"Tampak sebuah mahkota giok putih perlahan jatuh ke arah Han Sen, langsung menimpa bagian atas kepalanya. Cahaya suci berkilauan di mahkota giok putih itu, aura seperti dewa langsung memancar keluar. Gaya ilahi yang aneh mengalir dari bawah mahkota, raga Han Sen perlahan berubah menyerupai wujud dewa."
"Seketika aliran informasi meluap dari mahkota giok putih, masuk ke dalam otak Han Sen, membuat banyak data baru muncul di memorinya."
"Mahkota Dewa: Senjata Citra Ilahi Tingkat Kehancuran."
"Bersamaan dengan itu, metode penggunaan Mahkota Dewa juga muncul di benak Han Sen, memberinya gambaran umum tentang kemampuan senjata tersebut."
"Oh begitu rupanya. Bukan benar-benar membuatku naik tingkat sebagai dewa, melainkan memanfaatkan kemampuan Mahkota Dewa untuk memberiku wewenang masuk/keluar Kuil Gen seperti dewa." Setelah memahami metode penggunaannya, Han Sen akhirnya mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi setelah mengetahui dengan pasti, Han Sen justru merasa tidak senang, karena bahkan peserta peringkat ke-100 pun mendapat satu artefak suci sejati. Senjata citra ilahi sepertinya tak jauh berbeda dengan artefak suci.
Han Sen merasa Senjata Dewa Tianluo dan Perisai Medusa juga setara levelnya, seharusnya termasuk kategori yang sama. Meski dia meraih posisi pertama, hasilnya hanya dapat satu senjata citra ilahi. Selain bisa masuk/keluar Kuil Gen, senjata itu sendiri tidak memiliki fungsi kuat lainnya. Dipikir-pikir rasanya kurang memuaskan.
Saat Han Sen masih merenung, Prasasti Gen Suci sudah aktif lagi, mengirimkannya kembali ke taman Klan Huangji.
"Selamat, tak kusangka kamu bisa merebut posisi pertama." Dewa itu tersenyum manis sambil mengawasi Han Sen.
"Kamu terlalu kikir! Pemenang pertama cuma dapat satu senjata citra ilahi. Aku lihat juara kedua dan ketiga juga dapat hadiah senjata citra ilahi. Juara pertama hanya dapat satu? Ini tidak pantas dengan status posisi pertama!" Han Sen mengolok.
"Jangan kau tak tahu diri di tengah keberuntunganmu. Senjata citra ilahi mereka itu tingkat sabotase, sama seperti Senjata Dewa Tianluo-mu. Sedangkan senjatamu ini tingkat kehancuran, bisakah disamakan? Selain itu, Mahkota Dewa memberimu kemampuan bebas keluar-masuk Kuil Gen. Tahukah kau berapa banyak petarung kuat papan atas Alam Semesta Raya sejak zaman kuno yang haus akan kemampuan seperti ini?" kata Tuhan dengan nada merendahkan.
"Ada berapa level senjata citra ilahi? Apakah tingkat kehancuran jauh lebih kuat daripada sabotase?" tanya Han Sen cepat-cepat.
"Kau akan tahu sendiri setelah masuk Kuil Gen. Anjing kecilmu sudah masuk duluan, tak ingin kau intip sekarang?" Tuhan tersenyum manis.
"Ahem, aku masih ada urusan lain dulu," jawab Han Sen sambil mengalihkan pertanyaan. "Seberapa berbahayakah Kuil Gen itu? Menurutmu, dengan kemampuanku sekarang, apakah nyawaku dalam bahaya jika hanya tinggal di sana beberapa waktu?"
"Tidak tahu." Tuhan tampak heran melihat sikap hati-hati berlebihan Han Sen. Dengan malas Ia mengabaikannya dan tak lagi menjawab pertanyaan Han Sen.
Han Sen juga sangat ingin pergi ke Kuil Gen untuk melihat-lihat, terutama karena Si Emas kecil juga ada di dalam sana, membuatnya semakin ingin masuk.
Tapi Han Sen masih berniat menunggu sampai dirinya naik ke Tuhan baru pergi. Kalau tidak, setelah masuk justru menjadi beban Si Emas kecil. Nanti tidak hanya frustasi, tapi juga membuat posisi Si Emas kecil semakin sulit.
"Entah kapan Wan'er bisa bangun. Selama dia terus bertahan di sisiku, dengan tubuh Super God-ku yang saling melengkapi dan menyeimbangkan, aku tidak bisa menggunakan tubuh Super God dalam waktu lama. Segala hal jadi serba terbatas." Han Sen melirik Wan'er di dalam Menara Takdir Langit. Wan'er masih tidur pulas, tapi aura di tubuhnya sudah jauh lebih tenang. Vitalitasnya juga semakin menggigit, jauh lebih kuat dibanding saat Han Sen pertama kali bertemu dengannya.
Koin Emas akhirnya meraih posisi pertama di Prasasti Gen Suci Angkatan Pertama. Golden Roar berhasil lolos ke Kuil Gen. Ditambah dengan pertemuan legendaris antara Koin Emas dan Golden Roar, kompetisi Prasasti Gen Suci kali ini penuh dengan berbagai topik panas. Selama waktu yang sangat lama, multiras di alam semesta terus membahasnya. Nama Koin Emas dan Golden Roar pun semakin dikelilingi aura mistis di seantero Alam Semesta Raya.
Sementara itu, berbagai ras besar terus melakukan penyelidikan tentang asal-usul Koin Emas, termasuk Gunung Wuding. Namun hasilnya tidak ada kemajuan. Tidak ada yang tahu Koin Emas sebenarnya milik pihak mana.
Adapun gelar "manusia" yang diklaim, penyelidikan juga tidak membuahkan hasil. Beberapa kaum kolot memang mengetahui beberapa hal tentang ras manusia, tapi aura yang dipancarkan Koin Emas jelas-jelas varietas langka. Berbeda sama sekali dengan manusia berdarah biru, jelas bukan makhluk dari ras yang sama.
Menurut persepsi mereka, memang ada satu manusia yang berpartisipasi dalam kompetisi Prasasti Gen Suci kali ini. Tapi bukan Koin Emas, melainkan Lou Lie yang menduduki peringkat keempat.
"Bagaimana cara pergi ke ras Buddha tanpa sepengetahuan dewa atau hantu?" Han Sen selama beberapa hari ini terus memburu varietas langka di dalam Istana Sembilan Penjaga untuk mengisi kembali gennya.
Tapi varietas level tinggi di Istana Sembilan Penjaga tak banyak, sekarang Han Sen harus memakan varietas level Transformasi Kupu-Kupu untuk meningkatkan gen mereka sendiri, sehingga kecepatan peningkatannya sangat lambat.
Dia ingin pergi ke ras Buddha untuk merebut kembali bilah pisau mentahnya, sekalian membalas dendam Ran Deng yang pernah memukulnya jadi semut dan melukai Ishara.
Masalahnya, kalau pergi ke ras Buddha, dia harus datang atas nama Han Sen secara terhormat untuk membalas dendam. Kalau menggunakan nama Koin Emas, sekalipun berhasil merebut kembali bilah pisau, itu tidak bermakna banyak.
Persoalannya sekarang ada seorang dewa yang menguntutnya. Jika dia berubah kembali menjadi Han Sen, identitasnya akan terekspos sepenuhnya - situasi yang enggan dia saksikan.
Berpikir ke sana kemari, Han Sen juga tidak menemukan cara yang baik. Tuhan ini terlihat sangat biasa, seperti paman tetangga. Terkadang sepertinya dia mengerti banyak hal, tampak lebih lemah dibandingkan dewa seperti Kaisar Di Jun yang serba tahu dan tinggi di atas awan. Namun tekanan yang dia berikan pada Han Sen jauh lebih kuat daripada para dewa seperti Di Jun, membuat Han Sen merasa waspada dan tidak berani melakukan tindakan gegabah.
"Aku akan pergi sementara waktu." Tanpa diduga, saat Han Sen sedang berpikir cara melepaskan diri dari Tuhan, Tuhan malah mendatanginya dan mengucapkan kalimat itu.
Han Sen hampir mengira apakah Tuhan bisa membaca pikirannya, sehingga sengaja berkata demikian.
"Sayang sekali, aku masih ingin bermain beberapa ronde catur lagi denganmu." Han Sen berkata tanpa ekspresi.
"Tidak usah buru-buru. Aku pulang untuk urusan kecil, tidak akan lama." Tuhan tersenyum lalu berkata.
"Apa yang begitu mendesak, sampai lebih penting dari bermain catur?" Han Sen berpura-pura terkejut bertanya.
"Ada anggota baru di Kuil Gen, tentu saja aku harus melihatnya." Tuhan berkata seolah hal itu biasa saja.
"Kamu mau melihat Golden Roar?" Hati Han Sen mendadak berat, ia tak menganggap perhatian Tuhan sebagai hal baik.
"Ini hanya prosedur normal. Mengingat persahabatan kita, jika ada bahaya, pasti akan kuberitahu duluan." Tuhan memicingkan mata sambil tersenyum.
"Kalau begitu aku ucapkan terima kasih dulu." Walau berkata demikian, hati Han Sen semakin merasa ada yang tidak beres. Dalam hati ia bergumam: "Jangan-jangan dia ingin memanfaatkan Si Emas kecil untuk memaksaku masuk ke Kuil Gen?"
