"Beri aku dua potong..." Han Sen buru-buru berkata melihat Bao'er yang sibuk menyantap daging sambil sesekali meneguk anggur, mulutnya berleleran minyak.
"Potongan besar ini untuk Ayah..." Bao'er menyodorkan sepotong besar daging ke mulut Han Sen.
"Bao'er memang sayangku." Han Sen langsung menyambar daging itu dengan tangan dan mengunyahnya. Aromanya begitu menggoda, hampir membuatnya tergigit lidah sendiri.
"Ayah minum, anggurnya juga enak." Bao'er mengulurkan botol minuman ke mulut Han Sen.
Han Sen meneguk anggur itu. Rasanya manis segar bagai air jernih, meski kadar alkoholnya kurang kuat, tapi sangat cocok untuk teman makan daging.
"Gen ilahi+1." Di otak Han Sen kembali mendengar pemberitahuan suara.
"Gila, alkohol ini juga bisa menambah gen ilahi?" Hati Han Sen kembali berdebar. Setelah memakan sepotong daging tak ada pemberitahuan, tapi saat meneguk alkohol, ternyata muncul petunjuk. Jelas minuman ini tidak biasa.
"Nasib... benar-benar beruntung..." Hati Han Sen dipenuhi kegembiraan luar biasa.
Pasangan ayah-anak ini terus menyantap hidangan. Tak lama kemudian seluruh daging dalam wajan dan alkohol dalam botol habis dilahap. Bao'er bahkan langsung mengangkat wajan batu, meneguk seluruh kuah daging sekaligus sambil mempertahankan gengsi. Di akhir, ia menjilat sisa kuah di sudut bibirnya dengan lidah, tampak masih belum puas.
Meski Han Sen juga belum kenyang, gen ilahinya sudah mencapai nilai maksimal. Ia pun tak lagi serakah.
Han Sen puas bersandar di pagar batu, sementara Bao'er berbaring di sisinya dengan perut kecil menggembung. Keduanya menunjukkan ekspresi senang.
"Alkohol dan daging ini nikmat sekali. Sayang kita tidak tahu cara memasaknya, kalau tidak, pulang nanti pasti kita masak beberapa panci dan makan setiap hari sampai kenyang," kata Han Sen.
"Kalau bisa makan daging seenak ini dan minum alkohol selezat ini setiap hari, aku lebih memilih tinggal di sini seumur hidup," ujar Bao'er dengan wajah penuh kerinduan.
"Tidak perlu buru-buru. Ayah sudah hafal rasanya. Nanti setelah pulang, kita suruh koki rumah perlahan mencoba, pasti bisa menciptakan cita rasa seperti ini," pikir Han Sen. Jika satu koki tidak bisa, ia akan kumpulkan semua koki terbaik Alliance, tidak mungkin tidak berhasil.
"Hm-hm, nanti aku mau makan daging dan minum alkohol setiap hari!" Bayangan kehidupan indah itu membuat wajah Bao'er dipenuhi harapan.
Ayah dan anak perempuan itu bersandar di pagar batu sambil berimajinasi tentang hari-hari indah makan daging potongan besar dan minum alkohol sepuasnya di masa depan, sekaligus beristirahat sebentar. Tak tahu apa yang akan mereka temui selanjutnya, atau apakah masih ada kesempatan untuk beristirahat lagi.
Tempat aman seperti ini sangat langka, tidak terlambat untuk melanjutkan perjalanan setelah memulihkan semangat sepenuhnya.
Terutama Bao'er, penggunaan kacamata hitam besar membutuhkan pengeluaran energi terlalu besar. Beristirahat lebih lama tentu lebih baik.
Tapi setelah makan daging, stamina fisiknya pulih signifikan dan semangatnya kembali berseri, sudah tidak terlihat wajah lelahnya lagi.
Han Sen bersandar di pagar batu sambil menutup mata beristirahat, sementara Bao'er menyandarkan kepala di paha ayahnya sambil mengusap-usap perut kecilnya, terlihat kekenyangan.
Ikan Mas Besar dan ikan mas kecil terus menunggu di luar paviliun batu. Meski ikan mas kecil juga mengidam-idamkan, panci batu itu terlalu kecil. Hanya ada satu panci kecil yang bahkan tidak cukup untuk Han Sen dan Bao'er berdua. Dengan postur sebesar ikan mas kecil, bahkan jika diberikan semuanya, itu tidak akan cukup menjadi camilannya. Jadi Han Sen pun tidak membagikannya.
Tiba-tiba, ujung hidung Han Sen kembali mencium aroma daging. Dalam hati berpikir: "Daging ini benar-benar bukan main. Sudah lama habis dimakan, ternyata masih ada aroma daging tersisa."
Tapi seketika ekspresi Han Sen berubah. Karena di telinganya terdengar suara air mendidih bergolak, meski sangat samar tapi nyata adanya.
Han Sen langsung membuka mata dan memandang ke arah panci batu di atas meja batu. Di dalam panci yang bahkan kuahnya sudah diminum habis oleh Bao'er itu, ternyata muncul kembali satu panci penuh daging.
Melihat kuah daging bergolak, daging merah berkilau dalam panci memancarkan aroma menggoda yang menyebar, persis seperti saat Han Sen dan rombongannya baru tiba.
"Ada satu panci daging lagi!" seru Bao'er dengan wajah takjub dan girang menatap panci batu.
Han Sen tidak segembira itu. Ini jelas-jelas tidak normal. Panci batu itu berada di depan mata mereka, bagaimana mungkin tiba-tiba muncul panci daging baru?
Hatinya berdebar, Han Sen cepat-cepat mengambil botol minuman di atas meja. Ekspresinya langsung berubah.
Benar saja, botol yang sudah dihabiskan ayah-anak itu kini terisi penuh kembali dengan alkohol.
"Ada apa ini?" Han Sen kembali menggunakan teknik Bidang Dongxuan-nya untuk memindai seluruh area suci berulang kali, tapi tetap tidak menemukan penjelasan.
Sorot mata Han Sen tertuju pada patung giok Wan'er. Sosoknya masih duduk bersandar di pagar seperti biasa, pandangannya mengarah ke taman di luar sambil memegang secangkir anggur di tangan tanpa perubahan sedikit pun.
"Benar-benar aneh, siapa yang bisa menyelesaikan semua ini di depan mata saya?" Han Sen mengerutkan kening tanpa bicara, sementara Bao'er sudah berlari ke meja batu dan mulai menyendok daging untuk dimakan.
Han Sen hendak memanggil Bao'er untuk menghentikannya makan, tiba-tiba terdengar suara familiar dari pintu masuk Taman Suci.
"Han Sen, kenapa kamu ada di sini?" Seorang pria berjalan masuk ke Taman Suci sambil berbicara.
Han Sen berbalik dan melihat bahwa yang masuk ke Taman Suci ternyata Yang Yunsheng, salah satu dari empat petarung kuat termitosis Klan Huangji yang mengikuti Gu Yuan.
"Kenapa kamu juga datang ke sini? Di mana Bangsawan Agung Gu Yuan?" Han Sen memandang Yang Yunsheng dengan kebingungan. Di luar Taman Suci sudah tidak ada orang lain.
Yang Yunsheng dengan wajah masam berkata: "Jangan ditanya. Setelah Bangsawan Agung membawa kami masuk ke kegelapan, awalnya kami mengira akan segera mencapai lampu panjang di seberang. Tapi siapa sangka setelah berjalan ratusan li, ternyata kami masih belum bisa keluar dari kegelapan. Kemudian kami mendengar sesuatu yang mendekat dalam kegelapan, lalu ada sesuatu yang menyerang Payung Cahaya. Bangsawan Agung menyuruh kami membawa payung itu sambil kabur, sementara dia sendiri menerjang keluar payung untuk menghentikan 'barang' itu."
Han Sen tidak bicara. Dia tahu pasti masih ada kelanjutan cerita, kalau tidak, Yang Yunsheng tidak mungkin datang ke sini sendirian.
Yang Yunsheng melanjutkan: "Kami berempat menopang Payung Cahaya, terus berlari ke arah lampu terang. Tapi siapa sangka belum jauh berlari, ada lagi sesuatu yang menyerang payung itu. Hanya beberapa kali serangan, payung itu robek. Aku bahkan tidak sempat melihat jelas wujud monster itu, tiba-tiba terdorong oleh aliran kekuatan dan terlempar ke kegelapan. Aku terus tenggelam, seolah jatuh ke dalam Abyss."
"Tenaga dalam kegelapan itu benar-benar seperti mesin penghancur batu, aku mengerahkan seluruh tenaga tapi tetap sulit bertahan. Bahkan harta pelindungku tak lama kemudian sudah hancur lebur. Awalnya kupikir, kali ini pasti mati sudah. Tapi siapa sangka, tempat aku jatuh ternyata ada sebuah lampu panjang. Aku berdiri di bawah cahaya lampu itu, baru bisa bertahan. Selain itu, selama ada lampu panjang, makhluk dalam kegelapan itu tak berani menampakkan diri. Tapi aku bisa merasakan, dia masih mengintip diam-diam dari kegelapan, hanya tak berani memasuki area cahaya." Kata Yang Yunsheng sampai di sini, tak tahan lagi menggigil. Sorot matanya melirik ke luar Taman Suci, seolah ada monster yang mengawasinya.
