Saat energi-energi aneh itu sepenuhnya terserap ke dalam tubuh Han Sen, Umurnya telah mencapai 1.787 tahun—meningkat drastis 500-600 tahun sekaligus. Kebahagiaan membanjiri hatinya.
“Dia ini menyerap berapa banyak Umur Klan Huangji? Jangan-jangan cuma segini?” ujar Han Sen dengan keserakahan, matanya tertuju pada baju zirah kristal hitam.
Baju zirah kristal hitam tidak mengacuhkannya. Tubuhnya berbalik dan melangkah kembali ke dalam laut jiwa, tetap mengapung diam di sudut seperti sebelumnya.
Hampir bersamaan dengan hancurnya pria yang menyebut diri sebagai dewa, di sebuah istana mistis nun jauh di sana, seorang lelaki mengerutkan kening halus: "Dewa Kekosongan... Sekalipun boneka ilahuku tak sengaja melanggarmu, menghancurkan Mata Dewanya sudah cukup. Mengapa harus memusnahkan wujud fisiknya juga? Apakah kau kira aku takut padamu?"
Di atas jalan raya, peramal itu menatap celana dalam bermotif bunga yang kini telah menjadi barang rongsokan di tangannya. Begitu dilepas, benda itu berubah menjadi abu beterbangan. "Sayang sekali," ujarnya berkesedihan, "Barang bagus yang susah payah kudapatkan ini..."
Ia memungut mangkuk mie yang terjatuh, mengelapnya dengan jubah hingga bersih, lalu menyimpannya. Dengan menggendong papan nama "Menghitung Semua Takdir Langit", langkahnya terhuyung-huyung menjauh di jalan raya, akhirnya menghilang dalam kerumunan.
Han Sen melihat pria itu sudah berubah menjadi debu, memperkirakan waktunya sudah hampir habis, ia cepat-cepat menuruni tangga. Sambil terus berjalan sambil berpikir: "Kalau Klan Huangji menemukan patung batu itu hancur, mereka tidak akan mencari masalahku kan? Yang pasti, sekalipun mereka mengalahkan aku, aku tidak akan mengakui bahwa aku yang menghancurkan patung itu. Kalaupun aku bilang itu perbuatanku, mereka pasti tidak mungkin percaya kan?"
Ketika berjalan hingga lapisan keenam, Han Sen melirik dan menemukan relief-relief itu masih ada, tapi nuansa yang ada di atasnya sudah hilang seluruhnya, tak berbeda dengan lukisan biasa.
Sepanjang jalan turun semuanya seperti ini, seluruh lukisan telah kehilangan aura ilahi, tak tersisa sedikit pun keunikannya.
"Aneh, Hu Fei bilah Cermin Takdir Sembilan Putaran Suku Rubah Rayuan mereka seharusnya ada di dalam menara ini, kenapa aku tidak melihatnya?" Han Sen teringat urusan Hu Fei, menghitung waktu masih ada lebih dari satu shichen, lalu berputar-putar lagi di dalam menara.
Menara Takdir Langit ini, selama sebulan terakhir entah sudah berapa kali dia putar. Di dalam menara selain lukisan-lukisan itu, hanya ada pria itu semata, sama sekali tak terlihat cermin apapun.
"Mungkinkah Hu Fei menipuku? Tidak masuk akal. Menipu dalam hal seperti ini tidak memberi keuntungan apapun baginya." Han Sen mengerutkan kening sambil berpikir: "Atau jangan-jangan dia yang ditipu? Ada yang sengaja memberi informasi palsu padanya? Jika benar begitu, berarti Hu Fei sudah terekspos."
"Tapi dengan kecerdikan Hu Fei, tidak mudah menipunya." Han Sen enggan menyerah, lalu mencari dengan cermat ke seluruh sudut ruangan Menara Takdir Langit.
Memang tidak ada Cermin Takdir Sembilan Putaran. Menara ini sejak awal memang kosong, sekilas sudah terlihat jelas. Andaikan ada cermin, pasti sudah dia lihat sejak lama, tidak perlu susah-susah mencari.
“Di dalam menara ini tidak ada tempat untuk menyembunyikan barang, selain patung pria batu yang mirip manusia tapi non-manusiawi itu……” Han Sen tiba-tiba teringat podium batu tempat patung itu duduk, lalu bergegas menuju lapisan ketujuh.
Jika benar ada tempat penyimpanan di menara ini, mungkin hanya podium batu itulah satu-satunya.
Antusiasme Han Sen tentu bukan untuk membantu Hu Fei. Jika benar ada harta seperti Cermin Takdir Sembilan Putaran, memiliki artefak itu bukan hanya berarti menguasai kekuatan mistisnya, tetapi juga sama dengan menggenggam seluruh Suku Rubah Rayuan dalam genggaman.
Kembali ke lapisan ketujuh, Han Sen mengamati podium batu tempat patung itu duduk. Permukaannya terlihat biasa, material batunya sama persis dengan struktur Menara Takdir.
Han Sen menekan podium itu dengan telapak tangannya. Podium tetap utuh, membuktikan ini bukan benda biasa yang bisa dirusak sembarangan.
“Sayangnya kekuatan Sembilan Putaran Humei di tubuhku sudah habis terkuras, kalau tidak bisa menggunakan kekuatan Sembilan Putaran Humei untuk mencoba.” Han Sen merenung sejenak, lalu mengulurkan jarinya dan memisahkan setetes darah yang menetes ke atas podium batu.
Ini adalah setetes darah yang mengandung kekuatan Sutra Hidup Darah, Han Sen hanya ingin mencoba apakah podium batu memiliki sifat spiritual.
Darah segar menetes ke podium batu, tiba-tiba podium itu berguncang sebentar. Seiring merembesnya darah, podium bergoyang semakin hebat.
Tiba-tiba, podium batu itu terangkat melayang di udara. Cangkang batu bagian luar runtuh berantakan dalam getaran, perlahan menyingkap wujud aslinya.
Setelah beberapa saat, lapisan luar reruntuhan batu berjatuhan hingga bersih. Di dalamnya ternyata terdapat cermin batu. Tetesan darah Han Sen yang jatuh di permukaan cermin itu langsung membuat cermin memancarkan cahaya keperakan.
Di permukaan cermin batu itu, perlahan muncul siluet rubah berekor sembilan berwarna perak. Sembilan ekornya bergoyang lembut, dengan mata rubah yang ramping dan panjang seolah sedang mengamati Han Sen.
Bzzzt!
Cermin batu itu melayang ke udara, berputar-putar mengelilingi Han Sen beberapa kali. Dari ukuran sebesar batu gilingan, cermin itu menyusut hingga sebesar telapak tangan, akhirnya mendarat di genggaman Han Sen. Cahaya magisnya lenyap sepenuhnya, bersama siluet rubah berekor sembilan di dalamnya.
Tanpa aura magis, cermin itu kini hanya sebongkah batu abu-abu keputihan di tangan Han Sen. Bahkan setelah diasah halus sekalipun, permukaannya tetap tak bisa memantulkan bayangan manusia.
Di balik cermin, terdapat relief rubah berekor sembilan yang sangat mirip dengan siluet yang Han Sen saksikan sebelumnya.
“Tetes darah itu telah menghilang, sepertinya terkuras saat mengaktifkan Cermin Batu tadi,” Han Sen memutar-mutar cermin itu di tangannya cukup lama, tapi tak juga menemukan cara menggunakannya. Dia sama sekali tak bisa mengaktifkan kekuatan Cermin Batu.
"Coba pelihara dengan darah setelah kembali, mungkin bisa dikembangkan seperti Genderang Giok." Han Sen terpaksa menyimpan cermin itu untuk sementara.
Tibalah waktu yang dijanjikan, Menara Takdir Langit benar-benar terbuka sedikit. Han Sen langsung melesat masuk dengan gerakan kilat.
Rupanya Klan Huangji tak menyadari perubahan di dalam Menara Takdir Langit. Han Sen menghela napas lega, lalu berpamitan kembali ke Kota Bawah Laut Planet Air.
"Kalau kamu memang sehebat ini, kenapa tidak bertindak lebih awal? Lain kali jika ada kesempatan bagus seperti ini, cepatlah bertindak. Kalahkan lebih banyak 'dewa' itu, dapatkan lebih banyak Umur." Kembali ke kamarnya, Han Sen berbicara pada Zirah Kristal Hitam di Laut Jiwanya.
Tapi baju zirah kristal hitam itu tetap diam tak bergerak sama sekali, seolah-olah benda mati.
Han Sen melihat baju zirah kristal hitam sama sekali tidak bereaksi, akhirnya menyerah. Ia beristirahat di rumah selama beberapa hari sambil mengawasi apakah ada reaksi dari Klan Huangji.
Untungnya Klan Huangji sepertinya sama sekali tidak tahu tentang hancurnya patung batu di Menara Takdir Langit, membuat Han Sen benar-benar lega.
Han Sen: Tubuh Super God.
Tubuh Perang Genetik: Darah Jahat (Adipati) Mantra (Adipati) Dongxuan (Sang Penguasa) Tulang Giok dan Kulit Es (Adipati)
Peringkat: Sang Penguasa.
Gen Sang Penguasa: 22 point.
Proses Mitos: dua belas persen.
Umur: 1787.
"Dia ternyata tidak mati?" Hu Fei yang mengetahui Han Sen masih hidup dan bahkan telah memasuki Menara Takdir Langit, terlihat agak bingung.
