"Memang ini adalah kuil Anak Dewa Yao Lian, mengapa di dunia ini juga ada kuil Anak Dewa Yao Lian? Sebenarnya seperti apa hubungan antara kuil-kuil di dua dunia ini?" Han Sen bergolak berbagai pemikiran dalam hatinya.
Sebelumnya dia mendengar dari Guru Yang bahwa setiap kota di dalam Kekaisaran Alam Semesta Raya memiliki sebuah kuil, dan kuil tersebut telah ada terlebih dahulu sebelum kota manusia dibangun di sekitarnya.
Kuil-kuil di dunia ini memiliki otoritas tertinggi, tidak hanya melindungi kota manusia tetapi juga mampu memberikan kekuatan darah yang sangat kuat kepada manusia.
Saat Han Sen tengah berpikir di samping, dia melihat seorang rakyat biasa yang sedang mengantri di paling depan, di bawah pengawasan pasukan, memasuki dalam kuil. Ketika sampai di depan patung Anak Dewa Yao Lian, orang itu langsung berlutut ke tanah dengan suara "plung", persis seperti umat beriman yang sedang berdoa kepada Tuhan, terlihat sangat beriman.
"Remaja itu adalah seorang remaja belasan tahun, setelah selesai berdoa baru kemudian bangkit, berjalan menuju altar patung dewa, mengambil pisau belati di atas altar, menggores jarinya sendiri, meneteskan setetes darah ke dalam tungku batu ungu di depan altar, lalu dengan wajah tegang penuh harapan menatap tajam tungku tersebut.
Namun setelah menunggu sebentar, tungku itu sama sekali tidak menunjukkan perubahan. Ekspresi harapan remaja itu perlahan berubah menjadi keputusasaan, tubuhnya gemetar lemah, kedua kakinya bergetar hingga hampir lunglai di lantai.
"Tidak mungkin... Aku pasti memiliki darah dewa... Pasti ada kesalahan... Pasti ada kesalahan..." Remaja itu seperti orang gila kembali mengambil pisau belati, menggores tangannya berkali-kali, memeras darah ke dalam tungku hingga percikan merah berceceran ke mana-mana.
Tapi tungku batu ungu itu tetap tak bereaksi sedikit pun. Otak remaja itu tampaknya sudah tak waras, bahkan menggunakan pisau untuk menyayat pergelangan tangannya sendiri. Arteri langsung terputus, darah segar mengalir deras seperti air mata air masuk ke dalam tungku.
"Aku pasti punya darah Tuhan... Pasti ada..." Sorot mata merah darah remaja itu memancar, wajahnya mengerikan, tatapannya tak lepas dari tungku batu.
Namun tungku itu tetaplah benda mati. Sekalipun remaja itu akhirnya mengucurkan darah terakhirnya dan tumbang ke tanah, tak ada reaksi apa pun.
Tungku tetap menjadi tungku. Remaja itu sudah tak sanggup bertahan dan pingsan di tanah. Luka besar di pergelangan tangannya masih mengucurkan darah. Semua orang menyaksikan adegan ini dengan tatapan tumpul, seolah sudah terlalu sering menyaksikan kegilaan semacam ini.
Remaja tak sadarkan diri itu dikenakan oleh pasukan seperti menarik anjing sekarat ke luar kuil. Di sudut lapangan kosong, tak ada yang menghiraukan apakah ia hidup atau mati.
Gadis remaja ber-Armor Kain yang berada di peringkat kedua, tampak ketakutan, raganya gemetar sambil memasuki kuil, sesekali masih melirik ke belakang.
Berbeda dengan remaja itu, ada beberapa anggota keluarga di luar yang memberi semangat pada gadis ini. Mereka terus-menerus melambaikan tangan di luar kuil. Akhirnya gadis itu mengumpulkan keberanian, mendekati altar dewa, lalu bersujud dan berdoa di depan patung Anak Dewa Yao Lian seperti yang dilakukan remaja sebelumnya. Kemudian ia mengeluarkan jarum portabel, mengatupkan giginya sambil menusukkan jarum itu ke jarinya sendiri, meneteskan setetes darahnya ke dalam tungku batu ungu.
Tak lama setelah setetes darah gadis itu masuk, cahaya ilahi berkilauan tiba-tiba memancar dari tungku batu ungu tersebut. Cahaya ungu perlahan menjulang dari dalam tungku, bagaikan gumpalan energi ungu yang perlahan terkristal di atas tungku, membentuk bayangan bunga teratai ungu.
Gadis itu melihat bayangan bunga teratai ungu, air matanya langsung mengalir bahagia. Di luar, orang tua dan keluarganya bergantian bersujud syukur kepada Dewa Yao Lian sambil terisak gembira.
Bayangan teratai ungu terlepas dari tungku batu, mendarap di dahi gadis itu. Seperti mata air, ia meresap masuk membentuk tanda bunga ungu bercahaya yang perlahan menghilang.
"Selamat, nona telah memperoleh darah Dewa Yao Lian." Pasukan yang awalnya bermuka masam kini memasang wajah tersenyum, mengantarkan gadis itu dengan hormat - kontras menyolok dengan perlakuan terhadap remaja sebelumnya.
"Guru Yang, seberapa langkahkah darah suci yang diperoleh gadis itu di Kota Dewa Abadi?" Han Sen menoleh ke Guru Yang di sampingnya sambil bertanya.
Yang Fuzi menjawab: "Kuil dibagi menjadi empat level: tingkat sabotase, bencana, kehancuran, dan restar. Semakin tinggi level kuilnya, semakin kuat darah ilahi yang diberikan. Dewa Yao Lian termasuk dewa tingkat sabotase dengan fenomena ilahi paling rendah berupa cahaya bayangan teratai. Ini bisa disebut garis keturunan dewa yang relatif primitif. Tapi justru dengan ini seseorang baru bisa memulai jalan kultivasi untuk menyatu dengan gen telur, serta memiliki kemungkinan dan kesempatan. Ini juga salah satu syarat wajib untuk menjadi bangsawan."
Di sini Yang Fuzi menghela nafas: "Terlihat sepele, tapi kenyataannya sebagian besar manusia tak bisa melewati ambang ini. Perbedaan tipis ini bagaikan pemisah Surga dan Neraka."
Han Sen mengangguk pelan. Meski gadis itu mendapatkan darah anak dewa Yao Lian, ia memperhatikan tidak ada perubahan signifikan pada raga maupun tenaga sang gadis.
Pemberian darah dewa ibarat sebuah kunci, tidak berhubungan langsung dengan kekuatan fisik manusia. Yang benar-benar menentukan kemampuan manusia sebenarnya adalah telur gen dan benih gen tersebut.
"Kenapa ada orang tua sepuh yang masih mengikuti tes aktivasi darah?" tanya Han Sen dengan heran saat melihat pria berambut putih masuk ke kuil.
Guru Yang melirik dan menjelaskan: "Karena kekuatan ilahi tiap kuil berbeda, kriteria pemilihannya pun bervariasi. Jika tidak mendapat pengakuan dewa di Kuil Dewa Yao Lian, mencoba kuil lain mungkin memberi kesempatan walau persentase keberhasilannya umumnya sangat kecil. Syarat seleksi mayoritas dewa hampir serupa, tidak akan ada penyimpangan signifikan."
Han Sen mengamati lebih lama. Selain gadis tadi, beberapa manusia berturut-turut masuk namun tak satu pun berhasil memperoleh darah dewa yang diberikan oleh para dewa.
“Di era dulu, sepertinya Qin Xiu tidak mendapatkan darah dewa, melainkan Wan'er yang memberikan darah dewanya sendiri kepadanya. Di alam semesta seperti ini, mustahil melatih diri tanpa darah dewa. Ini pasti hal yang sangat menyedihkan?” Han Sen terus menyaksikan dari samping, namun tetap tidak memahami hubungan sebenarnya antara darah dewa dengan pelatihan manusia.
“Yang Mulia, untuk apa ini?” Tanya Yang Fuzi dengan terkejut melihat Han Sen tiba-tiba mengantri di barisan pasukan.
“Kesempatan langka, aku juga ingin mencoba tes ini.” Jawab Han Sen sambil tersenyum.
“Anda...” Yang Fuzi ingin membantah, namun segera menelan kata-katanya kembali.
Setelah beberapa saat mengantri, terdengar lagi teriakan gembira dari depan. Seorang pria dengan wajah berseri-seri menunjukkan dua tangkai teratai ungu kembar yang muncul di tungku batu akibat darahnya.
"Aku akan melihat, bagaimana reaksi darahku terhadap kekuatan ilahi Sang Anak Dewa Yao Lian." Han Sen bergumam dalam hati.
Di sisi alun-alun, Ning Jing mengawasi semua ini. Melihat Han Sen memasuki antrian, awalnya dia terlihat kaget, tapi segera tersenyum lebar: "Sedang bingung cara menyelidiki latar belakangnya, dia malah sendiri pergi tes di dalam kuil. Ini kesempatan yang sempurna."
