Namaku Han Jingzhi, murid TK Gajah kelompok B berusia lima tahun. Di usia seharusnya bersinar seperti kuncup bunga, hidupku justru suram bagai kabut.
Aku berasal dari keluarga penipu turun-temurun. Ayahku penipu, kakekku penipu, bahkan kakek buyutku pun penipu. Entah mulai dari generasi mana, keluarga kami menjadi anggota Jiangxiang Pai.
Jiangxiang Pai, sebuah organisasi penipu yang menyamar sebagai peramal persilatan untuk menipu orang dengan meramal nasib dan melihat feng shui. Meski semua anggota di organisasi ini bisa meramal nasib, tidak ada satu pun yang percaya pada takdir. Bagi mereka, yang disebut "takdir" hanyalah alat penipuan belaka.
Jiangxiang Pai tidak percaya pada takdir langit atau siklus reinkarnasi, tidak mengakui hukum karma, tidak peduli pada utang budi, ahli membaca situasi dan menghitung arah kecenderungan hati massa.
Siapa yang diawasi ketat oleh Jiangxiang Pai benar-benar sial. Yang ringan kehilangan harta benda untuk menebus malapetaka, yang parah sampai keluarga berantakan, istri dan anak tercerai-berai.
Aku lahir di keluarga dengan latar belakang seperti ini, tapi justru percaya pada takdir. Lebih tepatnya, aku mampu melihat takdir.
Benar, dengan bahasa manusia modern, aku adalah orang berkemampuan super. Kemampuanku adalah bisa melihat takdir.
Kemampuanku tidak hanya bisa melihat takdir manusia. Takdir segala zat di alam semesta ini, semuanya bisa kusaksikan.
Misalnya, aku bisa melihat pemandangan undian lotre edisi berikutnya, mengetahui nomor kemenangan akhir. Atau contoh lain, asalkan kumau, aku bisa menyaksikan adegan kemenangan akhir pacuan kuda.
Bahkan tentang pekerjaan apa yang akan dilakukan seseorang di masa depan, dengan siapa akan menikah, kapan akan mati - semua akhir ini bisa kulihat sekilas asalkan kusanggupi.
Meski kemampuanku tak bisa melihat proses di tengahnya, hanya melihat akhirnya, tapi itu sudah lebih dari cukup.
Aku bagaikan siswa curang yang sudah melihat kunci jawaban soal ujian sebelumnya. Tak peduli bagaimana prosesnya, jawaban akhirnya tak akan pernah salah.
Ada yang menganggap ini berkah, hidup seperti memakai cheat yang membuat iri dan dengki banyak orang hingga hampir mengamuk.
Tapi aku lebih memilih tak punya kemampuan ini. Kemampuan menembus takdir membuat hidupku suram. Meski baru lima tahun, aku sudah seperti anggota senior guild yang sekarat, tak lagi punya minat pada apapun.
Dulu di TK, aku punya seorang rekan yang sangat dekat. Dia sangat suka main sepakbola. Impiannya adalah menjadi pesepakbola hebat kelak, dan berharap aku berlatih bersamanya menjadi kombinasi terbaik, untuk menyerang Piala Dunia dan menjadi bintang paling gemilang.
Saat itu kupikir ide itu bagus. Tapi begitu niat ini muncul, kemampuan superku terpicu tanpa kendali. Aku melihat masa depan rekan itu.
Dalam masa depan itu, dia bukan atlet sepakbola, melainkan sales paruh baya berperut buncit yang setiap hari mabuk berat. Jangankan main bola, lari 50 meter saja sudah terengah-engah seperti mau tewas.
Seketika itu juga minatku terhadap sepakbola pupus. Karena kusadari, bagaimanapun usahanya, mustahil dia jadi pesepakbola. Semua usaha akan sia-sia. Takdir yang kulihat pasti benar, dan semakin tak mungkin diubah.
Di TK Gajah kami, ada seorang teman sekelas wanita yang sangat cantik. Aku sangat menyukainya, awalnya ingin menjadi teman baik yang tumbuh besar bersama, mungkin di masa depan bisa lebih dekat lagi.
Saat aku berpikir seperti ini, kemampuan superku langsung aktif. Aku melihat masa depannya - dia akan menikah dengan seorang paman botak berusia 40-an, berjalan ke gereja mengenakan gaun pengantin bersama pria itu.
Dalam sekejap, seluruh hidupku hancur berantakan.
Aku kehilangan minat pada segalanya, karena apapun yang ingin kulakukan, selalu kulihat masa depan dan akhir cerita yang sudah ditakdirkan.
Saat menonton pertandingan, aku sudah tahu hasilnya lebih dulu. Menonton film, sudah tahu akhir ceritanya. Bahkan saat menonton pertunjukan renang wanita cantik, langsung kulihat penampakan mengerikan mereka yang sudah renta saat ajalnya tiba. Bagiku, dunia ini dipenuhi kejahatan, di mana-mana terasa suram.
Aku juga pernah mencoba ingin mengubah takdir, contohnya aku paling tidak suka makan bawang bombay. Saat melihat masa depan dan tahu keesokan paginya ibu akan memasak telur goreng bawang bombay, aku membuang semua bawang bombay di rumah dan membeli habis seluruh bawang bombay di semua supermarket serta toko sayur dalam radius tiga blok.
Jangan tanya kenapa anak lima tahun sekaya aku bisa melakukan ini, karena uang bukanlah masalah bagiku.
Tapi ketika bangun keesokan paginya, ternyata di meja masih tersedia telur goreng bawang bombay. Jiwa mudaku mengalami retakan parau.
"Cucu kesayangan, kamu harus banyak makan bawang bombay. Kakek yang sedang beristirahat di desa menanam banyak bawang bombay, tahun ini Panen Besar, dia mengirimkan banyak untuk kita," kata ibu dengan wajah berseri kala itu.
Akhirnya, keluarga kami makan bawang bombay selama lebih dari sebulan penuh. Kecurigaan timbul, ini adalah hukuman dari langit karena aku berani mengubah takdir.
Tidak ada yang bisa memahami kesakitan saya. Bagi saya, alam semesta ini selamanya tidak memiliki ketidakpastian, juga tidak akan pernah memiliki daya tarik kebaruan. Aku telah kehilangan hal paling berharga dalam hidupku - kerinduan akan masa depan.
Berjalan pulang sekolah sambil memandang cahaya matahari terbenam di tepi sungai, hati ini dipenuhi kesedihan yang tak terungkapkan.
Tanya kenapa anak TK lima tahun seperti aku pulang sendiri? Sebenarnya biasa saja. Ayah-ibu, kakek-nenek, serta kakek buyutku semuanya adalah murid Jiangxiang Pai, bahkan termasuk anggota pendiri. Mereka semua sibuk, mana sempat mengantar-jemputku?
Tentu saja ibuku pernah mencoba mengantar-jemput. Tapi dalam perjalanan ke sekolah, dia berhasil menipu dua dompet dan satu motor listrik. Sesampainya di TK, dia bahkan mencoba menipu guruku. Aku terpaksa memaksakan diri mendorongnya keluar TK sambil memohon agar mereka tidak perlu lagi mengantar-jemputku.
"Ah, apa sebenarnya makna hidupku ini?" Duduk di tanggul sungai, jiwaku diliputi kebingungan yang tak berujung.
Pulang ke rumah sama sekali tidak bermakna bagiku, karena di rumah sama sekali tidak ada yang menunggu. Konon kali ini seluruh keluarga turun tangan untuk menipu seorang taipan kaya Timur Tengah. Sudah dua minggu aku tidak bertemu mereka.
"Adik kecil, kenapa kamu sendirian di sini? Apa terpisah dari keluarga?" Suara lembut itu menyusup ke dalam telingaku.
Ujung hidungku menangkap aroma wangi yang memancarkan aura masa muda. Tanpa sadar kuangkat kepala dan melihat seorang kakak perempuan cantik berkuncir kuda yang mengenakan jaket olahraga putih.
Aku tertegun sejenak. Di sekitar sini belum pernah kulihat kakak secantik ini. Tampaknya dia sedang berlari, mungkin tinggal tidak jauh dari sini.
"Nak, siapa namamu?" Melihatku diam, kakak itu berjongkok sambil memegang tanganku dengan penuh keakraban.
"Aku Han Jingzhi." Jawabku tanpa sadar. Kalau sedang biasa, aku pasti malas mengacuhkan orang-orang itu. Tapi siapa sangka aku ini anak TK yang terobsesi dengan penampilan fisik? Menghormati kecantikannya yang luar biasa, akhirnya kujawab juga.
"Namamu sangat unik, tidak seperti nama anak seusiamu." Kakak itu berkata dengan lembut sambil tersenyum.
"Ini nama yang diberikan kakekku. Katanya, keluarga kami boleh tidak menghormati makhluk gaib, melanggar Li, mengabaikan Yi, bahkan meragukan ikatan kekeluargaan. Tapi di hati harus tetap punya rasa kekaguman. Kalau tidak, kita tidak pantas disebut manusia. Makanya kakek memberiku nama 'Jingzhi', berharap aku bisa mempertahankan sisa-sisa kemanusiaan terakhir." jelasku.
Sebenarnya aku juga tidak terlalu paham maksud kakek. Yang kuketahui, saat menipu mereka tak kenal kompromi. Tapi begitu kembali ke rumah, tak pernah sekalipun membicarakan urusan penipuan itu.
"Kakekmu benar-benar unik." Ujar kakak sambil tersenyum. Mungkin dia mengira aku sedang bercanda.
Aku agak takut menatapnya, karena khawatir kemampuanku yang tak terkendali akan melihat masa depannya: menyaksikannya menua dan mati, atau terpeluk pria tua ke ranjang. Itu pasti membuatku sedih.
"Xiao Zhi-zhi, mau minum teh susu bareng kakak?" tanya kakak perempuan itu.
Meski aku tidak suka teh susu, tapi siapa suruh aku anak TK yang terobsesi penampilan? Akhirnya kuanggukkan kepala, menggenggam tangan lembutnya, dan ikut ke toko teh susu.
Sama sekali tidak khawatir dia pedagang manusia. Sejak usia tiga tahun, sudah dua kali kujual pedagang manusia yang mencoba menculikku. Bahkan sebelum pergi, mereka malah berterima kasih padaku.
Kakak ini benar-benar menggemaskan dan lembut. Minum teh susu bersamanya sungguh menyenangkan. Aku sampai asyik tak terkendali memperhatikannya. Tapi persis di saat itu, sialan! Kemampuan meramalku muncul lagi.
Adegan yang membuat hatiku hancur muncul di otakku. Kakak perempuan yang cantik dan menggemaskan, baru saja turun dari mobil sport merah, langsung diserbu oleh sekelompok orang berbaju hitam yang menyapu habis dengan senapan mesin. Darah segar dari seluruh tubuhnya tiba-tiba menyembur keluar seperti percikan hujan.
Tidak diragukan lagi, dia sudah pasti mati.
Kondisi hatiku langsung hancur ke dalam kegelapan. Aku hanya bisa melihat pemandangan masa depan, tapi tidak tahu kapan adegan itu akan terjadi, tidak mengenali lokasinya, dan sama sekali tidak mampu menghentikan semua itu.
Aku membenci diri sendiri karena memiliki kemampuan seperti ini, lebih kesal lagi pada ketidakmampuanku, dan sangat menolak akhir cerita seperti ini.
"Xiao Zhi-zhi, ada apa denganmu?" Melihat suasana hatiku yang murung, kakak perempuan itu bertanya dengan khawatir.
"Kakak, bisakah kamu tidak mengendarai mobil sport merah dalam waktu dekat ini?" Aku berusaha mengubah nasib.
"Kenapa?" Kakak perempuan itu bertanya dengan ekspresi bingung.
“Karena aku bisa melihat masa depan. Jika Kakak mengendarai mobil sport merah menyala, akhirmu adalah kematian.” Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi aku sangat ingin meyakinkannya, karena sungguh tak ingin melihatnya mati.
Sang Kakak tertegun sejenak, lalu dengan lembut mengelus kepalaku sambil tersenyum: “Xiao Zhizhi, rupanya kau mengkhawatirkan aku. Terima kasih, Nak. Kakak takkan mati.”
“Sudah kuduga, kau tak percaya padaku. Akhir di masa depan benar-benar tak bisa diubah.” Hatiku dipenuhi kekecewaan, entah mengapa dada terasa nyeri—kebencian akan ketidakmampuanku sendiri.
Tapi sang Kakak menggenggam tanganku, berkata serius: “Kakak percaya padamu, Xiao Zhizhi. Ingat baik-baik: akhir bukanlah terminasi. Jika kau sungguh memiliki kemampuan melihat masa depan, maka kelak saat bertemu orang yang membutuhkan pertolonganmu, jangan pernah menyerah. Bagaimanapun akhirnya, lakukanlah segalanya yang harus kau lakukan, mengerti?”
Perasaanku sangat kacau, secara tidak sadar aku mengangguk, tapi sebenarnya tidak benar-benar mendengarkan. Setelah berpisah dengan kakak perempuan dengan hati yang hampa, semakin kupikir semakin merasa tidak boleh mengakhirinya begitu saja.
Kakak perempuan yang baik hati dan menggemaskan ini, sama sekali tidak boleh kubiar mati begitu saja.
"Bahkan jika Yang Maha Kuasa ingin mencabut nyawanya, aku pasti akan menyelamatkannya." Semangat juang tanpa alasan tiba-tiba menggelegak dalam hatiku.
Meski aku bahkan tidak tahu nama kakak perempuan itu, apalagi tempat tinggalnya, semua ini bukan masalah bagi seseorang yang lahir dari keluarga penipu.
Salah satu kemampuan paling ahli para penipu adalah analisis intelijen dan membuat hipotesis. Mengingat-ingat kembali pemandangan masa depan yang kulihat sebelumnya, lokasi dimana kakak perempuan itu ditembak mati adalah sebuah jalan raya. Meski tidak ada papan nama jalan dalam pemandangan itu, dari tanaman di sabuk hijau pinggir jalan yang merupakan rumput Allen spesifik wilayah sekitar kota kita, lokasi kejadian seharusnya ada di kota ini.
"Lebar jalan utama seharusnya lebih dari 40 meter. Dari spesifikasi ini, hanya tiga jalan raya utama di kota ini yang memenuhi standar..." Aku menganalisis satu per satu sambil menggunakan fitur peta di alat komunikasi untuk mengunci target.
"Waktunya sekitar jam sepuluh lewat seperempat malam, berdasarkan posisi bulan... Ini pasti terjadi malam ini..." Aku buru-buru melihat jam dan menyadari tinggal lima menit lagi menuju jam sepuluh.
"Tidak..." Aku membenci diri sendiri yang tidak segera mengambil keputusan untuk menyelamatkan kakak perempuan itu. Andai saja lebih cepat, mungkin nyawanya bisa tertolong.
Bahkan sebelum berpisah, seandainya aku berhasil meminta nomor teleponnya, mungkin semua ini bisa dihindari.
Seperti orang gila, aku menerjang keluar dari ruangan dan menyalakan sepeda motor listrik mini yang sering dipakai ibu untuk belanja, lalu melesat menuju lokasi yang kutetapkan.
Aturan lalu lintas? Lampu merah? Biarkan semua itu jadi urusan hantu! Aku harus menyelamatkan kakak perempuan itu.
Kuinjak gas sampai maksimal, tapi motor listrik ini masih terasa lambat seperti kura-kura. Detik demi detik berlalu, hatiku semakin gelisah.
Akhirnya, aku tiba di jalan besar dari pemandangan masa depan itu. Kulihat mobil sport merah kakak perempuan itu turun dari kendaraan. Hari ini dia terlihat cantik, mengenakan jas hujan merah menyala dan stoking sutra nuansa daging yang dipadukan dengan sepatu hak tinggi, sungguh memancarkan sensualitas yang sangat memikat.
Tapi di saat yang sama, aku juga melihat para pria berbaju hitam yang membawa senjata serbu.
"Ka...kak...cepat...kabur..." Sudah terlambat untuk menyelamatkannya. Sambil menginjak gas sampai maksimal untuk menabrak para pria hitam itu, aku berteriak sekuat tenaga.
Dor! Dor! Brak!
Suara tembakan dan bunyi benturan nyaris bersamaan. Aku dan kendaraan listrik ini pantang mundur menghantam tubuh-tubuh hitam itu. Senjata yang mereka pegang juga meletus, tapi pelurunya gagal menyembur ke arah kakak perempuan.
"Bagus sekali!" Tak kupikirkan konsekuensi tindakanku. Hanya ada perasaan puas tak terkira di jiwa ini karena berhasil menyelamatkannya.
"Krak-krak! Ada apa dengan imp itu?"
“Maaf Sutradara, itu teman saya!”
Setelah terjatuh ke tanah, aku melihat seorang paman paruh baya memegang pengeras suara besar berteriak marah ke arah sini, di sekelilingnya ada berbagai instrumen dan staf. Kakak perempuan masih terus meminta maaf kepada paman itu, tiba-tiba perasaan yang belum pernah kurasakan sejak lahir menyergapku, membuatku linglung.
"Xiao Zhizhi, terima kasih sudah datang menyelamatkan aku. Kamu tidak apa-apa?" Kakak perempuan itu segera berlari mendekatiku, memelukku dengan khawatir sambil bertanya.
"Aku baik-baik saja. Senang sekali kakak tidak apa-apa." Akhirnya aku mengerti apa yang terjadi, sama sekali tidak merasa menyesal karena kesalahpahamanku sendiri, hanya merasa semua ini terlalu indah.
Aku selesai menceritakan kisahku di usia lima tahun, menyalakan sebatang rokok, menghirup dalam-dalam, lalu perlahan melontarkan asapnya. Dengan wajah penuh kesungguhan, aku berkata: "Sejak kejadian itu, aku paham bahwa akhir bukanlah penghentian. Jadi setiap bertemu orang yang butuh pertolongan, aku akan meminta nomor komunikasi mereka. Meski kemungkinannya cuma satu dari jutaan, aku akan mengerahkan seluruh tenaga untuk menyelamatkan mereka. Ini janjiku dengan kakak perempuan itu."
Gadis cantik di hadapanku memandangku dengan ekspresi suram yang mengerikan, bagai gunung berapi yang hendak meletus. Dengan amarah yang meledak, ia membentak: "Han Jingzhi, inikah alasanmu meminta nomor komunikasi gadis seksi itu saat aku ke toilet tadi?!"
Krek!
Letusan kemarahan itu disertai tamparan keras yang menggema, serta bayangan dari belakang gadis itu yang berbalik pergi dengan amarah membara.
“Baiklah, aku mengakui, meski kisah itu benar, tapi sebenarnya aku cuma ingin ngejodohin si cewek seksi itu. Tidak bisa disalahkan, siapa yang suruh namaku Han Jingzhi, seorang yang terobsesi dengan penampilan fisik.” Melihat bayangan dari belakang si gadis cantik yang pergi, aku bergumam lirih sambil membakar sebatang cerutu, menghirup dalam-dalam, lalu perlahan melontarkan asap. Di dalam sorot mataku terpantul pemandangan masa depan gadis cantik itu.
Tepat di posisiku sekarang, hanya saja saat itu tempat ini sudah menjadi lautan api. Di dalam bar, di mana-mana menjilat lidah api, kabel listrik menyemburkan percikan, banyak lampu gantung berjatuhan dari langit-langit. Salah satu lampu bola besar itu menghujam tepat ke aksesori kepala gadis cantik yang sedang kabur.
Ling!
Bel alarm kebakaran berdering persis saat ini.
“Bisakah masa depan diubah?” Sambil melihat kerumunan yang panik berlarian dan api yang menyebar dengan cepat, aku hanya duduk diam di depan bar, mengambil segelas anggur di atas meja dan meminumnya sembari memandangi lampu gantung bulat di tengah bar.
