Sinar hijau di Taman Udara bagai letusan gunung berapi menerjang kehamparan, membuat seluruh ruang kosong bergetar hebat.
Di setiap sudut Alam Semesta Genetik Raya, terlihat goresan hijau merobek kehampaan, seolah alam semesta terluka mengucurkan darah.
Bzzzt!
Di dalam kehampaan yang terkoyak oleh warna hijau zamrud itu, sebuah raksasa yang menyerupai kuil kuno perlahan muncul dari retakan zamrud.
"Kuil Gen!" Makhluk-makhluk di seluruh alam semesta melihat kemunculan Kuil Gen yang tak terduga ini dengan kebingungan di pupil mereka, menatap penuh tanda tanya ke arah bangunan mistis tersebut, berbagai hipotesis langsung bermunculan.
"Pertempuran Geni Zhongsheng Pu baru saja berlalu, kenapa Kuil Gen bisa tiba-tiba menampakkan diri tanpa alasan?"
"Kemungkinan besar ada petarung kuat yang mengaktifkan sistem penghancuran spektakuler dengan menyalakan lentera pemusnahan ras."
"Sepertinya tidak. Saat Kong Fei bertarung waktu itu, situasinya agak berbeda - kala itu para dewa dan bintang-bintang di cakrawala muncul, tapi kali ini terasa seperti alam semesta sendiri yang terluka parah. Sensasinya sama sekali berbeda."
"Iya, Bekas Hijau itu sebenarnya apa? Kenapa sebelumnya tidak pernah terlihat atau terdengar? Bekas itu membuat orang ingin menangis, hampir tidak tertahan air matanya. Ini situasi apa sebenarnya?"
Di puncak Gunung Wuding, seorang wanita bertanduk suci dan seekor Makhluk Bulu Hijau berdiri berdampingan. Mereka mendongak ke arah Bekas Hijau di alam semesta dengan ekspresi aneh.
"Akhirnya muncul lagi. Sudah miliaran tahun tidak melihat Shen Shang. Sungguh merindukan era ketika Tuan Gunung masih ada - memberontak takdir, membunuh dewa, mendobrak gerbang takhta ilahi. Sudah miliaran tahun tidak ada yang mampu mencapai tubuh ketuhanan. Hari ini akhirnya Shen Shang muncul lagi..." ujar Makhluk Bulu Hijau dengan wajah penuh perasaan campur aduk.
"Entah siapa yang bisa memberontak takdir di era ini, merebut posisi ketuhanan..." gumam wanita bertanduk suci sambil mengerutkan kening.
"Siapa pun, itu adalah sebuah hal bagus, membuktikan bahwa penindasan Kuil Gen sudah hampir limbung. Para Tuhan itu juga tak lagi menjadi makhluk abadi takkan hancur. Ada peluang untuk menghantam dewa dan merebut posisi." Makhluk Bulu Hijau berkata sambil melirik raksasa keemasan yang tertidur panjang di dekatnya: "Ini juga kesempatan untuk Gunung Wuding kami. Dengan kehadiran penguasa gunung kecil, kemunculan kembali Gunung Wuding tak mungkin dihalangi."
Mendengar tiga kata "penguasa gunung kecil", senyum langka muncul di wajah khidmat wanita itu: "Meski garis darah penguasa gunung kecil tak terlalu murni, potensinya yang luar biasa tak terkira. Kenaikan ke status Tuhan sebenarnya sudah di depan mata. Saat waktunya tiba, pasti bisa memberontak dan membunuh Tuhan seperti dulu, menyerbu Kuil Gen, membuat dunia tahu Gunung Wuding masih ada, klan Roar masih garis darah kebal."
Di dalam sebuah bintang merah kerdil mengerikan, ternyata tersembunyi sebuah istana. Saat ini di dalam istana itu berdiri banyak makhluk hidup yang mirip manusia, semuanya mendongak ke arah fenomena langit berbintang yang menakjubkan.
Jika Han Sen ada di sini, dia akan terkejut menemukan bahwa Santo Tianzhu ternyata juga berada di antara mereka.
"Yang ditakuti akhirnya tiba juga. Setelah Tanah Suci, era perang para dewa akhirnya akan datang lagi. Sayangnya kita belum siap sepenuhnya," ujar seorang pria bermata biru sambil mendongak ke langit berbintang, berkesedihan.
"Meski persiapan belum maksimal, adanya peluang ini tetap lebih baik daripada tidak sama sekali. Sekte Darah Hidup sudah terlalu lama menahan diri. Sudah waktunya kita bertarung melawan para dewa di semesta."
"Mungkin." Pria bermata biru itu menatap tajam kilau hijau di kehampaan, raut wajahnya sulit ditebak.
Di sebuah planet kecil milik Klan Multiharta, seorang anggota senior yang memegang kain rentang mengerutkan kening melihat kilau hijau di angkasa, bergumam lirih: "Tidak seharusnya... Waktunya belum tiba. Penekanan Kuil Gen seharusnya masih efektif. Di saat seperti ini ada yang bisa membunuh dewa? Aneh... Tidak seharusnya..."
Di berbagai tempat misterius alam semesta raya, para petarung kuat yang menakutkan terus mengawasi jejak hijau dan Kuil Gen yang perlahan muncul. Beragam pikiran bermunculan - ada yang terkejut, ada yang bingung, namun lebih banyak yang tetap mengamati situasi.
Mereka menunggu untuk mengetahui siapa yang berhasil membunuh dewa dan merebut posisi ketuhanan.
Kuil Gen telah muncul sepenuhnya dari jejak hijau, membuat seluruh alam semesta gelap gulita. Hanya garis hijau itu yang terus berkilauan dengan cahaya menyentuh di kehampaan.
Kuil Gen yang kuno dan mistis bagai kuil purba itu akhirnya membuka gerbangnya yang tak tersentuh selama ratus juta tahun. Di hari ini, pintu raksasa itu perlahan mulai terbuka.
Berbeda dengan Perang Menyalakan Lentera Kong Fei maupun Perang Membuka Gerbang Dewa Air Kuno, kali ini gerbang Kuil Gen terbuka sepenuhnya. Seluruh makhluk di penjuru alam semesta bisa menyaksikan pemandangan di balik gerbang megah itu dengan jelas.
Di dalam gerbang besar itu, terdapat sebuah patung dewa raksasa yang mirip giok. Meski hanya patung, ia memiliki wibawa yang sulit diungkapkan, membuat makhluk-makhluk yang lebih lemah tak mampu menahan diri untuk tidak berlutut ketika melihatnya.
Namun kini, mata patung itu mengeluarkan darah dari kerongkongan, memancarkan aura kesedihan. Meski masih berwibawa, tak ada lagi cahaya keilahian di dalamnya.
Di bawah pengawasan ketat berbagai makhluk hidup, patung itu perlahan melayang keluar dari Kuil Gen. Retakan-retakan mulai bermunculan di seluruh tubuhnya.
Saat patung itu terlempar keluar dari gerbang Kuil Gen, seluruh tubuhnya langsung runtuh berkeping-keping, berubah menjadi jutaan fragmen yang berserakan.
Hujan badai dan guntur mengamuk di seantero jagat raya, seolah-olah langit sendiri meratapi kehancuran seorang dewa.
"Siapa gerangan yang akan menjadi tuhan baru?" Panglima Istana Surgawi memicingkan matanya, menatap tajam Kuil Gen dengan gerbangnya yang menganga di kehampaan.
Sebuah patung dewa meninggalkan Kuil Gen, altar ilahi di atasnya pun menjadi kosong. Pasti akan ada tuan baru yang mendominasi. Panglima Istana Surgawi juga ingin tahu, di era ini, siapa yang bisa melawan takdir dan membunuh dewa.
Banyak makhluk yang berpikiran sama seperti Panglima Istana Surgawi. Mereka semua menatap tajam gerbang Kuil Gen, menantikan saat petarung kuat yang membunuh dewa itu naik ke altar ilahi dan menjadi dewa baru.
Namun setelah menunggu lama, tak terlihat makhluk apapun yang terbang menuju Kuil Gen. Justru dari dalam kuil terdengar suara melayang bagai kabut: "Dewi Tianluo telah runtuh, citra ilahinya hilang. Siapa pun yang mendapatkan citra ilahi Tianluo, bisa mewarisi posisi dewa."
Seluruh makhluk di seantero semesta membeku. Dewa runtuh namun citra ilahi hilang - situasi seperti ini belum pernah terdengar. Bukankah petarung yang membunuh Dewi Tianluo seharusnya membawa citra ilahi masuk ke Kuil Gen untuk menjadi dewa baru?
“Apa maksudnya citra ilahi hilang? Apakah petarung kuat itu tidak mengambil citra ilahi setelah membunuh Tuhan?”
“Tidak mungkin! Bagaimana mungkin barang sepenting itu tidak diambil?”
“Mungkinkah petarung kuat itu bunuh diri bersama dengan Tian Luo?”
“Ada kemungkinan!”
Berbagai makhluk mulai tergoda. Jika benar terjadi bunuh diri bersama, maka siapa pun yang menemukan citra ilahi tersebut bisa mewarisi posisi ketuhanan, bukan?
Di tengah berbagai spekulasi, pintu Kuil Gen tertutup dan perlahan menyatu kembali dengan kehampaan. Namun jejak hijau berkabung di langit tetap bertahan tanpa sirna.
