yang lainnya, Han Sen diam berdiri di sana tanpa ekspresi khusus di wajahnya.
Raja Bulan Sabit menghela nafas lalu berkata pada Han Sen: "Kemarin datang kabar dari Klan Huangji. Gurumu malangnya telah runtuh di Bidang Bintang Kacau. Bahkan peninggalan tulangnya pun tidak tersisa. Suku kami berencana membangun makam simbolis untuknya. Sebagai satu-satunya murid Tajam Bagai Pisau, engkau wajib terlibat dalam pengurusan berbagai acara peringatan ini."
“Murid pasti akan berjuang maksimal, harap Yang Mulia Raja Bulan Sabit memberitahu, bagaimana guru saya bisa runtuh?” Han Sen memberi hormat perlahan, di hatinya merasa ada keanehan.
Ishara bisa dibilang lawan atau musuhnya. Dia berpura-pura menyembah Ishara sebagai guru, sementara Ishara yang menerimanya sebagai murid sepertinya juga punya agenda tersembunyi.
Tapi seiring waktu, Ishara memang benar-benar baik padanya. Memberikan banyak kesempatan. Tanpa kesempatan itu, jika Han Sen merantau sendirian, mungkin butuh sepuluh tahun lagi untuk mencapai pencapaian sekarang.
Karena itu perasaannya pada Ishara sangat rumit. Mendengar Ishara runtuh, hatinya terasa aneh, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
“Menurut utusan Klan Huangji, Tajam Bagai Pisau tewas saat terlibat pengepungan varietas langka tingkat mitos. Dia ditelan dan dibunuh… Tak ada yang tersisa…” Raja Bulan Sabit menghela nafas dalam-dalam.
Desahan Raja Bulan Sabit kali ini bukanlah omong kosong. Sangat sulit bagi Suku Rebeite untuk melahirkan seorang yang hampir mencapai tahap mitos. Apalagi Ishara adalah anggota Suku Rebeite yang paling berpeluang mencapai tahap mitos.
Kehilangan Ishara memang merupakan pukulan yang cukup besar bagi Suku Rebeite.
Namun jika Ishara tidak pergi ke Klan Huangji, sama sekali tidak ada kesempatan baginya untuk mencapai tahap mitos. Sekalipun bisa bertahan hidup, seumur hidupnya hanya akan terhenti di ambang pintu tahap mitos.
Bagi seseorang seperti Ishara, dipaksa berhenti di tahap ini seumur hidup mungkin lebih sulit diterima daripada membunuhnya.
Han Sen terdiam mendengarnya. Mati ditangan varietas langka mitos tanpa meninggalkan jejak sama sekali, sungguh kematian yang bersih dan efisien - persis seperti gaya khas Ishara.
“Setelah membereskan urusan makam simbolis Sang Ratu Pisau Tajam dan hal-hal terkait, masih ada beberapa urusan administrasi yang perlu kamu tangani. Sebagai satu-satunya murid Sang Ratu, sebagian warisannya juga harus kamu terima. Nanti aku yang akan memverifikasi satu per satu sebelum diserahkan kepadamu.” Setelah Raja Bulan Sabit selesai bicara, Raja Sungai Malam melanjutkan.
Han Sen tahu inilah poin-poin pentingnya. Entah berapa banyak warisan yang akan diwariskan Suku Rebeite padanya.
Hanya saja semua ini mungkin di luar kendali Han Sen. Raja Sungai Malam pun sama sekali tidak bermaksud berdiskusi, sepenuhnya ini keputusan sepihak.
Han Sen sudah mengantisipasi hal ini. Tanpa berkata-kata, setelah mendengarkan semua penjelasan, dia meninggalkan Ruang Rapat Bulan Purnama untuk mengurus urusan pemakaman Ishara.
“Hadiah prestasi perang yang dikirim Klan Huangji, menurut aturan seharusnya diwariskan kepada muridnya yaitu Han Sen…” Kata Raja Bulan Hitam belum selesai, sudah dipotong oleh Raja Sungai Malam.
"Han Sen pada akhirnya bukan anggota Suku Rebeite, mana mungkin layak mewarisi. Masalah ini sudah kami diskusikan, tidak perlu dibahas lagi." Raja Sungai Malam berkata dengan tegas.
