Nyonya Jing terluka cukup parah, terus-menerus batuk darah sambil meronta tak bisa bangun. Tapi nafas hidupnya masih ada, mungkin hanya luka biasa.
Han Sen menoleh ke gadis pirang di sampingnya, tapi gadis itu justru balik menatapnya. Keduanya saling berpandangan dalam jarak kurang dari satu kaki, bagai terpisah dimensi.
“Bisakah jangan terlalu menstimulasi?” Han Sen merasa jantungnya hampir copot, ada keinginan untuk langsung berteleportasi kembali ke perlindungan.
Gadis pirang itu mengalahkan seorang petarung kuat yang termitosis dengan satu sabetan pedang, melawan dia sama saja cari mati. Han Sen tak ingin mati, jadi dia membeku tak bergerak sama sekali.
Tapi Han Sen berhasil menghentikan dorongan untuk berteleportasi, karena dia tidak menemukan aura pembunuhan di sorot mata gadis itu.
Tentu saja yang terpenting, Han Sen merasa kecepatan teleportasi melalui Sutra Darah dan Nyawa miliknya mungkin tak akan sanggup menyaingi kecepatan pedang gadis pirang itu. Sebelum sempat berteleportasi, mungkin kepalanya sudah terpenggal.
Tiba-tiba kedua orang itu saling membeku. Han Sen tak berani bergerak sedikitpun, khawatir memicu serangan gadis pirang.
Sementara gadis itu tetap berdiri diam, memandang Han Sen dengan acuh tak acuh. Tapi matanya terlihat kosong tanpa fokus, entah benar-benar mengawasinya atau tidak.
Han Sen berdiri di sana dengan keringat dingin mengucur deras, gadis menakutkan di hadapannya tetap tak bergerak. Mereka sudah saling memandang selama sepuluh menit.
Andai berada di lingkungan berbeda seperti bar, menatap penuh perasaan dengan gadis pirang secantik ini pasti akan terasa sangat indah, membuat Han Sen merasakan kelunakan yang tak terucapkan.
Sekalipun tanpa maksud tertentu, bisa saling memandang dengan gadis cantik seperti ini tetap menjadi hal yang menyenangkan hati.
Tapi kini Han Sen justru merasa setiap detik terasa sulit dihabiskan, seolah setiap detik berlangsung selama satu abad.
Gadis ini memang secantik putri kecil pirang dari dunia dongeng, namun betapapun cantiknya, mengingat kekejamannya menghabisi petarung mitos dengan satu sabetan pedang tadi, tak ada lagi keindahan yang tersisa. Siapa tahu di detik berikutnya pedangnya akan menghujam dan membelah dua raga Han Sen.
"Kamu kok diam saja, beri respons dong? Mau bertarung atau berdamai?" Keringat dingin terus mengucur di dahi Han Sen, dalam hatinya berjuta pikiran berlalu, tapi gadis itu masih tetap memandangnya tanpa bergerak, sorot matanya masih seperti kehilangan fokus.
Han Sen mengatupkan gigi, mencoba menggeser langkah untuk menjauh selangkah dari gadis itu, berharap bisa mundur perlahan tanpa mengganggu gadis tersebut.
Tapi baru mundur setengah langkah, gadis itu tiba-tiba melangkah maju, hampir saja menabrak tubuh Han Sen. Kaget, Han Sen langsung membeku, dan gadis itu pun ikut berhenti.
Akibatnya jarak mereka semakin dekat. Han Sen bahkan bisa merasakan hembusan nafas hangat gadis itu dan aroma tubuhnya yang harum seperti anggrek atau kesturi.
Han Sen diam, gadis itu pun ikut membeku. Kembali tercipta situasi kebuntuan tatap muka di antara mereka.
“Aduh, ini sebenarnya situasi apa? Jangan-jangan gadis ini benar-benar seorang putri? Melihatku muda dan tampan, jadi tidak tega membunuhku, ingin mencari suami untuk sang putri? Kalau mau cari orang pilihan, bilang langsung saja dong! Berdiam diri di sini begini maksudnya apa?” Han Sen sangat ingin memberi tahu si gadis, kalau mencintai harus berani mengatakannya. Cinta tidak salah, apalagi mencintaiku Han Sen. Mencintaiku jelas lebih baik daripada membunuhku.
Han Sen hanya mengolok untuk meredakan kecemasannya. Gadis ini jelas belum sepenuhnya sadar, sorot matanya masih kosong. Semua gerak-geriknya barusan mungkin hanyalah tindakan bawah sadar belaka.
Han Sen tidak tahu apa yang akan dilakukan gadis ini setelah benar-benar pulih. Tadi saat bertindak secara tidak sadar saja dia bisa melukai parah Nyonya Jing dan membunuh Yefeng. Ini membuktikan betapa mengerikannya kekuatan gadis ini.
Tapi Han Sen tidak optimis dengan prospek ke depannya. Karena dia teringat satu hal.
Ramalan pada lukisan keempat di atas kipas raksasa telah sepenuhnya terwujud, sementara konten lukisan kelima setelahnya langsung membuat Han Sen berkeringat dingin hanya dengan membayangkannya.
Lukisan kelima menggambarkan sosok tanpa wajah terjatuh ke tanah, dua sosok tanpa wajah lainnya terus-menerus diganggu, satu sosok tanpa wajah mencekik leher sosok lainnya.
Dari situasi saat ini, Nyonya Jing tidak diragukan lagi adalah orang yang terjatuh di tanah. Maka antara dia dan gadis itu pasti ada yang terluka. Dengan kekuatannya sekarang, jelas dia hanya bisa menjadi yang dicekik.
Memikirkan Nyonya Jing, Han Sen melirik ke arahnya yang masih tiarap di tanah. Luka-lukanya telah sembuh lebih cepat dari perkiraan, tapi dia tetap tidak berusaha bangkit atau kabur.
"Kenapa dia tidak kabur?" Dengan konsentrasi penuh, Han Sen langsung memahami alasan Nyonya Jing tidak melarikan diri.
Dia pasti juga memikirkan konten lukisan kelima. Dalam lukisan kelima itu, sangat mungkin dia berada dalam keadaan aman jika sekarang bangkit dan kabur. Justru mungkin akan terjerat dalam arus kacau masa depan yang tak terduga.
Dengan diam, dialah No-Face yang terbaring di tanah dalam lukisan kelima. Jika bergerak, tak diketahui bagaimana transformasi persoalan ini. Bisa jadi nanti dialah yang akan dicekik.
"Licik sekali!" Han Sen menggerutu dalam hati.
Gadis remaja itu masih tegak berdiri tak bergerak. Tapi sorot matanya perlahan-lahan mulai memancarkan kilau lincah, seakan sedang bangkit dari trans.
Han Sen terus merenung: "Jika relief-relief itu benar-benar akan terwujud, maka pada relief keenam hanya akan tersisa dua No-Face. Satu terbaring di tanah, satu berlutut berdoa di depan patung batu bermata dan bertangan seribu. Sekarang masih belum tahu siapa dua No-Face yang tersisa, juga tidak tahu apakah yang terbaring itu masih hidup atau sudah mati. Jika masih hidup, berarti salah satu antara aku dan Nyonya Jing masih bisa bertahan. Jika mati... tidak masalah juga, yang mati pasti Nyonya Jing, sedangkan aku seharusnya berhasil kabur."
Han Sen justru terlihat sangat optimis, tapi ini bukan sekadar sikap polos. Bagaimanapun, dia masih memiliki tubuh Super God. Meski jelas bukan tandingan si gadis, selama masa kekebalan Super God-nya, teleportasi kembali ke perlindungan seharusnya bukan hal sulit.
Sementara Han Sen merenung, Nyonya Jing tetap tiarap tak bergerak sama sekali, menunggu kesempatan tertentu. Gadis itu terus saling tatap dengan Han Sen. Selama Han Sen diam, dia pun ikut diam. Waktu seolah membeku dalam adegan ini, area sekitarnya sunyi senyap.
Sorot mata gadis itu perlahan menunjukkan spiritualitas, pupil keemasan aslinya seolah tertutup lapisan air. Meski hanya perubahan pandangan, seluruh dirinya semakin terlihat lincah.
Bila sebelumnya gadis ini terlihat seperti robot tanpa emosi, kini akhirnya ia tampak seperti manusia.
Menyaksikan mata gadis itu berkedip, jantung Han Sen langsung berdebar kencang. Tak tahu apa yang akan dilakukan gadis yang kini sadar sepenuhnya ini.
Setelah berkedip, gadis itu benar-benar tersadar. Melihat Han Sen di depannya, tubuhnya langsung menerjang, kedua tangannya mencengkeram leher Han Sen.
