Cahaya bintang menerangi seluruh alam semesta, di dahi setiap anggota ras Buddha tertera cap cahaya karakter Buddha kuno yang berkilauan. Bahkan mereka yang berada di ujung terjauh alam semesta bisa menggunakan cap ini untuk tiba di depan Kuil Gen, berjuang melindungi lentera ras.
Geraman amarah bergema di seluruh penjuru kosmos. Jutaan Buddha melintasi kehampaan, meski yang paling biasa sekalipun tanpa kemampuan terbang, bisa mengandalkan cap ras untuk bertempur di ruang hampa.
Lautan Buddha berkumpul di depan lentera ras, tubuh mereka menyala-nyala dengan cahaya Buddha yang intens. Setiap orang menyumbangkan tenaganya, membuat kilatan pada lentera ras semakin galak bagai aurora yang menyinari segala ciptaan, memancarkan gelombang mengerikan yang tak terbayangkan.
"Han Sen, kau benar-benar ingin berkonflik abadi dengan ras Buddha?" Ran Deng bertanya dengan ekspresi tenang, tapi sorot mata berdarahnya sudah tak bisa disembunyikan lagi.
"Menghancurkan satu ras Buddha saja, belum mencapai tingkat itu." Han Sen berkata dengan datar.
Multiras di alam semesta mendengar ucapan ini, wajah mereka menampakkan ekspresi aneh.
Meski kekuatan ras Buddha tidak termasuk elite di antara Klan Atas, Ran Deng sebagai leluhur mereka adalah pengecualian. Tak hanya secara mengejutkan mencapai level Transformasi Kupu-Kupu, ia bahkan mengalahkan varietas langka kuat seperti Merak Dewa Ming dalam kompetisi Prasasti Suci Gen, meraih peringkat ke-84. Sekalipun Klan Atas yang lebih tinggi peringkatnya, ingin menyerang ras Buddha pun harus mempertimbangkan matang.
Apalagi di belakang ras Buddha ada Klan Huangji. Klan Huangji juga tidak mungkin membiarkan ras Buddha digempur, kalau tidak, siapa lagi yang mau menempelkan diri pada mereka di masa depan?
"Pastur Han agak terlalu sombong ya? Meski ada banyak mitos di Taman di Udara, tapi semuanya masih dasar. Bagaimana bisa dibandingkan dengan Ran Deng yang masuk 100 besar Prasasti Suci?"
"Sepertinya tak ada mitos dari Taman di Udara yang datang?"
"Pastur Han mau menantang ras Buddha sendirian?"
Berbagai ras berbisik-bisik, Ishara juga menunjukkan ekspresi aneh: "Memang benar, dia tetap menantang ras Buddha, itupun sendirian."
Tuan Istana Surgawi tersenyum: "Kulihat level Han Sen juga sudah cukup tinggi, persoalan ini belum tentu tidak berpeluang, tapi..."
"Tapi apa?" tanya Ishara.
"Tapi ras kristal dulu gagal menantang karena campur tangan ras asing dalam perang klan. Belum lagi apakah orang-orang yang dulu menghentikan kenaikan level ras kristal ke Klan Atas akan muncul lagi. Sekalipun tidak, Tai Shang mungkin tidak akan melewatkan Han Sen. Ini tetap sulit," Tuan Istana Surgahi menggelengkan kepala.
"Sebenarnya ras mana yang ikut campur dalam perang kenaikan level ras kristal ke Klan Atas dulu?" Ishara mengerutkan kening.
“Ini sulit dipastikan, waktu yang berlalu sudah terlalu lama. Makhluk-makhluk yang menyaksikan pertempuran tahun itu hampir semuanya sudah mati. Sekalipun ada kaum kolot yang masih hidup, mereka menolak membahas peristiwa tahun lalu.” Tuan Istana Surgawi tersenyum lagi setelah berpikir sejenak: “Tapi para penghambat klan kristal itu seharusnya juga sudah menjadi debu sejarah. Kemungkinan kemunculan mereka sangat rendah. Sekarang yang paling perlu dihadapi Han Sen adalah Ran Deng dan Tai Shang.”
Sementara mereka berbicara, ras Buddha justru sedang dilanda kemarahan hebat akibat ucapan Han Sen.
“Yang Mulia Leluhur, anak ini harus dibunuh.”
“Jika tidak dipotong-potong menjadi seribu keping, tidak akan cukup untuk menebus dosanya.”
“Yang Mulia Leluhur, mohon berikan perintah. Kami bersumpah akan menghabisi si brengsek ini.”
Ran Deng tetap tenang, namun aura pembunuhan di matanya telah memadat seperti kristal. Dengan suara dingin ia melantunkan mantra Buddha: “Amitabha Buddha. Karena Yang Mulia terus memaksa, jangan salahkan kami jika ras Buddha tak lagi menghargai hubungan lama dengan Istana Surgawi.”
Ucapan ini jelas bukan ditujukan untuk Han Sen, melainkan untuk Tuan Istana Surgawi dan Ishara.
Begitu ucapannya selesai, cahaya Buddha memancar dari tubuh Ran Deng. Tangan raksasanya melambai ke arah Han Sen, melepaskan cahaya Buddha yang aneh—sihir transformasi yang dulu pernah mengubah Han Sen menjadi semut.
Kini Ran Deng telah mencapai persiapan Transformasi Kupu-Kupu, kekuatannya melampaui era dulu. Sihir transformasi cahaya Buddha ini memiliki wibawa yang lebih dahsyat dibanding sebelumnya. Telapak tangannya seolah menguasai seluruh langit berbintang.
Makhluk ras Buddha melihat Han Sen tak bereaksi saat diserang sihir transformasi itu, langsung berseri-seri dalam hati.
Namun saat sihir transformasi itu menimpa Han Sen, efeknya hanya bagai angin sepoi-sepoi mengusap wajah. Gen Han Sen tak berubah bentuk, bahkan helai rambutnya pun tak bergerak setapak. Dengan sikap tenang khas Danmo, Han Sen tetap berdiri di kehampaan, ujung gaunnya tak sedikit pun terangkat.
Termasuk Ran Deng, para petarung kuat ras Buddha semuanya menunjukkan perubahan ekspresi wajah. Saat Pertempuran Prasasti Gen Suci dimulai, Ran Deng telah menggunakan sihir transformasi cahaya Buddha ini untuk mengubah seorang dewa berbasis ilahi menjadi kodok lumpur.
Han Sen hanya berdiri di sana tanpa perlawanan sengaja terhadap sihir transformasi cahaya Buddha, namun sama sekali tidak terpengaruh. Kekuatan fisiknya yang luar biasa sulit dibayangkan, jelas bukan sekadar dewa berbasis ilahi biasa.
Teknik Tulang Giok dan Kulit Es Han Sen telah mencapai level Transformasi Kupu-Kupu. Efek penguatan dan konsolidasi pada tubuhnya tak terbayangkan, membuat perubahan genetik eksternal menjadi hal yang mustahil.
Bukan hanya sihir transformasi Ran Deng yang tak berguna, bahkan jika Kepala Suku Tai Shang datang sendiri dan menggunakan metode mengubah langit dan bumi, tetap sulit menggoyahkan fondasi genetik Han Sen.
"Tubuh tak bercacat yang luar biasa! Sepertinya bocah itu telah mencapai level Transformasi Kupu-Kupu," puji Tuan Istana Surgawi.
Alis Ishara masih belum merenggang. Meski menyenangkan bahwa Han Sen bisa mencapai tingkat Transformasi Kupu-Kupu secepat ini, masa depannya justru semakin berbahaya. Sebuah Transformasi Kupu-Kupu belum tentu bisa menangani semuanya.
Han Sen berdiri di kehampaan, memandang dingin ke arah Ran Deng: "Lebih baik keluarkan Pisau Hukum Karma dan artefak suci sejati. Memamerkan sedikit ilmu sampahmu itu hanya akan membuatmu jadi bahan tertawaan."
Meski anggota ras Buddha merasa marah, kali ini mereka tidak berkoar seperti sebelumnya. Tubuh Han Sen yang menerima langsung serangan Ran Deng tanpa cedera sedikit pun menimbulkan secuil kecemasan dalam hati mereka.
"Amitabha Buddha!" Ran Deng melantunkan mantra Buddha, namun tidak melanjutkan bicara. Perlahan ia mencabut Pisau Hukum Karma itu dari sarungnya.
"Pisau di tangan, seluruh aura Ran Deng seolah berubah drastis bagai dirasuki dewa. Cahaya Buddha di tubuhnya semakin terang menyilaukan, tekanan mengerikan seperti gelombang dahsyat menghantam Han Sen."
"Tapi meski aura Ran Deng terus bertambah, Han Sen tetap tak mempedulikannya. Ia hanya menatap Pisau Sebab-Akibat di tangan Ran Deng sambil tersenyum tenang: 'Ran Deng, meski kau bukan orang baik, kemampuanmu patut diacungi jempol. Ternyata kau bisa mengubah bilah pisau mentahku menjadi artefak suci sehebat ini. Aku justru harus berterima kasih padamu.'"
"Ini adalah artefak suci sukuku! Jangan kau nodai dengan omong kosong!" Ran Deng berteriak lantang. Tanpa memberi kesempatan bicara lagi, pisau berpendar cahaya Buddha itu sudah menyambar ke arah Han Sen dalam sekejap.
Han Sen tak menghindar. Telapak tangan membentuk pisau, ia menggunakan jurus Gigi Pedang "Membalas Dendam" untuk menangkis serangan itu.
"Cahaya pisau ungu menembus telapak tangan, bertabrakan dengan cahaya pisau Buddha Ran Deng. Cahaya Buddha yang terlihat perkasa itu, di bawah tebasan Han Sen, ternyata tercabik-cabik. Cahaya pisau ungu menghancurkan segala rintangan, menerjang ke hadapan Ran Deng yang tercekat berusaha menghindar. Namun terlambat separuh detik, lengan jubah Buddhisnya terpenggal setengah lembar."
Seluruh ras di alam semesta terkejut. Ran Deng yang lolos ke 100 besar Prasasti Suci itu—meski kekuatan diri sendiri kurang—telah mencapai level Transformasi Kupu-Kupu. Ditambah artefak suci sejati itu, ternyata tak mampu menahan satu tebasan tangan kosong Han Sen.
