Ras-ras di alam semesta sangat beragam, dengan berbagai jenis pakaian, tapi kebanyakan berbentuk baju pelindung atau baju zirah.
Terutama saat datang ke tempat seperti Bidang Mutenya Bintang, pada dasarnya mereka akan memakai baju zirah harta mutan, atau langsung rompi anti peluru genetik kehidupan dasar.
Tapi pakaian yang dikenakan kerangka ini agak berbeda. Bajunya terlihat seperti kain atau sutra biasa, desainnya pun tidak sesuai standar baju pelindung, lebih mirip kostum yang ringkas.
Baju tersebut cukup longgar, menyerupai jubah. Sebagian besar berwarna biru dengan hiasan pola hitam di pinggiran, memberikan kesan khidmat meski terlihat santai.
Partikel cahaya ungu terus-menerus berdenyut di atas baju itu, menyinarinya hingga berkilauan seperti salju, namun tak kunjung terurai. Bahkan kerangka itu sendiri juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan hancur.
"Bisa bertahan utuh dalam aliran cahaya ungu, pasti baik baju maupun kerangka itu bukan barang biasa. Sayang sekarang aku tidak bisa menggunakan tenaga, kalau tidak bisa merebut baju itu, mungkin itu adalah harta mutan level tinggi," gumam Han Sen dalam hati.
Kerangka itu terus bergerak naik-turun di dekat mereka, berputar tak henti mengikuti aliran cahaya ungu. Beberapa kali hampir menghantam kabin luar angkasa, membuat Han Sen tergoda untuk mempertimbangkan cara merebutnya.
Tapi kabin luar angkasa ini memang dirancang untuk satu orang. Dia dan Bao'er yang sudah berdesakan di dalamnya jelas tidak bisa menampung satu kerangka lagi.
Lagipula Ikan Mas Besar sudah memperingatkan harus tetap bersembunyi dan tidak boleh mengekspos diri, kalau tidak semua usaha akan sia-sia. Setelah beberapa kali keraguan, Han Sen akhirnya mengurungkan niatnya.
Aliran cahaya ungu menggerakkan kabin angkasa terus mengalir, kini sudah sulit membedakan posisi saat ini. Kerangka itu terbelit aliran ungu, kadang dekat kadang jauh dari kabin, namun tak pernah benar-benar menjauh.
Beberapa hari kemudian, kilau merah pada sisik semakin memudar, tenaga seolah hampir habis. Film merah di kabin angkasa juga melemah, sesekali terdengar suara kreek-kreek dari kabin seakan akan berantakan.
"Sisik ini hampir tak bertahan, jangan-jangan Ikan Mas Besar salah perhitungan?" Han Sen menatap keluar yang masih dipenuhi kilatan cahaya ungu.
Dor!
Han Sen dan Bao'er terhentak, kabin seakan menabrak sesuatu lalu menggelinding seperti bola karet. Saat kabin berhenti, mereka menyadari cahaya ungu di luar sudah tidak menyorot masuk lagi.
"Mengintip melalui jendela kecil ke luar, memang sudah tidak ada cahaya ungu. Yang terlihat justru hamparan putih salju, berbeda dengan debu abu-abu sebelumnya. Putih di sini bukanlah debu, melainkan salju sesungguhnya."
"Seluruh pemandangan yang terlihat adalah dataran salju, dengan banyak gletser yang tampak di kejauhan."
"Kita sudah sampai." Hati Han Sen langsung berbunga-bunga, namun terdengar suara kres keras. Kabin antariksa yang sudah tidak mampu bertahan akhirnya hancur berkeping-keping di hamparan salju. Han Sen dan Bao'er tiba-tiba terekspos dalam dinginnya es, sementara sisik ikan di tangan Han Sen pecah seperti batu-batuan, berhamburan di tanah.
"Tempat ini persis seperti yang dijelaskan ikan mas besar itu!" Setelah terkurung di kabin antariksa selama berhari-hari, Bao'er terlihat sangat antusias setelah keluar.
Dor!
Keduanya sedang mengamati dataran salju dan gletser di sekitar, berusaha menemukan lokasi yang disebutkan ikan mas besar itu. Tiba-tiba sebuah benda jatuh dari langit dan mendarat tidak jauh dari mereka.
Han Sen dan Bao'er berbalik memandang, ternyata yang jatuh di hamparan salju itu adalah mayat tengkorak itu.
"Ayah, itu tengkoraknya!" Bao'er kabur ke sana, berjongkok di sebelah kerangka, mencolek kepala tengkorak dengan jarinya. Tengkorak kepala itu langsung miring ke sisi lain, tak menunjukkan gerakan sama sekali.
Han Sen pun mendekat sambil tersenyum: "Baju yang dikenakannya pasti barang bagus. Lagipula menyimpannya percuma baginya. Lebih baik berbuat kebaikan dan mengumpulkan pahala dengan meninggalkannya untuk kita gunakan. Kita juga bisa menguburkannya dengan layak, jadi tidak saling berutang."
Sambil berkata demikian, Han Sen mulai meraba tubuh tengkorak itu. Selain baju, dia ingin mencari tahu apakah ada harta mutan lain di sana.
Tidak ada harta mutan yang ditemukan, namun di kantong dalam baju, jarinya menyentuh sesuatu. Untuk sementara tidak bisa dikenali, Han Sen memasukkan tangannya dan mengeluarkan benda itu.
"Ternyata adalah sesuatu yang mirip kacamata... Jangan-jangan ini sama dengan kacamata ras kristal?" Han Sen mengamati kacamata di tangannya.
Desain kacamatanya agak menyerupai kacamata hitam gaya katak, namun kaca kecilnya terlihat hitam pekat, sama sekali tidak transparan, bagaikan grafit.
Han Sen mengambil kacamata itu dan memakainya di wajah. Seketika, gelombang kekuatan misterius muncul di permukaan kacamata, namun gelombang itu hanya menyebar ke sekeliling tubuh Han Sen tanpa melakukan propagasi ke luar.
"Lho... Ayah... Kenapa kamu berubah jadi gorila..." Mata Bao'er membelalak menatap Han Sen.
Melalui kacamata hitam besar yang tak tembus pandang itu, Han Sen justru bisa melihat segala fasilitas seperti di luar. Saat melihat raganya sendiri, memang benar telah berubah menjadi gorila besar, hatinya dipenuhi keraguan dan kecemasan.
Setelah melepas kacamata hitam besar itu, raganya langsung kembali normal.
"Ini ternyata sebuah senjata citra ilahi!" Han Sen mengamati kacamata hitam di tangannya dengan seksama. Tiba-tiba kacamata itu menghilang dan muncul di laut jiwanya.
Namun berbeda dengan Senjata Dewa Tianluo, senjata citra ilahi ini seharusnya dibuat secara artifisial menggunakan citra ilahi dari dewa yang dibunuh, mirip seperti sarung pisau langit di masa lalu, bukan senjata citra ilahi yang diperoleh langsung.
"Ayah, biar aku mencoba! Aku juga mau jadi gorila..." kata Bao'er dengan wajah penuh harapan sambil mendekati Han Sen.
Han Sen menyodorkan kacamata itu ke Bao'er. Setelah memakainya, postur tubuhnya berubah - bukan menjadi gorila, melainkan seekor lebah seukuran tinju yang mengepakkan sayap sambil berdengung mengitari Han Sen.
"Ayah, aku jadi lebah kecil!" seru Bao'er riang sambil terus terbang.
"Kacamata ini ternyata memiliki kemampuan transformasi, bisa dibilang cukup brilian." Han Sen sedang berpikir, lebah kecil yang diubah Bao'er jatuh ke tanah, tiba-tiba berubah menjadi kelinci putih kecil.
"Ayah, aku berubah jadi kelinci putih lagi!" seru Bao'er dengan girang, tubuhnya melompat ke udara dan berubah lagi menjadi burung merpati putih.
Hanya dalam sekejap, Bao'er telah berganti-ganti beberapa bentuk, membuat Han Sen tertegun seperti patung: "Gila, benda ini mirip 72 Transformasi Sun Wukong!"
Setelah menyaksikan beberapa saat, Han Sen mulai tumpul perasaannya. Ia kembali berjongkok dan mulai merampas jubah dari kerangka itu. Jubah yang tetap utuh dalam aliran cahaya ungu ini pasti barang bagus.
“Jangan-jangan ini juga senjata citra ilahi?” Han Sen melepas jubah itu, tidak langsung mencoba memakainya. Setelah melihat kerangka tersebut, dia menggali lubang di gletser dan menguburkan tulang belulang itu. Dengan menyatukan kedua telapak tangan dia bersembah sambil berkata: "Aku menguburkanmu... eh... di dalam es agar tidak tergeletak begitu saja. Barang-barangmu kami ambil sebagai ucapan terima kasih. Mulai sekarang kita tidak saling berutang budi..."
