Han Sen mengira masuk pertempuran 100 besar pasti ada masalah. Ternyata lawannya menyerah dan sama sekali tidak muncul di medan pertempuran berbintang.
Baru sekarang Han Sen sadar, pengaruh pembunuhannya terhadap Dewa Zirah Surgawi sangat besar. Sebelum latar belakangnya jelas, bahkan petarung kuat yang termitosis pun masih ragu menghadapinya.
Seperti lawan di putaran ini. Meski bukan kelas top, setidaknya varietas langka Tingkat Dewa dengan kekuatan cukup kuat. Tapi ternyata tak berani masuk medan tempur berbintang.
"Mereka berlebihan menilai saya. Tapi baguslah, jadi hemat banyak masalah." Han Sen meninggalkan medan pertempuran berbintang.
Setelah masuk 100 besar, mode pertempuran mengalami beberapa perubahan, tidak lagi menggunakan sistem eliminasi per babak.
Tapi mode Pertempuran Peringkat 100 Besar ini membuat Han Sen tidak tahan lagi mengolok Tuhan: "Turnamen peringkatmu terlalu sembrono! Bisa pilih sendiri peringkat keberapa?"
Wajar Han Sen mengolok. Mode Pertempuran Peringkat 100 Besar memang terlalu unik. Setiap makhluk hidup yang lolos 100 besar bisa memilih peringkatnya sendiri. Setiap posisi hanya bisa ditempati satu makhluk. Pemilihan ini bukan berdasarkan kekuatan, tapi kecepatan tangan. Asal cukup cepat dan buru-buru memilih, mau ambil peringkat pertama pun tak masalah.
Pertarungan selanjutnya menurut Han Sen semakin tidak masuk akal. Setelah memilih peringkat, setiap makhluk bisa memilih untuk menantang posisi yang diinginkannya.
Contohnya, jika kamu sendiri menduduki peringkat ke-100, tapi ingin berada di posisi pertama, kamu bisa langsung menantang makhluk yang saat ini menempati peringkat pertama. Tapi kesempatan tantangan ini hanya sekali - jika gagal, kamu kehilangan peluang untuk menantang posisi lain. Sekalipun kekuatanmu luar biasa, kamu tetap harus puas di posisi ke-100.
"Kalau sistemnya seperti ini, bukankah siapa pun yang memilih posisi pertama harus menerima tantangan dari banyak makhluk? Sementara posisi yang tidak diminati justru bisa dipertahankan tanpa perlu bertarung sama sekali?" Han Sen mengawasi Tuhan sambil berkata.
"Kamu tidak paham, justru begini baru menarik. Lebih baik kamu pikirkan baik-baik mau memilih peringkat berapa. Jika ingin jadi pertama, beri tahu saja. Aku bisa membuat pengecualian dengan membukakan gerbang belakang untuk langsung menempatkanmu di posisi teratas." Tuhan tersenyum manis.
"Aku hargai niat baikmu, tapi tak ingin terjebak dalam sistem giliran." Han Sen memang sedang menganalisis pertimbangan rasional: Sebenarnya peringkat berapa yang harus dipilih?
Sekarang dipikir lebih dalam, memilih peringkat berapa ternyata memiliki tingkat kesulitan teknis yang tinggi. Bahkan para petarung kuat yang punya modal merebut posisi pertama pun mungkin ragu apakah akan memilih nomor satu. Sekuat apapun, jika menghadapi sistem giliran, tetap ada kemungkinan kalah telak.
Sementara makhluk-makhluk dengan kemampuan biasa yang tidak termasuk kelas top, justru bisa memilih posisi yang lebih tinggi namun tidak terlalu menarik perhatian.
Contohnya Han Sen, dia berniat memilih peringkat yang cukup maju namun tidak terlalu mencolok.
Meskipun saat ini kekuatan Han Sen tak bisa diremehkan, ditambah senjata citra ilahi di tangannya, tapi yang bisa masuk 100 besar semuanya berlevel Dewa - tak ada satu pun yang mudah dihadapi.
Seperti Kepala Suku Tai Shang atau Tuan Istana Surgawi sekalipun, meski tanpa senjata citra ilahi, pasti memiliki banyak artefak suci sejati. Peluang Han Sen menang sangat tipis.
Target awal Han Sen memang hanya masuk 100 besar. Sekarang keinginannya sudah tercapai, dia tidak berniat mengejar posisi pertama.
"Dilihat dari hadiah peringkat ini, kompetisi di sepuluh besar pasti paling ketat. Entah berapa banyak makhluk hidup yang mengawasi ketat. Begitu pengumuman peringkat keluar, sepuluh besar pasti didominasi bos-bos besar. Hanya aku yang sendirian dan mudah diintimidasi. Pasti ada yang menantangku. Sepuluh besar kurang cocok." Han Sen memperhatikan beberapa saat, lalu merasa memilih peringkat dua puluhan lebih tepat.
Peringkat dua puluhan tidak terlalu tinggi. Tuhan yang terlalu kuat tidak tertarik, seharusnya tidak akan menantang posisi ini. Sementara yang lebih lemah juga enggan memilih sini. Peluang Han Sen untuk mendapatkan posisi ini masih cukup besar.
Selain itu, duduk di peringkat dua puluhan juga bisa menikmati tontonan. Jika ada kesempatan, bisa menantang peringkat lebih tinggi. Kalaupun kalah, hadiah untuk peringkat 20-an tetap cukup bagus.
Han Sen bertekad memilih peringkat dua puluhan. Posisi favoritnya adalah nomor 22. Tapi kalau nanti tidak keburu, cukup pilih sembarangan salah satu dari peringkat dua puluhan.
Saat tiba waktunya memilih peringkat, tirai cahaya muncul di hadapan Han Sen. Di atasnya terdapat 100 kotak bertuliskan angka 1 hingga 100. Di bagian paling atas terdapat penghitung mundur waktu. Ketika waktu habis, semua orang bisa mulai merebut - siapa yang berhasil merebut akan mendapatkannya.
"Tuhan ini benar-benar punya selera humor aneh, pertandingan saja harus diatur dengan sistem rebutan." Han Sen diam-diam menggerutu dalam hati.
Begitu hitungan mundur berakhir, Han Sen dengan cepat menekan kotak nomor 22. Namun saat jarinya hampir menyentuh kotak 22, kotak itu sudah berubah menjadi merah menyala - bukti bahwa ada yang lebih dulu memilih.
Han Sen buru-buru melihat nomor 20-an yang tersisa. Tapi dalam beberapa coretan cepat, seluruh nomor 20-an berubah merah. Area dari nomor 11 hingga 30-40 mendadak kehabisan posisi dalam sekejap.
Yang mengejutkan, justru di peringkat 10 besar masih ada tempat kosong. Di bagian bawah juga masih banyak posisi yang belum terisi.
“Di atas atau di bawah?” Han Sen hanya ragu sejenak, kemudian melihat beberapa coretan cepat—sebagian besar kotak sudah berubah merah, hanya tersisa tiga posisi setelah nomor 95 yang belum dipilih.
“Gila, cepat amat ini! Ini sistem undian beli rumah apa gimana?” Han Sen mulai frustrasi.
Posisi setelah 95 sama sekali tidak perlu dipilih—hadiahnya tak jauh beda, lagipula tak ada yang mau menantang peringkat ini. Akhirnya Han Sen memilih nomor 98 yang tertinggi di antara tiga slot tersisa.
Tapi siapa sangka sebelum sempat mengangkat tangan, nomor 98 dan 99 juga sudah lenyap, hanya tersisa posisi terakhir nomor 100.
“Yang penting masih bisa challenge sekali lagi. Seratus ya seratuslah.” Dengan pasrah, Han Sen mengaktifkan kotak nomor 100.
Setelah peringkat ditentukan, Han Sen melirik daftar dan terkejut menemukan yang menduduki puncak ternyata adalah Golden Roar. Peringkat kedua ditempati Kepala Suku Tai Shang, ketiga Lou Lie, keempat Leluhur Iblis, kelima seekor varietas langka bernama Makhluk Pencari Wangi, keenam Dewa Persembahan Kuno dari Klan Dewa Kuno, ketujuh Bai Wushang dari Klan Huangji, kedelapan varietas langka bernama Raja Naga Kehampaan, dan kesembilan masih ditempati varietas langka lainnya.
Han Sen menyadari lebih dari separuh dari 100 besar papan peringkat justru dikuasai oleh varietas langka. Ras-ras terkenal di alam semesta malah tidak mendominasi sebanyak yang dibayangkannya.
Barulah setelah melihat hingga peringkat ke-81, Han Sen menemukan nama Zhang Xuandao.
"Panglima Istana Surgawi memang tak terduga, malah memilih peringkat serendah ini." Han Sen menggelengkan kepala. Tapi mengingat sifat asli sang Panglima, pilihan seperti ini sebenarnya wajar.
Saat matanya melanjutkan ke peringkat ke-84, Han Sen tiba-tiba membeku.
"Ran Deng, ini bukan Leluhur dari ras Buddha, kan? Bagaimana anggota ini bisa masuk ke 100 besar?" Hati Han Sen sedikit bingung. Menurut pengetahuannya, meski Leluhur bermitologi, tapi hanya level pecah kepompong. Seharusnya tidak mungkin masuk 100 besar.
