Di balai pertemuan Istana Surgawi, para Elder, Dekan, dan petinggi lainnya tengah terlibat perdebatan sengit.
"Itu adalah teknik pedang rahasia warisan Shiyi Dai Gongzhu, merupakan rahasia eksklusif Istana Surgawi kami. Setelah terkubur dalam waktu yang tak terbatas, akhirnya bisa melihat cahaya hari lagi. Sudah seharusnya dikembalikan ke daftar warisan rahasia Istana Surgawi, mana mungkin diwariskan ke ras lain? Apalagi itu hanya seorang murid titipan."
"Pernyataanmu ini salah. Itu adalah wasiat terakhir yang ditinggalkan langsung oleh Shiyi Dai Gongzhu. Bagaimana mungkin kita melanggar keinginan Beliau?"
"Itu karena Beliau tidak tahu bahwa penerus yang dipilih Gajah Putih adalah orang dari ras lain... dan itu pun hanya murid titipan..."
Jelas terlihat para petinggi Istana Surgawi terbagi menjadi tiga aliran. Satu aliran mengusulkan untuk memasukkan warisan Shiyi Dai Gongzhu ke dalam daftar rahasia, di mana hanya anggota inti ras langit yang berhak mempelajarinya.
Aliran lain menganjurkan untuk mematuhi wasiat Shiyi Dai Gongzhu, mewariskan teknik pedang kepada Han Yan.
Sementara aliran terakhir berpendapat bahwa teknik pedang Shiyi Dai Gongzhu harus dikeluarkan untuk diteliti, disempurnakan dan dimodifikasi agar bisa dipelajari oleh semua murid Istana Surgawi.
“Yang Mulia Panglima Istana, mengapa Anda diam saja?” Elder Keenam yang mendukung aliran untuk mengurung warisan pedang ke dalam kategori rahasia berkata demikian. Barulah para hadirin menyadari bahwa selama perdebatan sengit mereka, Tuan Istana Surgawi sama sekali belum berbicara.
Tuan Istana Surgawi berkata dengan datar: "Tidak perlu ada perdebatan mengenai hal ini."
"Apa maksud ucapan Yang Mulia?" Dekan Institut Tianji yang kebingungan menatap Tuan Istana Surgawi.
Tuan Istana Surgawi meliriknya, lalu sorot matanya menyapu wajah semua yang hadir: "Apa gunanya semua rencana kalian jika kalian gagal mendapatkan warisan pedang generasi ke-11?"
"Bagaimana bisa gagal? Kami akan memanggil Han Yan keluar. Beranikah dia menolak menyerahkannya? Ini memang milik Istana Surgawi kami. Mengurungnya di dalam istana adalah hal yang wajar!" Dekan Institut Tianji mendengus keras.
"Hal yang wajar... Kata-kata yang bagus. Aku hanya penasaran, di mana posisi Almarhum Panglima Istana ke-11 dalam 'kewajaran' versimu ini?" Yun Changkong mengolok-olok.
"Kami tidak berani sedikit pun berniat menghujat Almarhum Pemimpin Generasi ke-11... Hanya saja, beliau saat itu tidak memperkirakan bahwa penerus warisannya justru bukan dari keturunan ras langit. Saat ini kami hanya menjalankan solusi sementara. Kami yakin roh beliau di surga pasti menyetujui tindakan kami ini." Dekan Institut Tianji berkata dengan sikap munafik.
Tuan Istana Surgawi malah memicingkan mata sambil tersenyum: "Pendapat Dekan Tianji memang benar, ini memang solusi sementara. Namun jelas Almarhum Pemimpin ke-11 juga telah mengantisipasi solusi sementara seperti ini, makanya beliau meninggalkan mount-nya, Gajah Raksasa Qingtian, untuk menjaga jalan suci dan mencegah 'solusi sementara' dari generasi penerus seperti kita. Apakah Dekan Tianji masih punya 'solusi sementara' lainnya untuk menyelesaikan masalah ini?"
"Kalau... seandainya Han Yan mau menyerahkan dengan sukarela... Gajah Raksasa Qingtian seharusnya tidak akan..." Suara Dekan Tianji semakin melemah, jelas menyadari bahwa penjelasannya terdengar tidak masuk akal.
"Warisan itu bukan berupa literatur tertulis, hanya ada satu pedang giok. Gajah Putih selalu berada di dekat pedang giok. Jika Han Yan yang memegangnya tidak masalah, tapi kalau orang lain mencoba mengambil, Gajah Raksasa Penguasa Langit akan menyerang. Elder Keenam adalah contoh yang bagus."
"Gajah Raksasa Penguasa Langit akhirnya cuma varietas langka berintelejensi rendah. Mana mungkin dia paham banyak hal? Kita keroyan mengurungnya dulu, ambil pedang gioknya. Tak perlu takut dia bisa berbuat onar!" Seorang elder berkata dengan suara serak.
"Elder Ketujuh, ini Istana Surgawi kita atau sarang perampok?" Yun Changkong mengejek.
"Yun Changkong jangan campurkan urusan pribadi dengan tugas! Meski Han Yan adalah muridmu, warisan teknik pedang itu adalah harta berharga Istana Surgawi kami, bukan milik pribadi keluarga Yun..." Elder Ketujuh mendengus keras.
Yun Changkong membentak marah: "Apa maksud ucapanmu?!"
"Maksudku kau sudah paham, buat apa bertanya lagi..."
"Changkong, perkataan Tujuh Elder juga ada benarnya. Maka hal ini kita putuskan demikian." Tuan Istana Surgawi menyela pertengkaran mereka.
"Tuan Istana..." Yun Changkong masih enggan menerima.
"Kebijaksanaan Tuan Istana Surgawi!" Tujuh Elder memancarkan sukacita.
Tuan Istana Surgawi tidak menghiraukan sorotan mata penuh urgensi Yun Changkong. Ia tersenyum pada Tujuh Elder: "Karena ini ide Tujuh Elder, maka kami harus merepotkanmu sekali lagi. Ikuti rencana untuk menahan Gajah Raksasa Pengangkat Langit, dan bawa pulang pedang giok itu."
"Tuan Istana, bagaimana mungkin aku sendiri? Mohon Tuan Istana memerintahkan para petarung kuat yang termitosis untuk menekan Gajah Raksasa itu." Ekspresi Tujuh Elder berubah, menyadari nada bicara Tuan Istana Surgawi yang tak biasa.
“Ini aku tidak bisa bantu kamu.” Tuan Istana Surgawi berkata dengan datar: “Aku masih mengandalkan Han Sen bisa membantu ras kami menghasilkan lebih banyak mitos, menekan Han Yan untuk merebut warisannya. Hal seperti ini tentu tidak bisa kulakukan. Elder Ketujuh, kamu harus cari cara sendiri. Karena ini adalah gagasanmu, seharusnya kamu punya cara untuk menyelesaikannya, benar? Setelah pekerjaan selesai, akan kucatat ini sebagai prestasi besarmu.”
“Ini...” Elder Ketujuh langsung tercekat tak bisa bicara dengan ekspresi masam.
Yun Changkong justru berseri-seri, baru menyadari Tuan Istana Surgawi berniat melindungi Han Yan.
Berbagai Elder dan Dekan yang sebelumnya mendukung pengambilan kembali pedang giok, kini semuanya menutup mulut.
Karena Tuan Istana Surgawi ingin melindungi Han Yan, ditambah reputasi Han Sen yang kini besar, membuat mereka harus merebut pedang giok sendiri – tentu tidak ada yang mau pergi.
Tidak hanya melawan keinginan Panglima Istana, mereka juga berselisih dengan Han Sen. Nantinya ketika Han Sen memberkati, mungkin mereka tidak akan mendapat bagian. Apalagi Han Sen masih memegang dua senjata Tuhan, serta terpilih oleh klan Tai Shang. Pencapaiannya di masa depan tak terbatas. Merebut barang dari Han Yan sekarang sama saja dengan berselisih mati-matian dengan Han Sen.
"Siapa pun yang ingin merebut kembali warisan kemampuan pedang, saya dukung. Asal bisa direbut kembali, semuanya akan dicatat sebagai prestasi besar." Sorot mata Panglima Istana menyapu wajah semua orang, namun tak ada yang angkat bicara.
Awalnya Han Sen mengira masalah ini tak akan mudah berakhir. Orang-orang Istana Surgawi mungkin tidak akan membiarkan warisan kemampuan pedang sepenting ini jatuh ke tangan Han Yan.
Tapi siapa sangka situasi yang dia duga sebelumnya tidak terjadi. Istana Surgawi tidak mencari-cari alasan untuk mengambil kembali warisan Jalan Pedang dari Tuan Istana generasi ke-11. Namun Yun Changkong juga tidak menerima Han Yan sebagai murid, melainkan menerimanya atas nama gurunya yang telah meninggal. Han Yan menyembah guru almarhum Yun Changkong, sehingga menjadi adik seperguruan Yun Changkong, dan seangkatan dengan Tuan Istana Surgawi.
Setelah upacara penerimaan murid yang megah, meski usia Han Yan masih sangat muda, hierarkinya di Istana Surgawi menjadi luar biasa tinggi. Bahkan Gu Zhu saat bertemu Han Yan harus memanggilnya dengan hormat "Bibi Guru Kecil".
Kisah Han Yan memetik Labu Ajaib, memperoleh warisan Jalan Pedang, dan diangkat sebagai murid atas nama guru Yun Changkong, telah menjadi legenda di Istana Surgawi. Reputasinya mulai mendekati posisi kedua setelah Gu Zhu. Semua orang tahu Han Sen memiliki adik perempuan yang luar biasa ini.
Tentu saja, yang paling menjadi buah bibir para murid biasa adalah penampilan fisik Han Yan.
Banyak juga murid yang berdiskusi diam-diam, merasa Han Yan pasti diberkati oleh Han Sen, sehingga di usia muda sudah mencapai prestasi sehebat ini. Di hati mereka, harapan akan berkat yang mungkin turun ke diri mereka di masa depan semakin membuncah.
