Han Sen tidak berani bicara, berbalik cepat sambil mengaktifkan bidang.
Sorot matanya langsung tertegun. Wanita itu berdiri tak jauh di belakangnya, tersenyum manis mengawasinya.
Han Sen memperhatikan vitalitas yang memancar dari tubuhnya, sama persis dengan wanita yang ia temui di gedung kayu. Sulit dibayangkan tak lama sebelumnya mayat itu masih terbaring lemas.
"Kenapa? Baru saja berpisah sebentar, sudah tidak bisa mengenaliku?" ujar wanita itu dengan senyum tenang.
Han Sen membuka mulutnya ingin bertanya apakah ini manusia atau hantu. Tapi ia segera teringat pesan wanita sebelumnya: "Jangan sampai bicara bagaimanapun caranya." Karena belum bisa menilai situasi ini, ia memilih diam sambil mengamati wanita itu dengan tatapan tajam.
Wanita tertawa terkekeh: "Kamu memang berhati-hati sekali. Aku bilang tidak boleh bicara, itu hanya saat mengikuti bola cahaya itu. Sekarang aku sudah bebas, tentu tidak ada lagi pantangan-pantangan itu."
Han Sen tetap diam sambil menatap wanita itu dari atas ke bawah. Memang terlihat sama persis, hanya baju yang dikenakan berbeda, bahkan aura yang dipancarkannya pun identik.
Han Sen sangat ingin bertanya padanya apa yang sebenarnya terjadi, tapi tidak berani berbicara. Setelah berpikir sejenak, dia langsung mengukir sebaris tulisan di tanah dengan Pisau Gigi Hantu: "Kenapa kamu berada di sini?"
“Kamu benar-benar berhati-hati.” Wanita itu tersenyum tipis: “Yang ditekan dan dikurung di sini adalah tubuh sejati saya. Yang di luar hanyalah kesadaran saya yang menempel pada boneka kayu. Kalau tidak, menurutmu bagaimana saya bisa bertahan hidup begitu lama? Makhluk hidup yang benar-benar bisa bertahan dari Era Tanah Suci hingga sekarang sangat sedikit. Mayoritas orang tua yang bisa hidup sampai era ini menggunakan Metode Tabu khusus.”
“Apakah kamu sendiri yang menekan raga di sini?” Han Sen kembali mengukir kalimat di tanah.
Wanita mencibirkan bibir: "Aku tidak punya kecenderungan penyiksaan diri, mana mungkin menindih diri sendiri di sini. Tubuh sejati-ku terkikis di sini karena kena imbas orang lain. Tapi justru tekanan inilah yang menjaga raga-ku tak termakan zaman, tetap dalam kondisi optimal dari era itu."
"Kenapa dulu tidak mencari orang untuk menggali tubuhmu keluar?" Han Sen melanjutkan ukiran tanyaannya.
"Kamu tidak ada habisnya ya? Kalau tidak mau pergi urus saja, aku yang akan pergi." Wanita itu berbalik dan melangkah turun gunung, tak lagi menghiraukan Han Sen.
Han Sen memandang puncak gunung yang hampir terkikis habis, lalu menatap wanita yang sudah turun dan sedang menuju tepi pulau. Ia bingung antara melanjutkan penggalian atau mengejarnya.
Menggigit bibir, Han Sen memilih mengabaikan wanita yang meninggalkan pulau itu. Tangannya kembali mencengkram alat, terus menggerogoti sisa puncak gunung.
Saat melewati bola cahaya, wanita itu tiba-tiba merentangkan tangan. Cahaya itu melayang ke genggamannya. Dengan mantap ia menggenggam objek misterius itu sambil berjalan menuju batas pulau.
Han Sen terkejut. Saat datang ke sini, dia mengandalkan bola cahaya itu sebagai pemandu. Sekarang wanita itu telah membawa pergi bola cahaya tersebut, membuat kemampuan Han Sen untuk meninggalkan tempat ini menjadi sebuah ketidakpastian.
Han Sen bukanlah seorang Santo, dan hubungannya dengan wanita itu pun biasa saja. Tidak perlu mempertaruhkan nyawanya demi wanita tersebut.
Dengan mengatupkan gigi, Han Sen segera mengejar wanita itu.
"Bukannya kamu tidak mau pergi?" Wanita itu tersenyum sambil melirik Han Sen.
Han Sen menggelengkan kepala tanpa bicara. Sorot matanya tertancap pada telapak tangan wanita itu, tempat bola cahaya tadi berada.
Dari jarak dekat, terlihat bola cahaya itu telah berubah menjadi lentera merah besar. Wanita itu membawa lentera tersebut maju di antara tabir awan.
Busana kuningnya kontras dengan kaki telanjangnya. Dengan lentera merah di tangan, langkahnya di antara awan yang bercahaya terlihat mengerikan.
Han Sen mengikuti di belakang wanita itu sambil terbang, tidak berani berbicara. Wanita itu terus berjalan maju membawa lentera, tanpa berbelok-belok seperti saat Han Sen datang.
Saat Han Sen masih bingung apakah wanita itu benar-benar bisa keluar, tiba-tiba dia melihat cahaya terang di depan. Ternyata mereka telah berhasil menembus tabir awan dan tiba di hadapan pulau.
Karena puncak gunung tidak terlihat, Han Sen pun tidak tahu pulau mana ini. Dia tetap diam tidak berbicara.
Wanita itu naik ke gunung membawa lentera. Han Sen masih mengikutinya tanpa sepatah kata pun. Saat mencapai pertengahan gunung, indra Han Sen sudah menangkap bahwa puncaknya datar - terdapat platform dengan bangunan kayu dan pagar halaman kecil.
"Benarkah kita sudah kembali?" Hati Han Sen masih ragu. Saat sampai di puncak, dia menemukan pemandangan yang persis sama dengan ingatannya sebelumnya, tak ada perbedaan sedikit pun.
Wanita itu masuk ke halaman kecil dan langsung menuju bangunan kayu. Han Sen pun mengikutinya, terus masuk ke dalam bangunan kayu tersebut.
Han Sen tiba-tiba merasa ada yang tidak beres. Wanita itu memiliki fobia kotor dan gangguan obsesif-kompulsif yang sangat kuat, jangankan masuk ke dalam bangunan kayunya, bahkan berjalan beberapa langkah di pekarangan pun mustahil.
Tapi Han Sen kini mengikutinya hingga masuk ke dalam bangunan kayu, ternyata wanita itu sama sekali tidak berkata sepatah kata pun, membuat Han Sen langsung curiga.
"Jangan-jangan dia benar-benar bukan wanita itu? Lalu apakah ini benar-benar pulau?" Han Sen mengerutkan kening halus, matanya menyapu setiap sudut bangunan kayu.
Dari lantai satu hingga lantai dua, selain wanita pembawa lentera, tak ditemukan satu pun makhluk hidup lainnya.
"Di mana boneka pengganti yang kaukatakan itu?" Sengaja Han Sen menyita pulpen dan kertas milik wanita itu, menulis sebuah kalimat, lalu mengawasinya ketat untuk melihat reaksi.
Yang sebenarnya ingin diketahui Han Sen bukanlah jawaban atas pertanyaan itu, melainkan ingin menguji apakah ada respons fobia kotor pada dirinya.
Siapa sangka wanita itu hanya melirik sekilas, lalu bicara santai: "Tubuh sejatiku sudah bebas dari kurungan, pengganti tentu musnah tak berbekas."
"Benar-benar palsu ya?" Han Sen memperhatikan wanita itu tetap tenang, seolah penggunaan kertas dan pulpennya tak jadi masalah, membuat kecurigaannya semakin memuncak.
Han Sen kembali menatap buku batu. Melihat segelnya masih terkunci, ia ragu sejenak lalu mengulurkan buku itu sambil menulis di notes: "Bisa bantu buka segel buku ini?"
"Kenapa harus kubantu?" Wanita itu bahkan tak mengulurkan tangan untuk menerimanya.
Seketika Han Sen yaminya benar: ini pasti wanita palsu. Bukankah buku batu ini dulu diberikan langsung oleh sang dewi? Mustahil dia tak mengenalinya dan bicara seperti itu.
"Harus bagaimana?" Dahinya berkerut dalam perenungan. Meski tahu segalanya tiruan, seluruh detail di pulau ini sempurna menyerupai aslinya. Han Sen benar-benar bingung menentukan langkah.
Berkonfrontasi dengan wanita itu tampaknya tidak perlu. Entah dia asli atau palsu, tidak ada dendam di antara mereka.
Tapi Han Sen enggan pergi begitu saja. Rahasia itu sudah di depan mata, namun tetap tak terjangkau.
Saat Han Sen berada dalam dilema, tiba-tiba terdengar geraman Naga. Seekor Naga ungu melesat dari langit, melayang di atas pulau.
Di atas kepala Naga itu, berdiri seorang pria dari Klan Huangji.
