Di alam semesta genetik, umumnya makhluk hidup hanya memiliki satu jiwa. Tapi di laut jiwa Han Sen, terdapat banyak roh binatang serupa. Satu kue perak bisa mengunci satu roh binatang. Han Sen hanya menggunakan delapan roh binatang yang ditempelkan pada delapan kue perak, membuat fungsi kue-kue itu hilang.
Setelah menyimpan semua kue perak, Han Sen menepuk kepala Qilin Darah lalu menatap Tuan Putih: "Tuan Putih, ke mana seharusnya kita pergi sekarang?"
Tuan Putih merenung sejenak lalu berkata: "Istana di sini entah terbuat dari material apa, bahkan Hu Fei pun tak bisa menghancurkan. Kita hanya bisa berpindah antar istana melalui pintu teleportasi. Setiap istana memiliki empat pintu teleportasi: gerbang utama, masing-masing satu di dua ruang samping, dan satu lagi di dalam ruang belakang. Artinya, setiap istana punya empat pintu keluar. Kita belum tahu berapa total istana di sini. Kalau cuma mengandalkan hoki, mustahil menemukan jalan yang benar menuju lokasi harta karun Santo yang sesungguhnya."
"Tuan Putih menguasai segel dan teknik perhitungan, pastinya sudah punya rencana matang?" Han Sen tersenyum.
"Ada sedikit ide, tapi belum tahu benar atau tidak. Mari kita coba." Tuan Putih berjalan menuju ruang belakang sambil berkata.
Duan Zui mengikuti Tuan Putih, Han Sen juga membawa Qilin Darah mengikutinya. Seperti yang dikatakan Tuan Putih, tempat ini benar-benar menyerupai labirin. Han Sen tidak terlalu mahir dalam hal ini, jadi tidak mudah menemukan tempat persembunyian harta Santo yang sesungguhnya.
Berjalan sembarangan tidak hanya berbahaya, tapi mungkin juga malah bertemu Hu Fei sebelum menemukan harta karun, yang akan memperparah masalah.
Mengikuti Tuan Putih melewati pintu teleportasi di ruang belakang, mereka tiba-tiba berada di aula lain yang mirip dengan aula pertama tempat Han Sen masuk, lengkap dengan banyak patung batu dan relief dinding.
Setelah melakukan perhitungan, Tuan Putih memilih pintu teleportasi di ruang samping untuk melanjutkan perjalanan.
Han Sen segera menyadari jumlah istana di sini sangat banyak dan kerumitannya tak terbayangkan. Setiap kali tiba di istana baru, Tuan Putih akan melakukan perhitungan ulang. Setelah lebih dari empat jam melewati lebih dari seratus istana, mereka masih belum mencapai titik akhir.
"Berapa lama lagi kita bisa mencapai tempat harta karun?" Han Sen tidak tahan lagi bertanya.
Duan Zui mendengus keras: "Kau pikir menghitung jalur yang benar itu mudah? Jika bukan karena Tuan Putih membawa kita melewati jalan yang benar, di istana-istana yang salah itu ada bahaya mematikan. Bukan lagi soal waktu, tapi apakah bisa keluar hidup-hidup pun masih jadi ketidakpastian."
"Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin tahu berapa lama lagi sampai ke lokasi harta karun yang sesungguhnya," kata Han Sen dengan datar.
Tuan Putih tersenyum: "Jika perhitunganku tepat, kita akan segera mencapai titik nodal pertama."
"Apa maksudnya?" Han Sen bertanya dengan bingung.
Tuan Putih berpikir sejenak lalu berkata: "Sekalipun kita mengambil jalan yang benar, akan ada beberapa tindakan defensif di dalamnya. Seperti brankas yang dilengkapi banyak pintu keamanan, meski jalur kita tepat, pintu-pintu itu harus dibuka terlebih dahulu sebelum bisa masuk. Tempat seperti ini menurut estimasi saya ada empat hingga tujuh, yang kusebut sebagai titik nodal. Tentu saja, 'pintu keamanan' hanyalah perumpamaan - sistem pertahanan di sini jauh lebih kompleks dari itu. Kita semua harus ekstra waspada."
Setelah mengatakan itu, Tuan Putih melanjutkan langkahnya. Han Sen pun terpaksa mengikuti sang ahli terus maju.
Setelah melewati tiga istana lagi, Tuan Putih berhenti di gerbang utama sebuah bangunan megah. Kepada Han Sen ia berpesan: "Jika kalkulasi saya akurat, istana berikutnya adalah titik nodal pertama dalam labirin ini. Kalian harus meningkatkan kewaspadaan."
Begitu mengucapkan peringatan itu, Tuan Putih melangkah lebih dulu menembus tirai cahaya. Duan Zui segera menyusul, menyelusup bersama sang mentor ke dimensi berikutnya.
Han Sen menyangga sarang burung di kepalanya, lalu memanggil Batas Gaib Raja Ulat Sihir Emas, barulah melangkah masuk ke dalam tirai cahaya.
Sama seperti sebelumnya, Han Sen muncul di portal teleportasi istana berikutnya. Istana ini benar-benar berbeda dengan ratusan istana yang pernah mereka lewati sebelumnya.
Sebuah istana berbentuk lingkaran dengan langit-langitnya seperti langit biru yang menyelimuti bumi. Di pusat aula utama, berdiri patung batu raksasa berbentuk dewa berbalut baju zirah. Kepalanya hampir menyentuh puncak langit-langit. Meski hanya patung, aura mengerikan yang dipancarkannya membuat siapapun ingin bersujud, seolah dia adalah penguasa mutlak alam semesta.
"Apakah ini patung Tuan Tanah Suci?" Han Sen mengamati patung itu sambil membuat hipotesis dalam hati.
Hu Fei pernah memberitahunya bahwa Tuan Tanah Suci selalu mengenakan baju zirah, sampai-sampai gender aslinya pun membingungkan.
Tuan Putih dan Duan Zui telah keluar dari teleportasi, namun tidak melanjutkan perjalanan. Han Sen dan Qilin Darah mendekati mereka, barulah Tuan Putih berkata: "Meski saat ini terlihat tidak ada bahaya, semua harus tetap berhati-hati. Pintu keluar teleportasi yang benar di sini adalah gerbang utama, jadi kita harus melewati sisi patung batu itu."
Sambil berkata demikian, Tuan Putih melangkah ke sisi patung. Namun Duan Zui selangkah lebih cepat, berjalan di depan Tuan Putih sambil berkata: "Biarkan aku yang memimpin jalan untuk Tuan."
Han Sen merasa cukup mengagumi Duan Zui. Kini sudah jarang ditemukan orang dengan kesetiaan sepertinya.
Han Sen berjalan di sisi Tuan Putih sementara Duan Zui berada di posisi terdepan. Belum sempat mereka mendekati patung, tiba-tiba sorot mata patung itu berbinar-binar.
Seluruh istana diterangi oleh sepasang matanya yang menyilaukan bagai lampu sorot. Sorot mata itu justru langsung menyinari Han Sen dan rombongannya.
Namun cahaya itu sepertinya hanya cahaya biasa, tidak bersifat destruktif dan juga tidak berhasil menembus penghalang pertahanan mereka.
"Anak-anak kecil, selamat datang di perbendaharaanku." Patung batu itu ternyata mulai berbicara, membuat Han Sen dan yang lainnya terkejut.
"Jangan takut, ini hanyalah sisa kehendakku dalam patung, bukan tubuh sejati yang hadir langsung." Patung itu melanjutkan: "Karena kalian bisa sampai di sini, berarti tubuh asliku sudah lama mati. Barang yang tersimpan di sini pun sudah tak berguna bagiku. Aku bisa memberikannya pada kalian, tapi kalian harus melewati tes kecil. Hanya makhluk hidup yang lolos tes yang layak mendapatkan harta karunku. Kalau tidak, sekalipun petarung kuat yang termitosis datang, enak saja mimpi mengambil sebutir pasir dari sini."
"Tes seperti apa?" tanya Duan Zui.
Suara patung itu datar seperti robot tanpa gelombang emosi, tidak bisa dibedakan gender: "Tes di babak ini sederhana. Kalian hanya perlu menghancurkannya untuk lolos. Semoga sukses."
Seraya berkata, patung batu itu tiba-tiba bergerak. Ia merentangkan tangan dan membungkuk, meletakkan sebuah benda di telapak tangannya di hadapan Han Sen dan rombongan, lalu kembali ke bentuk semula.
Kilatan cahaya di mata patung batu itu perlahan padam, seolah berubah menjadi patung batu biasa.
Han Sen mengamati lebih seksama benda yang diletakkan patung itu. Terdapat sebuah landasan batu berdiameter sekitar 40 sentimeter yang terlihat biasa, seolah dibuat dari patung batu hijau paling sederhana.
Duan Zui mencoba berdialog dengan patung itu, namun patung tersebut tidak lagi menanggapi pertanyaannya.
"Tak perlu ditanya lagi. Itu hanyalah seberkas Kehendak yang kini telah sirna. Patung ini tak lagi memiliki keunikan apa pun," ujar Tuan Putih.
