Kekuatan Blue Blood memenuhi seluruh tubuh, membuat Han Sen merasakan keanehan yang sangat ganjil.
Tenaga Blue Blood sangat kuat, tapi sekaligus memberi perasaan terasingkan pada Han Sen. Semua aturan dan kekuatan seolah menolak tubuhnya, seperti dia dikucilkan dari alam semesta ini.
"Sialan..." Han Sen sangat tidak menyukai sensasi tak terkendali ini. Dia mati-matian ingin melawan kekuatan Blue Blood, tapi tenaganya sendiri tidak sekuat itu. Perlahan tubuhnya terkikis oleh Blue Blood, semakin tak bisa dikendalikan.
Sebenarnya tidak sepenuhnya tidak terkendali. Selama dia patuh pada hasrat Blue Blood, masih bisa mengontrol tubuh. Tapi keinginan intrinsik Blue Blood itu sendiri adalah hal yang tak diizinkan Han Sen.
Tulang Giok dan Kulit Es... tidak berpengaruh... Jing Dongxuan... tidak bisa dioperasikan...
Han Sen terus-menerus mengubah beberapa teknik gen, tapi Dia sama sekali tidak bisa merasakan keberadaan tenaga itu, bahkan Genetika Naratif juga tidak menunjukkan respons sama sekali.
Ingin masuk ke status transformasi varietas langka, tetap tidak ada respons dari raga.
“Wan'er masih berada di dalam Menara Takdir Langit，kondisi raga saya saat ini sudah kehilangan kendali lagi，tidak bisa membawa Wan'er keluar. Tidak ada cara untuk mempertahankan status Super God dalam waktu lama，tapi dalam situasi sekarang juga tidak ada pilihan lain，terpaksa harus mencobanya.” Han Sen sedang bersiap menggunakan tubuh Super God，tiba-tiba merasakan panas membara menjalar dari dalam raganya.
Han Sen merasakan kekuatan panas membara itu seolah-olah membakar seluruh tulang punggungnya hingga memerah, rasa nyeri yang hampir membuatnya berteriak. Saat ini dia sudah tidak bisa menggunakan Jing Dongxuan, juga tidak bisa beradaptasi dengan apa yang sebenarnya terjadi pada punggungnya.
Namun setelah panas membara ini muncul di punggungnya, kekuatan Blue Blood ternyata tidak lagi terus mengikis tubuhnya. Terutama di area punggung, kekuatan Blue Blood konsisten gagal mendominasi wilayah itu. Begitu darah biru mengalir masuk ke cakupan punggung, seolah-olah langsung menguap oleh panas tersebut.
Meski tidak bisa sepenuhnya mengusir kekuatan Blue Blood, setidaknya Han Sen merasa sedikit lebih baik. Dengan susah payah, dia mengeluarkan sebuah cermin, melepas jubah birunya, dan menampakkan punggung telanjangnya yang diarahkan ke cermin.
Begitu melihat punggungnya sendiri di cermin, hati Han Sen langsung berdesir. Di atas punggungnya terpampang warna merah darah yang membentuk pola tato Kucing Darah Sembilan Nyawa, hampir sama persis dengan tato di punggung Zero.
"Kenapa tato Kucing Darah Sembilan Nyawa ini muncul lagi? Bukankah sudah kupurnakan?" gumam Han Sen dengan keraguan tersembunyi di hatinya.
Dulu ketika liontin Kucing Darah Sembilan Nyawa menyatu dengan tubuhnya, tato ini pernah muncul di punggungnya. Tapi seiring waktu, tato itu terserap dan menghilang saat dia mempelajari Hidup Darah Sutra Saraf.
Kini saat Blue Blood menguasai tubuh Han Sen, tato Kucing Darah Sembilan Nyawa yang sudah lenyap itu ternyata muncul kembali. Tato ini bahkan berhasil menahan kekuatan Blue Blood, mencegahnya menguasai seluruh tubuhnya.
"Dulu liontin Kucing Darah Sembilan Nyawa memang bisa menetralkan Blue Blood. Meski sudah kuserap, efeknya seharusnya masih ada. Tapi kekuatan Blue Blood sang Kaisar Manusia terlalu kuat. Sekalipun ada kekuatan Kucing Sembilan Nyawa, tetap tak bisa mengusir Blue Blood sepenuhnya dari tubuhku." Han Sen membuat hipotesis dalam hati.
Baik kekuatan Blue Blood maupun tato Kucing Darah Sembilan Nyawa, semuanya bisa diaktifkan oleh Hidup Darah Sutra Saraf. Namun ironisnya, kedua kekuatan ini justru saling menetralkan satu sama lain.
Hanya tenaga tato Kucing Darah Sembilan Nyawa yang sedikit melemah, hanya terkonsentrasi di punggung, sementara Blue Blood menguasai bagian tubuh lainnya. Dua kekuatan ini mengalami kebuntuan di tubuh Han Sen, tak ada yang bisa sepenuhnya menguasai raganya.
Han Sen nyaris bisa mengendalikan raganya sendiri, berdiri tersandung-sandung, namun sama sekali tak tahu di mana dirinya berada. Saat ini dia juga tak bisa menggunakan teknik perpindahan antarbintang, bahkan ingin kabur pun mustahil.
"Di sana ada planet kehidupan?" Sorot mata Han Sen menyapu pandang sekeliling, menemukan sebuah planet raksasa yang letaknya tak jauh dari planet ini. Ukurannya terlihat lebih dekat daripada jarak Bulan ke Bumi, bahkan bisa jelas terlihat pegunungan dan pepohonan raksasa di permukaannya.
Setelah menatap beberapa saat, Han Sen menemukan di permukaan planet itu ternyata terdapat bayangan bangunan-bangunan yang telah tergerus waktu.
Memaksakan diri mengendalikan tubuh untuk terbang menuju planet itu, sekarang Han Sen hanya bisa mengandalkan kekuatan fisik murni untuk terbang. Saat ini dia ingin mencari informasi dulu, di mana sebenarnya posisi ini berada.
Blue Blood dan darah merah di dalam tubuhnya saling terkikis tanpa henti, rasa sakit yang luar biasa itu ditambah ketidakmampuan Han Sen mengontrol tubuh dengan lancar. Bahkan penerbangan jarak pendek seperti ini pun dilakukan dengan limbung, seolah setiap saat bisa terjatuh.
Dor!
Saat memasuki lapisan atmosfer planet itu, Han Sen tiba-tiba ditarik oleh gaya gravitasi planet. Tubuhnya tak terkendali dan terjatuh.
Untungnya fisiknya cukup kuat. Jatuh dari ketinggian dan menghujam hutan pegunungan, meruntuhkan area luas pepohonan, tapi dirinya sama sekali tidak terluka.
Dari tanah, Han Sen bangkit dan terbang menuju bayangan bangunan di puncak gunung yang terlihat. Baru berhasil mencapai depan bangunan setelah beberapa saat. Namun, ekspresinya langsung berubah kecewa begitu melihat wujud asli struktur tersebut.
Bangunan kayu bergaya kuno itu terlihat seperti rumah besar zaman dulu. Dari material dan teknik konstruksinya yang sederhana, tingkat teknologi planet ini kemungkinan besar belum mencapai era antariksa.
"Mengingat sudah sampai di sini, semoga bisa mendapatkan sedikit informasi." Han Sen mendarat di depan gerbang utama. Saat hendak mengetuk, pintu gerbang ternyata terbuka sendiri.
"Sudah lama menantimu. Masuklah." Seorang lansia tersenyum manis dari balik pintu yang terbuka, lalu langsung berjalan masuk ke dalam rumah tanpa menunggu respons.
"Siapa kau?" Han Sen mengerutkan kening halus.
"Bicaralah di dalam. Dalam kondisimu sekarang, tak ada lagi yang perlu ditakuti." Si lansia terus berjalan sambil melempar jawaban tanpa menoleh.
"Han Sen berpikir, perkataan anggota senior itu memang benar. Dia sudah dalam keadaan seperti ini, masih ada apa yang perlu ditakutkan?"
Melangkah masuk ke dalam rumah tua, mengikuti anggota senior hingga masuk ke ruang tamu.
Ruang tamu ini sangat lapuk. Hanya ada satu meja delapan dewa yang masih terpelihara utuh, meski cat merah di permukaannya sudah mengelupas hingga sebagian besar menunjukkan warna asli kayu, terlihat sangat kusam.
"Minumlah." Anggota senior itu duduk di atas meja kayu, melemparkan labu alkohol di sebelahnya kepada Han Sen.
Han Sen menangkap labu alkohol itu tanpa bicara. Membuka tutupnya lalu meneguk isinya. Dengan kondisi fisiknya yang sekarang yang sangat kuat, terutama dalam status Blue Blood, mungkin tidak ada racun yang bisa melukai raganya, jadi tidak ada keraguan.
"Katakan langsung apa maumu." Han Sen melemparkan kembali labu alkohol itu, lalu duduk di ambang pintu dengan sikap "babi mati tidak takat air panas".
Pemain senior itu juga meminum seteguk alkohol, setelah ditelan, dia memandangi Han Sen sambil bertanya dengan tersenyum manis: "Kau percaya takdir?"
"Percaya, tapi tidak sepenuhnya." Han Sen menjawab.
"Apa maksudmu?" si anggota senior bertanya penuh minat.
"Memang banyak hal dalam takdir yang sudah bawaan lahir, tapi kalau ingin dapat lebih, harus berusaha sendiri." Han Sen berkata.
Si anggota senior terus mengawasi Han Sen dan bertanya: "Bagaimana jika kubilang, kau dan keluargamu ditakdirkan untuk mati semua, percara tidak?"
