Han Sen sekarang akhirnya mengerti kenapa si botak itu terus mengawasi permukaan air tanpa bergerak. Memandangi bayangannya sendiri di air, hanya satu yang dirasakannya sekarang.
"Bersiap dirilah, gantengnya!" Han Sen tahu ada yang tidak beres, tapi sekuat apapun matanya tak bisa berpaling dari pantulan dirinya. Semakin dilihat semakin dicintai, bagaikan bertemu simpanan yang dinanti-nantikan.
Han Sen dan si botak berjongkok berdampingan di tepi sungai, menunduk mengamati dengan gesit, seolah dirasuki ilmu hitam.
"Ini tidak normal... benar-benar tidak normal... Harus berhenti memandang... Tapi sungguh mempesona..." Hati Han Sen terbelah, namun Kehendak-nya yang kuat ternyata tak mampu menahan godaan untuk terus menatap.
Han Sen sadar ini bukan kelemahan mentalnya. Sesungguhnya ada kekuatan gaib yang mengikatnya, mendistorsi Kehendak-nya hingga membuatnya jatuh cinta pada bayangan diri sendiri di air.
Sekarang satu-satunya hal yang membuat Han Sen lega adalah, untung dia tidak jatuh cinta pada bayangan si botak.
“Setelah matahari terbenam nanti, jika tidak ada cahaya, seharusnya bayangan di air tidak akan terlihat lagi.” Di hati Han Sen masih tersisa secercah kejernihan pikiran, tapi dia tak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari keadaan ini.
Seiring berjalannya waktu, dua orang itu terus berjongkok di tepi permukaan air menyaksikan matahari terbenam, kondisi di luar pun perlahan-lahan gelap gulita.
Han Sen mengira situasi akan membaik, tapi siapa sangka Planet Gu Ya tidak hanya memiliki bulan, malah memiliki tiga bulan perak yang menggantung di langit, menerangi malam hingga bayangan di sungai tetap jelas terlihat.
Yang lebih mengerikan, kecintaan Han Sen pada bayangan itu semakin tak tertahankan, bahkan muncul dorongan untuk memeluk bayangan tersebut.
Han Sen baru sebatas dorongan, tapi si botak sudah berdiri dan membuka kedua tangannya menuju sungai, perlahan melangkah ke dalam air dengan wajah yang ternyata masih tersenyum.
Kehendak Han Sen masih bisa bertahan dengan upaya setengah hati, memaksakan diri menggunakan pandangan samping sudut matanya untuk mengawasi si botak di sebelah. Terlihat dia terus melangkah masuk ke dalam sungai, wajahnya menyungging senyum polos, langkah demi langkah menuju kedalaman aliran air.
Air jernih perlahan menyelimuti lutut hingga pahanya. Han Sen menyaksikan si botak semakin tenggelam ke dalam air. Ekspresi wajahnya tetap tak berubah, senyumnya justru semakin berkilauan, seolah hendak memeluk gadis idaman yang dinantikannya.
"Pasti ulah benih gen! Benih gen di alam semesta ini memang agak mistis. Benda apa ini sebenarnya?" Meski paham dalam hati, Han Sen tak kuasa menahan diri untuk bangkit dan mulai melangkah ke dalam sungai.
Sadar sepenuhnya itu hanya bayangan, tahu itu tak seharusnya, tapi Han Sen begitu rindu memeluk pantulan di air itu. Seolah hanya dengan cara inilah penderitaan rindu dalam hatinya bisa terobati sebagian.
Perasaan ini persis seperti adegan klise dalam sinetron-sinetron murahan, meski tahu lawan adalah pembunuh ayahnya sendiri, tapi tak kuasa jatuh cinta padanya. Seperti ngengat yang terbang menghampiri api, walau sadar itu kematian, tetap tak ada penyesalan.
"Apakah ini ulah Gong Shujin? Tapi tidak mungkin. Kalau benar dia, sudah dari dulu bisa muncul dan membunuhku. Aku yang sekarang terikat oleh kekuatan mengerikan ini sama sekali tak punya kemampuan melawan." Berjuta-juta pikiran melintas di benak Han Sen, tapi tubuhnya sudah melangkah masuk ke dalam sungai.
Air sungai yang dingin tak mampu meredakan kobaran api di hatinya. Langkah demi langkah ia terus menyusuri kedalaman sungai, menyaksikan air yang sudah mencapai paha, namun sulit menghentikan diri sendiri.
Ingin memanggil gen-gen, tapi sama sekali tak berguna. Bagaimana mungkin orang yang sedang dilanda asmara bisa menghunus pedang pada kekasihnya? Bukan tak mampu, tapi dari lubuk hati paling dalam, sama sekali tak ada keinginan untuk melakukannya.
Meski Han Sen tahu keengganan ini bukan berasal dari kehendak aslinya, namun tak bisa ia lawan.
Si botak lebih dulu masuk ke air dan berjalan lebih cepat, saat ini sungai telah menenggelamkan kepalanya yang plontos.
Han Sen tahu DIA PASTI MATI. Raga manusia di alam semesta ini sendiri tidak terlalu tangguh, tanpa bantuan benih gen, mustahil baginya bertahan lama di dalam air.
Han Sen sendiri tidak masalah. Sekalipun tergoda masuk ke air, ia tetap bisa bertahan hidup dengan baik. Membunuhnya di dalam air adalah hal yang mustahil.
"Akan kulihat, taktik apa lagi yang kau miliki." Langkah demi langkah Han Sen memasuki sungai, tak lama kemudian air pun membasahi matanya, membuatnya tak lagi bisa melihat bayangannya sendiri.
Tapi hilangnya bayangan tak memulihkan kebebasannya. Di kedalaman sungai di hadapannya, matanya justru menangkap siluet yang sama persis dengannya melayang di air, tersenyum mengawasinya dari balik riak sungai.
Han Sen tak bisa mengontrol langkahnya yang bergerak menuju sosok itu, langkah demi langkah menuju kedalaman sungai.
Han Sen melihat botak yang berjalan di depan, ekspresinya telah berubah masam. Mulutnya terus mengeluarkan gelembung air, jelas telah menelan banyak air. Tanpa kemampuan Napas Air, jika terus begini dia akan segera tenggelam.
Meski demikian, senyum bahagia tetap melekat di wajah botak. Namun di saat seperti ini, senyum itu terlihat mengerikan bagai senyum dewa kematian.
Han Sen mengerutkan kening halus. Meski tidak saling mengenal, selama bukan pembunuh keluarganya, dia enggan membiarkan sesama manusia mati di hadapannya.
Saat Han Sen masih ragu apakah akan memaksakan diri merobek daya tekan dunia ini, tiba-tiba dia melihat cahaya aneh menyala di depan.
Han Sen memusatkan pandangannya. Di dasar sungai terlihat cahaya redup yang samar, seolah ada batu permata raksasa memancarkan sinar melankolis dari kedalaman.
Dan arah yang dirayu oleh Bayangan di dalam air untuk Han Sen tuju, tepat menuju cahaya redup yang samar di dasar sungai itu.
Han Sen menatap dengan seksama cahaya redup itu, perlahan melihat jelas kebenaran mutlak di baliknya—ternyata itu adalah cangkang besar berwarna putih susu semi-transparan, terlihat seperti ukiran giok kristal.
Saat ini, cangkang besar itu telah terbuka. Ketika Han Sen melihat ke dalam cangkang, bayangan di seberang juga masuk ke dalamnya, seakan menyatu dengan siluet di dalam cangkang, membuat Han Sen memindahkan seluruh rasa mencintaimu ke siluet itu.
Han Sen akhirnya melihat jelas sosok di dalam cangkang itu: seorang wanita montok dengan tubuh indah terbaring di dalam cangkang, satu tangan menopang pipi yang memikat jiwa. Hanya mengenakan kain tipis yang hampir transparan, berkibar-kibar di dalam air, membuat tubuh montoknya yang memikat semakin penuh pesona.
Wanita itu hanya berbaring miring di dalam cangkang sambil mengawasi Han Sen, tak sepatah kata pun terucap dan tak ada gerakan apapun. Namun Han bagaikan ngengat mendekati api, tak bisa menahan diri mendekatinya seolah dialah kekasih yang telah terikat dengannya selama ribuan kehidupan, sangat ingin segera memeluknya erat-erat dan mencurahkan seluruh rasa cinta serta kerinduannya.
Si botak di depan sudah pingsan, entah apakah tenggelam atau tidak. Tubuhnya terombang-ambing di air dengan perut menggelembung seperti bola.
Sementara Han Sen masih terbuai oleh godaan kekuatan itu, melangkah setapak demi setapak mendekati wanita dalam cangkang. Sepasang mata wanita itu yang seolah bisa bicara menatapnya, seakan berkata: "Kemarilah, kekasihku, masuklah ke dalam pelukanku."
