Kehendak bukanlah hal yang alami, meski memang ada orang yang memiliki kehendak bawaan sedikit lebih kuat, namun kekuatan tambahan itu sangat terbatas.
Petarung sejati terlahir dari menyerap jutaan rintangan. Jiwa baru akan semakin kuat seiring pengalaman. Semakin banyak kegagalan yang dihadapi, semakin kokoh mental seseorang.
Tentu, banyak juga yang memilih menyerah bahkan mengabaikan diri sendiri saat tak tahan menghadapi cobaan. Mereka adalah tipe orang yang sulit mencapai kesuksesan besar.
Han Sen telah melewati berjibun cobaan, entah berapa kali terjun ke medan perang. Ada sukses, ada pula gagal. Jiwa terus terasah dalam krisis berulang. Meski tak bisa dikatakan tak ada yang lebih tegas, namun jarang hal di dunia ini yang mampu menggoyahkan tekadnya.
Sekalipun ilusi dalam pedang itu melebihi kekuatan kehendak Han Sen, namun tetap tak sanggup membuatnya menyerah total.
Satu orang dan satu pedang membeku di situ, wanita dalam otak Han Sen terus-menerus mengulangi kalimat "satu inci kerinduan satu inci abu", kekuatan spiritual yang kuat terus diperbesar, namun tetap tidak bisa membuat Kehendak Han Sen runtuh.
Aura pedang bagaikan lautan yang bergelora, seperti ombak besar yang mengamuk, sementara Kehendak Han Sen ibarat karang. Meski karang itu kecil, kekuatan lautan dan ombak besar pun tak mampu menghancurkannya.
"Apa sebenarnya asal-usul pedang ini? Kehendak mengerikan seperti ini, sebanding dengan Tuhan Kuil kah? Ini ternyata hanya sebilah pedang belaka." Hati Han Sen bergeming, tapi dia tak berani merenung lebih jauh, hanya bertahan mati-matian melawan aura pedang itu.
Saat ini Han Sen terjebak dalam situasi sulit. Jika dia menyerah dan ingin melepas pedang perunggu, niat mundur itu akan segera dimanfaatkan aura pedang. Kekalahan akan datang lebih cepat, sehingga Han Sen terpaksa melanjutkan, tak bisa memilih mundur.
Gelombang suara bertubi-tubi mengguncang kehendak Han Sen, membuatnya merasa seperti dipotong pisau es dan dibakar api yang menyiksa.
Dia paham betul, begitu memilih menyerah, rasa sakit ini justru akan hilang. Cukup menari tarian erotis yang dikendalikan nuansa itu untuk menghindari penderitaan. Tapi Han Sen tetap enggan.
Entah berapa lama, suara dari ilusi itu tiba-tiba berhenti. Perempuan itu melirik Han Sen dengan sorot mata terkejut, lalu berbalik dan melesat menghilang begitu saja.
Han Sen langsung merasa seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga. Meski bukan pertempuran fisik, perlawanan spiritual ini justru lebih menguras tenaga daripada perang besar yang melukai daging dan mengucurkan darah.
Kilatan pada pedang perunggu telah mereda, kembali ke bentuk aslinya. Han Sen mengulurkan tangan dan mencabut pedang itu dari tanah dengan sekuat tenaga.
Pedang perunggu juga tidak melawannya, namun tidak mengikuti kehendak Han Sen dalam bertindak. Ia seolah berubah menjadi benda mati tanpa spiritual.
"Han Sen berhasil mencabut pedangnya." Qin Bai tersenyum puas dalam hati, merasa Han Sen memang jauh lebih kuat daripada para Guru Agung. Bahkan Guru Agung Baili dibuat tidak karuan oleh pedang itu, namun Han Sen mampu mencabutnya. Tingkatan mereka langsung terlihat jelas.
Jia Sizhen dan Baili Tianya juga menunjukkan wajah penuh keheranan. Mereka mendekat dan mengucapkan selamat: "Tuan Han benar-benar sosok jenius turun dari langit. Bahkan pedang sakti seperti ini pun tidak bisa tidak tunduk padamu."
Han Sen menggelengkan kepala: "Aku hanya berhasil mencabutnya, tapi tidak membuatnya benar-benar tunduk. Meski kini pedang ini menjadi milikku, ia tidak akan mengikuti kehendakku. Tak ada bedanya dengan pedang biasa yang tidak berguna."
"Bagaimana bisa begini?" Jia Sizhen dan Baili Tianya sama-sama menunjukkan keraguan di pupil mata mereka.
Han Sen mencoba mengendalikan pedang perunggu untuk terbang, namun pedang itu sama sekali tidak bergerak. Tidak memiliki kelincahan seperti pedang batu permata hijau atau pedang besar berlian, bagaikan sebilah pedang tembaga biasa.
Saat beberapa orang itu sedang asyik mempelajari, tiba-tiba merasakan ruang di sekeliling bergetar hebat. Senjata-senjata di kejauhan mengeluarkan suara gemeretuk.
Di dalam kehampaan yang berdistorsi, sebuah kuil mengerikan perlahan muncul.
Kuil itu sangat aneh. Bata-batanya ternyata tersusun dari martil perang, gentengnya terdiri dari berbagai pedang dan bilah pisau, temboknya berbaris tombak panjang, sementara tanah alun-alunnya dipenuhi perisai.
Seluruh kuil tersusun dari tumpukan senjata berbagai jenis, bagaikan gudang senjata raksasa yang menyeramkan.
Wajah Jia Sizhen dan Baili Tianya berubah pucat. Kuil yang muncul di sini hanya memiliki satu kemungkinan - ini adalah kuil Shen Luan Hui.
Han Sen menatap tajam, melihat plakat di atas kuil aneh itu bertuliskan tiga karakter "Kuil Senjata".
Sebelum sempat mengamati Kuil Senjata itu, pintu kuil terbuka otomatis mengeluarkan baju zirah raksasa setinggi belasan meter.
Di belakang baju zirah raksasa itu, berbagai senjata aneh tersusun membentuk roda senjata yang mengambang, mirip cahaya Buddha di belakang patung Buddha.
Han Sen menduga ini mungkin Dewa Senjata dari Kuil Senjata. Melihat aura-nya saja, kemampuannya tak kalah dari Permaisuri Pemenggalan.
"Dari mana Serikat Kekacauan menemukan begitu banyak petarung kuat mengerikan?" gumam Han Sen dalam hati.
Sebenarnya Han Sen tak terlalu paham: meski anggota Serikat Kekacauan sekarang cukup banyak, anggota inti tulang punggung yang sesungguhnya sangat sedikit, apalagi yang berhasil mendapatkan kuil.
Di seluruh Dunia Senjata, hanya ada satu anggota inti Kekacauan yang memiliki kuil - Dewa Senjata ini, yang juga merupakan salah satu Delapan Raja Langit Kekacauan, bertanggung jawab atas Dunia Senjata.
"Dasar tikus berdasi, berani-beraninya menyentuh Pedang Cun Hui? Cari mati, ya?" Mata Dewa Senjata memancarkan cahaya suci, seolah bisa menembus kehampaan alam semesta, menatap Han Sen dengan suara dingin.
"Oh, jadi nama pedang ini Cun Hui. Pasti terinspirasi dari bait puisi itu ya?" Han Sen tersadar.
Sorot mata dingin Dewa Senjata berkilat. Tanpa sepatah kata, dia mencabut pedang besar dari lingkaran senjata di punggungnya, lalu menghantamkan dengan ganas ke arah Han Sen.
Cahaya pedang dahsyat itu membelah angkasa, dalam sekejap sudah menyambar di depan wajah Han Sen - kecepatan yang tak terbayangkan!
Dengan erat menggenggam Pedang Cun Hui, Han Sen memilih langsung menggunakan teknik pedang pengganti golok. Jurus Gigi Taring Bersilang dari Ilmu Gigi Pedang dihadapkannya pada pedang sepanjang belasan meter sang Dewa Senjata.
Kres!
Han Sen tidak merasakan tenaga yang berarti, bilah pedang Cun Hui yang terlihat biasa itu ternyata seperti mengiris tahu, menghancurkan pedang besar Dewa Prajurit menjadi beberapa bagian.
"Pedang ini belum mengaktifkan kekuatannya, hanya mengandalkan ketajaman bilahnya saja, tapi sudah bisa memotong alat persembahan dewa tingkat kehancuran. Ini benar-benar mengerikan." Han Sen terkejut luar biasa di dalam hati.
Tak bisa membayangkan sekuat apa pedang ini jika kekuatannya sepenuhnya dilepaskan.
Dewa Prajurit juga terlihat terguncang, matanya yang berupa lubang di baju zirah itu memancarkan cahaya ilahi yang bergetar, mengisyaratkan gelombang emosi dalam dirinya meski tanpa ekspresi wajah.
"Letakkan Pedang Cun Hui, Aku sebagai Raja Langit akan membiarkanmu hidup." Dewa Prajurit berkata dengan suara berhawa dingin sambil mengawasi ketat Han Sen.
Qin Bai yang berada di samping berteriak: "Ucapanmu sama sekali tidak masuk akal, tombakmu saja sudah dipotong Han Sen, seharusnya kamu yang minta ampun."
Mendengar itu, Dewa Prajurit melirik tajam ke Qin Bai, langsung membuat Qin Bai merapat di belakang Bao'er.
"Pedang ini bukan milikmu, atas dasar apa kau menyuruhku meletakkannya?" Han Sen menatap Dewa Prajurit.
"Baiklah, tindakanmu menghujat Pedang Cun Hui sudah layak dihukum mati. Awalnya ingin membiarkanmu hidup, tapi karena keras kepala mencari kematian, pergilah ke Neraka!" Seru Dewa Prajurit sambil memancarkan sinar sakti dari seluruh tubuhnya. Sebuah tombak menyala dari lingkaran senjata di punggungnya.
