Han Sen juga tidak punya alasan untuk ragu. Alam semesta genetik sudah cukup kacau, tidak masalah menambah seorang wanita lagi. Mau dia baik atau jahat, bukan urusannya.
Han Sen mencabut Pisau Gigi Hantu miliknya. Dengan satu tebasan tajam, dia menghantam puncak gunung itu, berharap bisa memotong ujungnya dengan sekali serangan.
Tapi Kekuatan Gigi Mutlak yang dihantamkan ke bebatuan justru membuat simbol di puncak gunung itu berkilauan cahaya hitam, kekuatan tersebut langsung menghilang tanpa jejak.
Bilah tajam Pisau Gigi Hantu menghantam tubuh gunung, hanya meninggalkan bekas pisau di batu.
Han Sen mencoba beberapa kali lagi, menyadari selain serangan fisik, segala tenaga tidak mempan pada bebatuan—semua langsung disedot simbol di dinding tebing.
"Membabat satu per satu begini, kapan selesainya?" Frustasi, Han Sen mencoba menghancurkan simbol di dinding tebing dulu, siapa tahu bisa dihilangkan.
Tapi siapa sangka setelah mengiris sebagian simbol, cairannya malah merembes ke dalam batu seperti darah, entah seberapa dalam penyusupannya.
Dengan pasrah, Han Sen terus membabat puncak gunung. Untung tak ada bahaya—dentuman Dang! Dang! dari hantaman pisaunya tak memicu kemunculan varietas langka.
Bola cahaya masih tetap tengkurap di atas rumput, sama sekali tidak mengacuhkan situasi di sisi Han Sen.
Han Sen menggali sampai seluruh tubuhnya basah kuyup oleh keringat, merasa dirinya hampir berubah menjadi Yugong. Untung ini hanya puncak gunung kecil. Dia mengestimasi butuh waktu 2-3 hari untuk memutuskan puncak gunung ini.
Setelah 12 jam menggali, separuh kecil puncak gunung telah terbuka. Tak ada kejadian aneh yang membuat Han Sen semakin tenang.
Dang!
Saat Han Sen mengangkat pisau tajamnya dari bekas tebasan terbaru, dia terkejut melihat aliran darah merah pekat mengalir dari celah tersebut.
"Ada apa ini? Kenapa gunung bisa berdarah?" Jantung Han Sen berdebar kencang. Secara refleks dia mundur dua langkah sambil bersiap bertarung.
Sekarang Han Sen tidak menyukai hal seperti bebatuan yang mengeluarkan darah, terutama setelah kejadian di Kota Du Shen. Hal semacam ini meninggalkan bayangan tertentu dalam dirinya.
Kalau berhadapan langsung dalam pertempuran terbuka, Han Sen sebenarnya tidak takut. Yang dikhawatirkannya justru benda-benda mistis penuh energi negatif seperti ini.
Pedang kecil hijau milik Ning Yue itu sendiri digali dari batu berdarah. Hingga detik ini pun Han Sen masih tak berani mendekatinya.
Melihat batu di bukit kecil ini ternyata juga mengeluarkan darah, kulit kepala Han Sen langsung bergidik. Meski tidak sampai ketakutan, ada perasaan tidak nyaman yang menggelayut di hatinya.
Setelah menunggu beberapa saat dan melihat darah yang keluar dari batu tidak banyak, ditambah tidak ada keanehan lain yang terjadi, Han Sen mengulurkan tangannya. Dengan gerakan cepat, ia membersihkan darah di dinding tebing lalu mengamati bekas pisaunya dengan saksama.
Begitu pandangannya fokus pada bekas senjata itu, jantungnya langsung berdegup kencang lagi.
Di kedalaman paling dalam bekas pisau itu, Han Sen melihat sepotong kecil daging yang terbelah. Entah itu daging makhluk apa, setelah dihantam satu tebasan darinya, terbuka luka sepanjang beberapa sentimeter. Darah mengalir persis dari luka itu.
Han Sen mengamati luka yang sudah tidak mengeluarkan darah lagi, kulit kepalanya bergidik.
Han Sen tidak tahu makhluk apa yang ada di dalam gunung ini. Kalau memang sudah mati, seharusnya tidak akan mengeluarkan darah lagi.
Tapi jika masih bertahan, dengan raganya tertindih seluruhnya di dalam gunung tapi belum mati - itu agak mengerikan.
Bagian makhluk yang terlihat hanya luka beberapa sentimeter. Sama sekali tidak melihat apa yang ada di dalamnya. Setelah ragu sejenak, Han Sen tetap melanjutkan penggalian.
Sudah mencapai level seperti ini, menyerah sekarang jelas bukan gaya khas Han Sen.
Dan bahkan jika makhluk di dalamnya hidup, itu bukan masalah besar. Dia bahkan tidak bisa melepaskan diri dari tekanan puncak gunung, menunjukkan itu bukan makhluk yang hebat.
Han Sen menggunakan pisau untuk menggali di sekitar makhluk itu, berusaha mengungkap sebagian tubuhnya terlebih dahulu untuk mengetahui apa sebenarnya benda ini.
Setelah menggali beberapa kali dan memperluas area batuan, terlihatlah kain kuning yang tersembul. Bagian yang terluka ternyata adalah betis manusia.
Jelas terlihat bahwa betis itu milik seorang wanita, dengan desain celana yang khas perempuan.
Han Sen mengerutkan kening halus dan terus menggali. Semakin banyak bagian tubuh yang terungkap, semakin jelas bahwa ini memang seorang wanita.
Bagian yang telah terbuka memperlihatkan sepasang kaki telanjang wanita yang putih lembut, disertai kaki jenjang yang mengenakan celana kuning muda.
Tubuh atas masih berada di dalam gunung, tidak terlihat seperti apa bentuknya. Namun dari raga tersebut, Han Sen tidak merasakan vitalitas, seolah-olah itu adalah orang mati biasa.
Namun ketika Han Sen melihat kembali luka besar di betisnya, ternyata luka itu telah sembuh sempurna. Ditambah kejadian darah mengalir sebelumnya, membuat Han Sen sangat kebingungan: apakah wanita ini manusia hidup atau mayat?
Han Sen seperti menyadari sesuatu. Dengan mengerahkan segala upaya, ia menggali bebatuan. Bagian demi bagian wanita itu terekspos. Saat kepala wanita itu tergali, Han Sen melihat jelas wajahnya dan langsung membelalakkan mata.
Wanita yang digalinya dari gunung ini ternyata memiliki wajah sama persis dengan wanita di bangunan kayu. Baik bentuk tubuh maupun aura, tidak ada perbedaan sama sekali. Bahkan kembar sekalipun mungkin tidak akan semirip ini.
“Ada apa ini? Bagaimana wanita ini bisa terkubur di sini? Jika wanita ini hidup, lalu siapa wanita di bangunan kayu itu?” Semakin dipikirkan Han Sen, semakin merinding hatinya.
Setelah dikeluarkan, wanita itu tidak menunjukkan reaksi apa pun, seolah benar-benar mati tanpa hembusan udara dari hidung maupun detak jantung.
Namun ekspresinya tampak tenang, seperti seseorang yang sedang tertidur lelap.
Han Sen memeriksa tubuh wanita itu dan tidak menemukan penyakit apapun, hanya saja vitalitasnya hilang sepenuhnya bagai mayat.
Saat Han Sen menyuntikkan tenaganya ke dalam raga wanita itu, tidak ada efek yang muncul untuk mengaktifkan vitalitasnya.
Segel pada buku batu masih tetap ada. Han Sen terpaksa menaruh wanita itu di samping dan melanjutkan penggalian di puncak gunung.
Bebatuan terus digali Han Sen hingga akhirnya terbelah. Kedua tangan terasa asam, bahkan gagang pisaunya hampir tak bisa dipegang lagi karena kelelahan.
"Kerja kasar seperti ini seharusnya diserahkan pada Xie Qing Di. Dengan tenaga penuh dan teriakan Aru Aru-nya, pasti lebih cepat daripada aku," gumam Han Sen dalam hati sambil terus mengikis batu.
"Han Sen..." Tiba-tiba suara memanggil namanya. Han Sen nyaris menjawab, namun saat mulutnya baru terbuka separuh, wajahnya berubah pucat lalu cepat-cepat menutup mulutnya kembali.
Wanita itu pernah memperingatkannya - mengucap satu kata pun berarti kematian. Di wilayah terpencil tanpa bayangan hantu sekalipun ini, siapa mungkin yang memanggil namanya?
"Jangan-jangan mayat wanita itu?" Bibir Han Sen terkunci rapat saat menoleh ke tempat jenazah tersebut. Pandangannya yang penuh curiga seketika membeku.
Area yang sebelumnya menjadi tempat peristirahatan terakhir sang wanita, kini kosong melompong. Tak ada jejak mayat maupun tanda-tanda pergerakan.
"Han Sen…" Suara sebelumnya kembali memanggil nama Han Sen, dan kali ini hampir terdengar tepat di telinganya. Han Sen bahkan merasakan hembusan angin dingin menusuk daun telinganya.
