“Sekarang mau bertaruh?” Shen menatap Han Sen sambil tersenyum bahagia bertanya.
Han Sen tak bisa bicara. Merasa dirinya hampir mencekik diri sampai mati, hanya bisa mengangguk.
“Memang, kata-katamu benar. Lebih menarik kalau mengandalkan kemampuan sendiri.” Tuhan tersenyum.
“Bukankah aku yang seharusnya memutuskan taruhan apa yang akan dibuat?” Han Sen mengusap lehernya. Dia mulai menyadari Tuhan ini agak mistis. Meski terlihat santun, tapi kesannya jauh lebih mengerikan dibanding dewa seperti Kaisar Di Jun. Setidaknya tekanan yang dirasakannya tak pernah dialaminya saat berhadapan dengan dewa-dewa generasi sebelumnya.
“Sebenarnya tidak ada masalah. Tapi sangat langka menemukan makhluk hidup sepertimu yang menarik. Aku ingin memainkan game favoritku.” kata Tuhan.
“Game apa?” Kepalanya berputar cepat. Saat ini satu-satunya jalan adalah kabur. Bukan saja dia bukan tandingan Tuhan ini, bahkan seandainya bisa membunuh dewa sekalipun - saat ini Tuhan mendominasi tubuh Wan'er. Mana mungkin dia tega memenggal Wan'er juga?
Apalagi kelainannya baju zirah kristal hitam yang menyembunyikan diri, ini adalah kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Saat bertemu Kaisar Di Jun dan yang lain di masa lalu, baju zirah kristal hitam juga tidak menunjukkan respons seperti ini. Ini secara tidak langsung membuktikan betapa mengerikannya Tuhan ini.
Awalnya Han Sen mengira Tuhan seperti Kaisar Di Jun tidak bisa menyerang makhluk alam semesta. Sedangkan dewa seperti anak dewa Yao Lian yang bisa menyerang makhluk alam semesta, bukanlah lawannya. Dengan mengandalkan Teng Tian Luo dan Bulu Phoenix, setidaknya bisa bertarung imbang.
Tapi siapa sangka Tuhan ini sama sekali berbeda. Dia hanya menempelkan diri pada tubuh Wan'er, tapi sudah bisa menggunakan kekuatan yang lebih dahsyat seperti ini. Jelas ini bukan Tuhan biasa yang bisa dibandingkan.
"Jangan-jangan Tuhan ini... adalah 'yang itu' yang pernah ditemui Tim Aksi Ketujuh?" gumam Han Sen dalam hati sambil bergolak berbagai pemikiran.
"Sederhana saja. Kita akan meramal takdir." Wajah Tuhan menampakkan keanehan sesaat, tapi segera menghilang bagai kilat.
"Meramal takdir? Takdir siapa yang diramal?" Han Sen mengerutkan kening sambil bertanya.
"Siapa pun boleh, kamu bisa memilih makhluk hidup secara sembarangan." Tuhan berkata sambil menggerakkan telapak tangannya. Cahaya ilahi seketika berubah menjadi cermin cahaya, di mana siluet di dalamnya terus berubah-ubah menampilkan berbagai makhluk hidup di alam semesta.
"Aku tidak suka menggantungkan takdirku pada orang lain. Mari prediksi takdirku saja. Tapi bagaimana cara memprediksinya? Dan bagaimana menentukan kemenangan/kekalahan?" tanya Han Sen.
"Karena ini taruhan kita, tentu tidak bisa menggunakan diri sendiri sebagai alat taruhan. Pilih makhluk hidup yang kamu kenal atau kerabat darahmu. Kita akan bersama-sama memprediksi pilihan yang akan diambilnya saat menghadapi masalah. Kamu boleh memilih lebih dulu." Tuhan berkata dengan datar.
"Kalau begitu aku pilih pemimpin suku Tai Shang." Kata Han Sen langsung, sambil bergumam dalam hati: "Sekuat apapun kamu, pasti tidak bisa mempengaruhi pemimpin suku Tai Shang kan?"
Entah apakah Tuhan membaca pikiran Han Sen, dia hanya berkata dengan acuh: "Boleh. Mari kita bertaruh menggunakan pemimpin suku Tai Shang."
“Bagaimana cara bertaruh? Kita tidak tahu peristiwa apa yang akan dihadapi kepala suku Tai Shang.” Han Sen berkata.
Tuhan tidak berbicara, melangkah sekali sudah berada di depan Han Sen. Tangannya menarik Han Sen, yang langsung merasa seperti terseret masuk ke pusaran waktu, kepalanya pusing tujuh keliling, hampir muntah.
Frekuensi dia mengalami teleportasi antarbintang sudah cukup banyak. Dirinya sendiri hampir mencapai tahap bisa melakukan teleportasi antarbintang. Tapi kali ini benar-benar yang paling menyiksa.
Saat semuanya kembali normal, Han Sen menyadari dirinya sudah berada di Tianwai. Di hadapannya berdiri Pohon Bintang yang sangat dikenalnya.
Pohon Bintang dipenuhi buah-buahan yang terlihat seperti planet-planet raksasa bergantungan di ranting-rantingnya.
Di bawah Pohon Bintang, duduk bersila seorang pria muda dari ras Tai Shang. Pria itu mengenakan jubah putih bersalju, tampan namun dingin, auranya angkuh seolah seluruh dunia berutang padanya.
"Orang ini... kenapa terlihat agak familiar..." Han Sen merasakan aura pria muda ini sangat mengingatkannya pada seseorang.
"Ini adalah Kepala Suku Tai Shang," ujar Tuhan dari samping.
"Kamu menipu siapa? Aku pernah bertemu Kepala Suku Tai Shang, dia kan orang tua..." Ucapan Han Sen terhenti tiba-tiba. Ekspresinya berubah drastis saat ia menyadari kemiripan siluet wajah dan kelima indra pria itu dengan Kepala Suku Tai Shang, hanya saja versi yang jauh lebih muda dengan aura berbeda.
Dengan senyum khas, Tuhan menjelaskan: "Ini adalah Kepala Suku Tai Shang di masa mudanya. Saat ini kita berada di tahun ke-20 usianya."
"Kita... kembali ke masa lalu..." Wajah Han Sen pucat. Sekarang ia mengerti mengapa proses teleportasi tadi begitu menyiksa—ternyata bukan sekadar perpindahan ruang, tetapi juga manipulasi waktu.
"Bukan hal yang luar biasa. Jika kau tertarik, aku bisa mengantarmu melihat penampilanmu saat masih kecil," ucap Tuhan dengan tenang.
“Kalau begitu tidak perlu. Tapi mengingat ini masa lalu, hal yang terjadi di masa depan sudah ditakdirkan. Kamu sudah tahu akhirnya, untuk apa masih bertaruh?” kata Han Sen.
“Siapa yang bilang masa depan sudah ditakdirkan?” Tuhan memandang Han Sen dengan heran.
“Bukankah begitu? Jika masa depan bisa diubah, bukankah kamu bisa dengan mudah membunuh Kepala Suku Tai Shang? Dengan kekuatan seperti itu, pasti dia akan patuh padamu. Untuk apa repot-repot datang ke masa lalu mencari Kepala Suku Tai Shang yang masih muda?” Han Sen mencibirkan bibir.
Tuhan lebih memilih mengeluarkan tenaga datang ke masa lalu daripada langsung menemui Kepala Suku Tai Shang. Jelas-jelas masih ada keraguan. Karena itulah Han Sen berkata demikian.
Tuhan tersenyum: "Alam semesta memiliki aturannya sendiri. Bahkan Tuhan tidak bisa menyabotase. Tapi dalam aturan itu tidak ada klausul yang melarang perubahan masa depan. Masa depan itu seribu wajah. Kita berasal dari satu perubahan masa depan, sementara di sini terpengaruh insiden tak terduga yang mungkin mengembangkan masa depan alternatif. Jadi tidak bisa dipastikan apa yang akan terjadi."
“Maksudmu, kamu bisa mempengaruhi Kepala Suku Tai Shang yang masih muda, membuatnya memilih yang menguntungkanmu?” Han Sen langsung menangkap pesan tersirat dari Tuhan.
“Kamu juga bisa melakukannya, ini adil.” Tuhan tersenyum.
“Bolehkah aku mengajukan satu pertanyaan?” Tiba-tiba Han Sen menatap Tuhan dengan serius.
“Tergantung pertanyaannya. Meski aku adalah Tuhan, aku bukanlah Maha Tahu dan Maha Kuasa.” Tuhan berkata sambil tersenyum.
Han Sen mengamati Tuhan dengan seksama. Tampaknya dia benar-benar berbeda dengan para dewa seperti Di Jun.
“Mengingat kamu sangat menyukai permainan ini, berarti kamu pasti sudah sering memainkannya. Pernahkah kamu kalah?” Han Sen menarik napas dalam-dalam sebelum bertanya.
“Pernah. Kalah dua kali.” Jawaban Tuhan di luar dugaan Han Sen.
“Aku penasaran, siapa yang bisa mengalahkanmu?” Han Sen bertanya dengan terkejut.
“Seorang dari Ras Santo dan manusia bernama Han Jingzhi.” Tuhan berkata datar, kilasan aneh melintas di wajahnya saat mengucapkan itu.
Han Sen yang mendengar ini jantungnya berdegum kencang Dor! Dor!, hampir saja terlepas teriak: "Han Jingzhi……"
