Makhluk kecil yang pertama kali menyerbu puncak tangga dan tumbang di tanah itu tiba-tiba berguling bangkit. Meski terlihat renta, kemampuan fisiknya masih sangat lincah. Hanya dalam dua tiga langkah, ia sudah berlari dan berdiri di samping kaki sang nenek.
Kobaran api transparan terus membara di atas tangga batu, namun sama sekali tak terasa panasnya. Nyala transparan itu naik ke udara, mulai mengkristal perlahan.
Han Sen, Bai Wei, dan makhluk kecil itu, semuanya mengeluarkan api transparan yang tersedot keluar dari tubuh mereka, lalu berkumpul di udara.
Seiring terlepasnya api transparan, tubuh ketiganya perlahan pulih - dari kondisi tua renta kembali ke bentuk aslinya.
Seluruh api transparan di udara mengkristal menjadi seekor burung berwujud nyala api tembus pandang. Burung yang mirip Phoenix itu mendongak ke langit dan mengeluarkan suara teriakan yang mengagetkan, lalu mengangguk pelan ke Han Sen sebelum mengibaskan sayap besarnya dan menerjang Gunung Mantou, menghilang di antara bebatuan dalam sekejap mata.
"Remaja, kau menang." Nenek itu memandang Han Sen dengan serius. "Hanya saja aku penasaran, bagaimana kau bisa begitu yakin tak akan mati?"
Han Sen menunjuk ke makhluk kecil di samping kaki nenek-nenek itu: "Kau melarang Bai Wei meninggalkan Jalan Hidup-Mati, tapi tidak menghalangi kami menangkap makhluk kecil untuk percobaan. Ini membuktikan hasil percobaan itu bukan hal buruk bagimu, mungkin bahkan berguna. Selain itu, aktingnya terlalu berlebihan - baru saja kukejar, dia langsung kabur ke gunung seolah mau mati. Sangat tidak wajar. Jadi kurasa makhluk ini adalah ternakanmu."
"Hanya dengan alasan ini, kau berani mendekat?" Nenek-nenek itu memandangi Han Sen dengan raut wajah penuh keanehan.
Meski analisisnya tidak salah, tapi menyangkut nyawa, ini tetap hanya spekulasi. Sekalipun ada 5% keraguan, takkan ada yang berani mengambil risiko.
Han Sen menggelengkan kepala: "Analisis itu tidak penting. Yang kulihat adalah dia tidak benar-benar mati. Meski aktingnya sempurna dan punya teknik menyembunyikan vitalitas, tapi tak bisa mengelabui mataku."
Bai Wei yang telah kembali ke status gadis remaja juga mendekat, termenung memandangi makhluk kecil di samping kaki sang nenek.
"Oh begitu, ternyata tindakanku berlebihan." Sang nenek mengulurkan tangannya perlahan, dan makhluk kecil itu otomatis melonjak ke pelukannya. Setelah membelai makhluk itu dua kali, barulah ia melanjutkan, "Karena kalian telah melewati jalan kehidupan dan kematian, dan mendapatkan pengakuan dari kehendak Yang Mulia Phoenix Abadi, taruhan ini sah kalian menang. Barang itu boleh kalian bawa pergi."
Meski berkata demikian, kaki sang nenek tak bergeser. Ia hanya tersenyum manis mengawasi mereka.
"Di mana barangnya?" Bai Wei mengerutkan kening bertanya.
Sang nenek tersenyum, "Barang itu ada di hadapan kalian. Bukankah kalian telah melihatnya lama sekali?"
"Bukit batu ini?" Bai Wei tertegun sejenak, lalu langsung tersadar. Matanya menatap bukit batu di bawah kakinya.
Nenek-nenek itu mengangguk dan berkata: "Gunung ini bernama Kutub Kematian, merupakan harta suci alam semesta yang terlahir secara alami. Dulunya Yang Mulia Phoenix Abadi dan Yang Mulia Kaisar Putih sama-sama menemukan Gunung Kutub Kematian, lalu membuat perjanjian untuk menentukan kepemilikan gunung ini melalui pertarungan. Sayangnya pertarungan itu tak pernah mencapai titik akhir, sehingga gunung ini terpaksa dibiarkan di tempat asalnya dengan penjagaan dari Yang Mulia Phoenix Abadi. Namun karena Yang Mulia telah tiada dan dimakamkan dalam gunung ini, gunung suci ini kini tak berguna lagi bagi makhluk lain. Pasti Yang Mulia Kaisar Putih mengetahui hal ini, sehingga beliau tak datang sendiri namun mengutusmu untuk menepati janji."
"Kalau begitu, mengapa Ayahanda tetap mengutusku ke sini?" Bai Wei bertanya dengan bingung.
Nenek-nenek itu berkata dengan datar: "Meski Yang Mulia Phoenix Abadi telah lama wafat dan terpaksa menduduki gunung ini, tentu beliau tak akan menguasainya secara gratis. Masih ada satu peninggalan untukmu di sini. Tentang bisa tidaknya kau membawanya pergi, itu tergantung pada kemampuanmu sendiri."
Sambil berkata, tongkat di tangan nenek itu menunjuk ke menara di belakangnya. Segumpal api melesat dari tongkat dan mendarat di menara, langsung membakarnya. Dalam sekejap mata, menara itu pun ditelan kobaran api.
Hanya beberapa saat, menara telah habis terbakar menjadi debu yang beterbangan tertiup angin. Hanya satu benda yang tersisa di lokasi bekas menara.
Sorot mata Han Sen dan kawan-kawannya tertuju pada benda itu, merasa ada keanehan. Benda itu ternyata adalah anyaman rumput kering yang berbentuk seperti sarang burung.
Penampilannya sama sekali tidak indah, bahkan bisa dibilang agak kasar. Hanya posturnya yang cukup besar dengan diameter melebihi tiga meter, bisa muat beberapa orang tidur di dalamnya.
"Inikah peninggalan Yang Mulia Burung Phoenix Abadi?" tanya Han Sen dengan penasaran.
Nenek-nenek itu memandang sarang burung itu dengan sorot mata berkabut, "Jangan kalian remehkan ini. Ini adalah tempat kelahiran Yang Mulia Burung Phoenix Abadi. Rumput kering ini pun bukan benda biasa, disebut Rumput Panjang Umur. Jika bisa membawanya pergi, nanti kalian akan paham manfaatnya."
Bai Wei tak banyak bicara lagi. Ia mendekati sarang burung itu dan mencoba mengangkatnya. Namun sarang yang terbuat dari rumput kering itu seberat gunung. Berkali-kali ia mengerahkan tenaga, sarang itu tetap tegak tanpa bergerak, bahkan sehelai daun kering pun tak bisa dilepaskannya.
Sang nenek tersenyum manis, "Yang Mulia Burung Phoenix Abadi tercipta di sini, lalu menghuni tempat ini selama miliaran tahun. Kekuatan keabadiannya telah meresap sempurna ke seluruh sarangnya. Senjata mitos biasa pun takkan bisa menandinginya. Tak mudah membawa ini pergi."
Bai Wei mengerutkan kening halus, keemasan memancar deras dari tubuhnya. Sebuah siluet cahaya muncul di sekujur tubuhnya, membuat aura-nya melonjak drastis—puluhan kali lipat lebih kuat dari kondisi biasanya.
Han Sen sedikit terkejut, tak menyangka Bai Wei masih menyimpan kemampuan cadangan seperti ini.
Namun meski telah melepaskan tenaga sebesar itu, sarang burung phoenix yang abadi tetap tak goyah sedikit pun. Segala upaya kerasnya sia-sia belaka.
Senjata mitos jelas bukan benda yang bisa direbut paksa oleh seorang Marquis kelas menengah. Mustahil bagi Bai Wei untuk membawanya pergi dengan cara kekerasan.
"Sesuai hukum timbal balik, Yang Mulia Burung Phoenix telah meninggalkan harta termulia untukmu. Tapi jika tak bisa membawanya, jangan salahkan orang lain." Si nenek berkata sambil tersenyum manis.
Bai Wei diam seribu bahasa dengan alis berkerut, matanya menatap tajam sarang burung phoenix itu. Namun tak satu pun strategi untuk membawanya pergi terlintas di pikirannya.
Han Sen melihat nenek-nenek itu dan bertanya: "Apakah hanya makhluk hidup yang berhasil melewati jalan hidup-mati dan mendapat pengakuan kehendak burung phoenix yang abadi, baru bisa mengambil sarang burung phoenix itu?"
Bai Wei yang mendengar itu juga menatap nenek tersebut. Ekspresi wajah nenek itu berubah sejenak, bahkan sebelum sempat menjawab, keduanya sudah tahu jawabannya.
Han Sen berjalan mendekati sarang burung phoenix, mengulurkan tangannya ke tepian sarang. Begitu telapak tangannya menyentuh sarang itu, sarang tersebut langsung melayang ke udara dan mulai menyusut dengan cepat. Hanya dalam sekejap mata, sarang itu telah berubah menjadi sarang burung sebesar telapak tangan yang hinggap di telapak tangan Han Sen.
"Ternyata benar," kata Han Sen sambil menyodorkan sarang itu ke Bai Wei yang berdiri di sampingnya.
Bai Wei segera meraih sarang tersebut. Tapi begitu Han Sen melepaskan genggamannya, sarang itu tiba-tiba menjadi seberat batu raksasa dan terjatuh. Tenaga Bai Wei sama sekali tak mampu menghentikan jatuhnya, hingga tubuhnya ikut tertarik membungkuk.
Sarang burung jatuh ke tanah. Tidak peduli seberapa keras Bai Wei mengerahkan tenaga, dia tetap tidak bisa mengangkatnya.
