Seluruh rombongan Han Sen tumbuh jamur aneh di kepala mereka, seolah menjadi bagian dari tubuh. Begitu jamur itu rusak, otak mereka juga ikut rusak.
Semua orang tak berdaya, tak satu pun bisa menemukan cara mengeliminasi jamur di kepala. Untuk sesaat mereka saling pandang, tak tahu harus berbuat apa.
Untungnya jamur-jamur itu tumbuh di kepala mereka tanpa menunjukkan kelainan untuk sementara waktu.
“Kapten Kecil dan Kakak Burung kenapa tidak ada jamur di kepala? Apa ada rahasia khusus?” Para bajak laut memandang Bao'er dan burung merah kecil dengan sorot mata berbinar penuh harap.
Han Sen berkata dengan datar: "Konstitusi fisik mereka khusus, tidak bisa diparasit. Tidak berlaku untuk kita."
Begitu Han Sen bicara, harapan para bajak laut langsung pupus. Wajah masam mereka menatap jamur di kepala sambil mengeluh dan menghela nafas.
"Meong!" Di tengah keputusasaan mereka, tiba-tiba terdengar suara familiar dari luar.
Di kejauhan hutan jamur, harimau putih itu sedang memandang mereka dengan bangga. Wajahnya menunjukkan tawa hina yang sangat manusiawi, cakarnya menutupi mulut sementara matanya membentuk bulan sabit.
Han Sen tak pernah melihat harimau bisa tertawa sehina itu. Dia langsung tahu jamur di kepala mereka pasti ada dalang di baliknya - harimau putih itu.
“Burung merah kecil yang marah mengejarnya keluar, tapi begitu burung itu keluar, harimau putih itu langsung menyusup ke bawah tanah dan menghilang. Api Phoenix dari Si Merah ternyata tak mampu merusak permukaan tanah di sini. Entah material apa sebenarnya batuan di tanah ini.”
Han Sen memanggil burung merah kecil kembali, lalu menatap dengan seksama batuan di tanah. Batuan di sini sangat aneh, memancarkan kilau mirip logam namun juga terasa seperti batu giok. Sungguh sulit menentukan material apa ini sebenarnya.
“Kalian pergi ambil beberapa jamur, lihat apakah bisa dimakan.” Han Sen memberi perintah pada para bajak laut.
“Kapten, kepala kami sudah tumbuh jamur. Jika makan lagi, apa seluruh badan kami tidak akan ditumbuhi jamur juga?” kata bajak laut dengan wajah masam.
“Basa-basi apa lagi? Cepat pergi!” Han Sen melirik mereka dengan sorot mata tajam.
Bajak laut dengan enggan menggeser tubuh ke luar. Mereka takut setelah keluar akan terparasit lebih banyak jamur, sekaligus khawatir harimau putih itu akan membunuh mereka. Baru setengah langkah melangkah, belum juga sepenuhnya keluar dari Paus Putih Besar.
Burung merah kecil menyemburkan semburan api ke arah punggung mereka, membuat para bajak laut langsung berlari kencang keluar ketakutan.
Dengan gemetaran, para bajak laut berjalan di antara rumpun jamur. Mereka tidak berani menjauh, hanya mengambil beberapa jamur di sekitar. Han Sen menyuruh seorang bajak laut yang bertugas memasak untuk menggoreng satu wajan jamur.
Setelah jamur selesai digoreng, para bajak laut sama sekali tidak berani menyentuhnya. Memandangi jamur goreng putih lembut di mangkuk, mereka saling pandang satu sama lain, tak satu pun berani menyentuh kuaizi.
"Masih bengong apa? Cepat makan!" Han Sen berkata sambil tersenyum manis ke arah sekelompok bajak laut itu.
"Kapten... Kami benar-benar tidak lapar..." Para bajak laut bergumam dalam hati: "Lha kamu sendiri kenapa tidak makan?"
"Kita tidak tahu berapa lama akan terjebak di sini. Dengan persediaan makanan kita, kita tidak bisa bertahan lama. Jadi mulai sekarang kalian harus makan jamur-jamur ini untuk mengganjal perut. Sekalipun sekarang tidak mau makan, nanti juga terpaksa makan. Tapi kalian bisa tenang, jamur ini cuma jamur biasa, memakannya tidak akan membuat orang mati." Han Sen berkata sambil tersenyum.
Mereka jelas tidak bisa keluar untuk sementara. Ini semua adalah persiapan Han Sen untuk rencana jangka panjang.
"Kapten, kami belum lapar sekarang... Bisa tidak kami makan nanti saja saat sudah lapar?" Seorang bajak laut bertanya dengan suara kecil.
"Menurutmu?" Han Sen menatap bajak laut yang bicara itu dengan senyum manis.
Para bajak laut tahu menolak makan pasti tidak mungkin. Makan jamur mungkin menimbulkan masalah, tapi itu hanya kemungkinan. Namun jika tidak makan jamur, Han Sen akan langsung menghabisi mereka saat itu juga.
Dengan menggigit gigi, para bajak laut mengambil potongan jamur goreng. Ekspresi wajah mereka penuh kepahlawanan layaknya hendak maju ke medan pertempuran. Dengan menutup mata, mereka menyelipkan jamur itu ke dalam mulut.
Mulanya mereka masih menunjukkan ekspresi wajah masam, tapi setelah mengunyah beberapa kali, mata mereka membelalak lebar.
"Kapten... jamur ini enak... sangat segar..." Tak lama kemudian beberapa bajak laut mulai berseru. Setelah memakan jamur, tidak ada efek samping yang muncul. Di seluruh tubuh mereka tidak ada jamur parasit baru, hanya satu jamur di atas kepala seperti sebelumnya.
"Santai saja makannya, jangan buru-buru. Nanti mungkin kalian harus makan jamur-jamur ini dalam waktu yang sangat lama," kata Han Sen dengan datar.
Sebenarnya dia sudah lama tahu jamur-jamur ini tidak beracun. Kalau tidak, mana mungkin dia menyuruh para bajak laut memakannya.
Dalang di balik jamur parasit di kepala mereka bukanlah jamur biasa yang tumbuh di tanah, melainkan spora dari ledakan jamur yang disemburkan harimau putih. Spora yang meledak dari dalamnyalah penyebab sebenarnya tumbuhnya jamur di kepala. Ini pasti kemampuan si harimau putih, hanya saja belum diketahui apa sebenarnya bahaya dari jamur ini.
Harimau putih itu kadang muncul di kejauhan, berteriak ke arah Han Sen dan rombongannya dengan gaya provokatif, tapi karena takut pada burung merah kecil, tetap tidak berani mendekati Paus Putih Besar.
Han Sen keluar dari Paus Putih Besar, mendatangi kapal perang lapuk tempat harimau putih sebelumnya muncul. Kapal ini memang sudah sangat tua, bahkan bagian dalamnya hampir membusuk. Beberapa material kayu sudah ditumbuhi jamur.
Di seluruh kapal perang tidak terlihat satu pun makhluk hidup, hanya ada barang seperti baju zirah. Kapal itu rusak sangat parah, dengan jejak-jejak yang jelas merupakan mahakarya harimau putih tersebut.
Han Sen terus berjalan menuju ruang kontrol kapal. Untungnya peralatan penyimpanan di dalamnya tidak sepenuhnya rusak. Ia membawa semua disk penyimpanan kembali ke Paus Putih Besar, mencoba untuk memutarnya.
Tapi Han Sen segera merasa kecewa. Meski cakram penyimpanan itu terlihat utuh, mungkin karena sudah terlalu lama atau terkena dampak sengatan listrik dan sejenisnya, konten di dalamnya sudah rusak. Paus Putih Besar pun tidak bisa memperbaiki konten tersebut.
Semua cakram penyimpanan yang begitu banyak sudah diuji satu per satu, bahkan satu pun tidak ada yang berguna.
Justru sebuah kartu kristal yang diambil Han Sen dari alat komunikasi kuno yang hampir hancur, ternyata berhasil dibaca oleh Paus Putih Besar.
Hati Han Sen berdebar senang, ia segera melihat ke layar kaca Paus Putih Besar. Ternyata di dalam kartu kristal itu ada lebih dari tiga puluh berkas gambar, selain itu tidak ada yang lain.
Berkas-berkas gambar itu diberi nomor dari Nomor 1 hingga 37, dan keseluruhan berkas gambar ini terhubung tanpa ada yang hilang.
Han Sen membuka berkas gambar Nomor 1 dan menontonnya sendirian di kamarnya. Apapun isi yang ditemukan, baik atau buruk, tidak boleh diketahui terlalu banyak orang. Karena itu ia tetap berniat menontonnya sendirian.
"Mimi, datanglah ke sini ke ibu." Setelah gambar terbuka, suara wanita langsung terdengar di telinga Han Sen, sementara di layar terlihat seekor kucing kecil berwarna putih berjalan gemetar di lantai. Dari gerakannya yang limbung, sepertinya baru saja lahir.
Lokasi dalam rekaman tersebut jelas-jelas adalah ruang kontrol kapal perang tua itu.
Tampaknya wanita yang berbicara sedang merekam kucing kecil itu dengan alat komunikasi. Namun Han Sen merasa suara wanita ini agak familiar, seolah pernah mendengarnya di suatu tempat.
