Gunung yang digali oleh para raksasa itu ternyata perlahan-lahan tumbuh, bukan hanya celah yang digali, seluruh gunung sepertinya membesar sedikit lagi, membuat Han Sen tertegun seperti patung.
Untuk memastikan apakah matanya berkunang-kunang, Han Sen menunggu sebentar. Benar saja, celah yang digali semakin mengecil. Jelas ini bukan halusinasi, melainkan gunung itu benar-benar tumbuh dengan sendirinya.
Bzzzt!
Han Sen yang sedang terpana tiba-tiba mendengar gelombang suara frekuensi tinggi. Gelombang itu masuk ke telinganya, membuat kepalanya seperti dipukul palu. Dengan tangan menutupi kepala, tubuhnya terjatuh langsung ke dalam lautan.
Cepat-cepat ia mengoperasikan tenaga untuk memutus gelombang suara mengerikan itu. Perasaannya sedikit membaik, tapi di dalam kepalanya masih berdenging tak karuan, tak bisa diisolasi sepenuhnya.
Baru saja berhasil menyelinap keluar dari laut, kepalanya baru menampakkan permukaan air, langsung menatap ke arah sumber suara tersebut. Ternyata yang mengeluarkan suara mengerikan itu adalah pilar logam yang tertancap di gunung raksasa. Pilar logam itu berotasi dengan gila seperti bor, pola-pola unik di permukaannya berkilauan dengan cahaya aneh. Pola cahaya itu, mengikuti putaran pilar logam, seolah pisau penggiling yang terus-menerus menggerogoti dada raksasa kanibal, membuat darah segar menyembur dari luka besar, memercik ke baju zirah dan rambut raksasa. Daerah yang terkena percikan langsung berubah merah darah.
Han Sen baru menyadari, mungkin baju zirah raksasa itu awalnya bukan berwarna merah darah, melainkan terbasahi oleh darah mereka sendiri.
Beberapa helai rambut yang terkena percikan juga berubah merah darah, sementara bagian atas yang tidak terkena masih mempertahankan warna keperakan.
Padahal, jasad raksasa yang sebelumnya dianggap Han Sen sebagai mayat, ternyata bukanlah benda mati. Di bawah putaran pilar logam yang membunuhnya, Han Sen jelas merasakan tubuhnya bergetar, seolah sedang menahan kesakitan yang luar biasa.
“Anggota ini ternyata masih bertahan?” Hati Han Sen berdesir.
“Siapa kau? Kenapa berada di sini?” Han Sen sedang berpikir, tiba-tiba mendengar suara bergemuruh seperti granat jatuh. Raksasa mengerikan yang sedang dihancurkan logam itu ternyata menoleh ke arahnya, mata menyipit mengintip melalui celah di antara helai rambut. Meski hanya tatapan, membuat seluruh tubuhnya terasa terbakar api, gelisah tak tertahankan.
Suara raksasa itu jelas-jelas gemetar, seolah memaksakan diri menahan sesuatu.
Han Sen bisa membayangkan: Tubuhnya terus-menerus dipotong dan dirobek pisau penggiling, mustahil tidak kesakitan. Baru disebut hal yang membuat heran jika tidak merasakan sakit.
“Siapa kau? Kenapa berada di sini?” Han Sen terbang keluar dari air, bukannya mendekat malah mundur, berusaha sebaik mungkin menjauh dari raksasa kanibal itu sambil balik bertanya.
Raksasa kanibal itu menatap Han Sen, sorot matanya tetap tidak berpaling. Setelah beberapa saat baru berkata: "Karena kau bisa sampai ke tempat ini, mungkinkah kau tidak tahu siapa aku?"
"Kenapa aku harus tahu siapa kau?" Han Sen mundur hingga mencapai jarak yang dirasakan aman, baru berhenti sambil menatap raksasa itu.
Raksasa kanibal itu tertegun sejenak, tiba-tiba tertawa: "Kau tidak tahu siapa aku? Itu bagus! Kalau begitu, kau pasti juga tidak tahu siapa Santo itu?"
"Kau adalah Santo?" Han Sen langsung sangat terkejut, memandang raksasa itu dengan ekspresi tak percaya.
Mendengar pertanyaan Han Sen, raksasa kanibal itu malah membeku. Matanya menyorotkan pandangan aneh yang terus mengamati Han Sen, seolah sedang menilai sesuatu tanpa mengucapkan kata lagi.
Han Sen melihat raksasa mengerikan itu diam, lalu bertanya lagi: "Kau ini sebenarnya orang apa? Kenapa bisa tertancap di gunung?"
Raksasa itu menatap Han Sen sekali lagi, baru berkata dengan wajah bermacam perasaan: "Aku adalah Pemimpin Agung Pemecah Langit."
Meski dalam kondisi tertancap di gunung dan sedang dihukum mati, saat mengucapkan kata-kata ini, raksasa itu masih memancarkan kesombongan tak tertandingi, seolah seluruh alam semesta tetap bangga padanya hanya karena gelar itu.
"Kau Pemimpin Agung Pemecah Langit? Apakah para raksasa itu juga dari ras Pemecah Langit?" Meski sudah menduga-duga, Han Sen tetap terkejut mendengar pengakuan langsung dari sang raksasa.
"Benar. Mereka semua adalah umat ras Pemecah Langit-ku." Sang Pemimpin Agung berhenti sejenak, lalu menatap Han Sen: "Lalu siapa dirimu?"
"Han Sen, seorang pion tak berarti dari ras kristal." Mengikuti prinsip timbal balik, Han Sen pun menjelaskan asal-usulnya secara singkat.
“Kapan ras kristal punya raga sepertimu?” Leluhur Pemecah Langit menatap Han Sen dari atas ke bawah, tak tertebak apa yang ada dalam pikirannya.
“Kurasa kau terlalu lama terkurung, tak tahu perkembangan terbaru di Alam Semesta Raya. Ras kristal kami sudah jauh berbeda dari masa lalu.” Han Sen buru-buru menambahkan, “Bagaimana bisa kau terperangkap di sini? Mengapa rakyatmu tidak menyelamatkanmu?”
“Memang benar, kini bukan lagi era kami para Pemecah Langit.” Leluhur itu menghela napas, “Andai bukan demi menyelamatkanku, mereka tak akan terkutuk selamanya terperangkap di sini, menggali gunung hari demi hari, tahun demi tahun.”
“Siapa sebenarnya yang mengurungmu di sini? Apakah Sang Santo?” desak Han Sen.
Sebelumnya sang Leluhur menyebut Sang Santo, menunjukkan kaitan erat antara nasib ras Pemecah Langit dengan sosok tersebut.
Leluhur Pemecah Langit menggeleng halus, baru hendak bicara tiba-tiba rautnya berubah drastis. “Cepat! Sembunyi di rambutku! Kalau tidak, kau sudah pasti mati!” teriaknya gusar.
Di hati Han Sen juga muncul perasaan berdebar-debar, bahkan baju zirah kristal hitamnya menyebarkan aura yang tidak biasa. Ia tahu Leluhur Pemecah Langit tidak sedang menipunya.
Dengan hati membaja, tubuh Han Sen bergerak lincah melayang di bahu Leluhur Pemecah Langit, lalu menyusup ke dalam rambutnya.
"Apapun yang terjadi, kau mutlak tidak boleh mengeluarkan sedikitpun aura," Leluhur Pemecah Langit kembali berpesan sebelum diam seribu bahasa, hanya menyorotkan tatapan dingin ke cakrawala.
Han Sen yang bersembunyi di antara helai rambut itu menyembunyikan aura dirinya sendiri. Baju zirah kristal hitamnya mengeluarkan kekuatan misterius yang mengunci raganya, menghapus total semua sisa aura hingga bahkan Han Sen sendiri tidak bisa merasakan kehadirannya.
Tiba-tiba Han Sen merasakan getaran dahsyat di ruang sekitarnya. Ia menyaksikan matahari yang mirip jam raksasa di langit itu memancarkan kilatan cahaya menyilaukan, dan dari dalamnya ternyata muncul sebuah siluet.
Setelah melihat jelas siluet itu, Han Sen hampir berteriak. Ternyata itu adalah Kaisar Di Jun yang pernah dia temui di Bintang Gerhana sebelumnya. Setelah Di Jun terluka parah secara misterius, Han Sen tidak pernah melihatnya lagi. Tak disangka mereka bertemu kembali di sini.
"Heng Xie, apakah pertimbanganmu sudah matang?" Di Jun dengan baju besi emasnya bagaikan dewa langit, sorot matanya tajam seperti kilat menatap raksasa mengerikan itu.
"Sepertinya lukamu sudah hampir sembuh. Ada waktu setiap hari datang ke sini membuang-buang waktu. Dengan waktu seperti ini, lebih baik kau selidiki siapa sebenarnya yang merancang rencana hingga melukaimu sedemikian parah." Raksasa itu mengejek.
"Heng Xie, benarkah kau ingin terkendala selamanya di sini, menyaksikan umat Ras Pemecah Langit terus-menerus mengorbankan nyawa untukmu tanpa pernah merasakan kedamaian?" Di Jun tetap tenang, berkata dengan datar.
