"Jawaban apaan itu, semua salah brengsek ini..." Melihat gadis kecil itu berlari tanpa jejak, menghilang dalam Hutan Senjata, Pedang Tembaga Ungu hampir meledak amarahnya, mengumpat habis-habisan ke arah Han Sen.
"Salahkan dirimu sendiri. Kalau kau tidak merebut, pasti tidak akan begini." Han Sen berkata dengan datar.
"Bapak yang mati-matian memancingnya, mengapa harus menyerahkan padamu?" Pedang Tembaga Ungu menggerutu.
"Makanya kita masing-masing tunjukkan kemampuan, jangan salahkan aku." Kata Han Sen.
"Begitu Raja Langit ini memulihkan kebebasan, pasti akan membabatmu, memotong-motong jasadmu hingga seribu keping, menghancurkan tulang-tulangmu..." Pedang Tembaga Ungu sepertinya sadar marah tak berguna. Setelah melempar ancaman, ia berhenti bicara dengan Han Sen, entah merencanakan apa.
Setelah gadis kecil itu kabur, Han Sen kembali menggunakan Aura Dongxuan untuk mencari di sekitar. Dalam radius 5 kilometer, selain gadis kecil tadi, ternyata tidak ada penduduk asli lain sama sekali.
Setelah kabur ke kejauhan, gadis kecil itu berlari masuk ke dalam helm raksasa setinggi tiga empat meter yang terletak dua li jauhnya. Di dalam helm itu terdapat beberapa perlengkapan hidup sederhana, bahkan ada air dan buah-buahan. Entah dari mana gadis kecil itu mendapatkan barang-barang ini.
Yang jelas dalam radius 10 li, Han Sen tidak menemukan sungai maupun tumbuhan, hanya senjata-senjata perang belaka.
"Dari mana asal gadis kecil ini? Bagaimana dia bisa bertahan hidup di sini?" Han Sen bergolak dalam pikiran.
Selama beberapa hari berikutnya, gadis kecil itu tidak berani mendekati area ini lagi, jelas-jalus masih trauma karena kejadian sebelumnya.
Selain gadis kecil itu, tidak ada makhluk hidup lain yang muncul. Hal ini membuat Pedang Tembaga Ungu semakin frustrasi dan menggeram, berulang kali bersumpah bahwa setelah bebas nanti pasti akan menyedot tulang Han Sen, menguliti kulitnya, lalu menancapkan tubuhnya di Gunung Pedang untuk diiris-iris menjadi tongkat manusia.
Han Sen mengacuhkannya, terus fokus mengamati rutinitas harian gadis kecil itu.
Gadis kecil meski hanya berpenampilan tujuh delapan tahun, namun tenaganya sangat besar, kecepatannya juga cepat, bagaikan macan tutul kecil yang berpindah-pindah di hutan senjata. Setiap hari ia pergi ke hutan senjata yang jauh, dan saat kembali selalu membawa air dan buah-buahan, terkadang juga beberapa alat yang sudah lapuk.
Sayangnya aura Dongxuan Han Sen terhalang hutan senjata, sulit memanjang keluar, entah wilayah mana sebenarnya yang dikunjungi gadis kecil itu.
"Lao Jian, di sini hanya ada satu penduduk asli yaitu gadis kecil itu?" Setelah 7-8 hari belum menemukan penduduk asli lain, Han Sen bertanya pada pedang tembaga ungu.
"Kamu yang tua hina! Seluruh keluargamu tua hina!" Pedang tembaga ungu mengutuk dengan amarah.
"Kalau tidak suka katakan saja, aku bisa mengganti panggilan. Untuk apa memarahi orang?" Setelah berkata demikian, Han Sen mengganti sebutan: "Xiao Jian, apakah benar-benar tidak ada penduduk asli lain di sini?"
Pedang Tembaga Ungu gemetaran menahan amarah, tapi sepertinya dia tahu mengutuk juga percuma, lalu berkata dengan dingin: "Sudah dari dulu kubicarakan padamu, penduduk asli di sini tak banyak, 10-15 hari pun belum tentu bisa bertemu satu. Kamu memaksa berkonfrontasi dengan Raja Langit ini, menakuti pergi gadis kecil itu, sungguh ulahnya sendiri!"
"Ini bukan salahku juga. Satu penduduk asli hanya bisa mencabut satu senjata. Gadis itu sudah mencabutmu, kalau aku bertahan di sini sendirian bukankah akan kesepian?" kata Han Sen.
"Tidakkah kau bisa menunggu beberapa hari lagi? Akan ada penduduk asli lain yang datang. Saat itu kau tetap bisa bebas." Pedang Tembaga Ungu mendengus kesal, tapi ucapannya juga secara tidak langsung mengakui bahwa satu penduduk asli hanya bisa mengeluarkan satu senjata.
"Aku hanya orang kecil, sedangkan Anda adalah Raja Langit. Raja Langit seharusnya memiliki kemegahan hati. Lebih baik Anda mengalah, biarkan penduduk asli berikutnya mencabutku dulu saat mereka datang." pinta Han Sen.
“Cih, kau ini terlalu muluk.” Pedang Ungu Tembaga seolah ingin meludahi Han Sen jika bisa.
“Xiao Jian, pertikaian kita ini sia-sia. Mari kita bertaruh untuk menentukan siapa yang akan dikeluarkan duluan.” Han Sen tersenyum manis sambil berkata.
“Apa lagi akal licikmu?” Pedang Ungu Tembaga tak percaya dengan keluguan Han Sen.
“Tak ada akal licik. Kita bertaruh gender pendatang berikutnya. Jika perempuan, biar aku yang merayu. Jika laki-laki, kau yang maju.”
Belum selesai Han Sen bicara, Pedang Ungu Tembaga menyela: “Mengapa perempuan jadi jatahmu? Tidak! Perempuan jatahku, laki-laki baru kau!”
Dalam hati Pedang Ungu Tembaga bergumam: “Aku tak bodoh. Setelah terperangkap berhari-hari, hanya gadis kecil itu yang muncul. Pasti dia yang akan datang lagi.”
"Boleh juga, kalau begitu kita sepakat seperti ini. Siapa yang ingkar janji tidak akan punya anak laki-laki berlubang pantat, dan istrinya setiap hari dikenakan helm hijau." Han Sen dengan lancar menyetujui kesepakatan itu.
"Tunggu." Pedang Ungu Tembaga merasa ada yang tidak beres, dalam hati berpikir: "Kenapa anggota ini menyetujui begitu mudah? Dia sudah beberapa hari di sini dan hanya melihat gadis kecil itu satu-satunya penduduk asli. Sudah jelas yang paling mungkin datang ke sini adalah gadis itu, tapi dia sengaja membuat taruhan seperti ini dan membiarkan aku memilih laki-laki. Begitu aku pilih perempuan, dia langsung setuju. Ini jelas-jlas menggali lubang plot untukku terjun!"
"Tepat! Pasti ada konspirasi di sini. Makhluk yang bisa menerjang tiga puluh tiga hari pasti tidak terlalu lemah, pasti punya kemampuan. Mungkin dia punya keahlian khusus dalam hal kemampuan persepsi, jadi sudah dari dulu merasakan ada laki-laki yang mendekat ke sini. Makanya dia menggali lubang plot untukku. Ya, pasti seperti ini!" Semakin dipikirkan oleh Pedang Ungu Tembaga, semakin yakin analisisnya tidak salah.
“Ada apa lagi, kamu mau ingkar janji? Kita sudah bertaruh dan bersumpah, siapa yang ingkar janji akan…” ujar Han Sen.
“Berhenti, berhenti, berhenti! Tadi hanya kamu yang bersumpah, aku tidak mengatakan apapun. Aku belum memutuskan.” Pedang Tembaga Ungu dalam hati mendengus keras: “Aku ubah pendirian. Jika yang datang pria, aku yang ambil. Kalau wanita, giliranmu.”
“Kamu yakin mau pria?” tanya Han Sen.
Melihat Han Sen tak segesit sebelumnya, Pedang Tembaga Ungu semakin yakin analisanya tepat. Dengusnya: “Hmph! Benar. Aku memang memilih pria.”
“Benarkah kamu tidak mau wanita?” Han Sen bertanya lagi.
“Sudah kubilang tidak mau ya tidak mau! Wanita jadi hakmu, pria untukku. Seperti katamu: Siapa yang ingkar janji, anaknya tidak punya lubang anus, istri setiap hari pakai helm hijau.” Pedang Tembaga Ungu bersumpah mati-matian, menutup celah bagi Han Sen.
“Baiklah.” Han Sen menghela napas pasrah.
Mendengar suara Han Sen yang tak berdaya, Pedang Tembaga Ungu di hatinya tak bisa menahan kesombongan: "Dengan kemampuanmu ingin menjebakku? Tak ada sedikit pun kecerdasan, pantas saja."
Tak lama kemudian, Pedang Tembaga Ungu mendengar langkah kaki dari kejauhan. Hatinya langsung berbunga-bunga: "Memang dugaan saya benar! Langkah kaki ini bukan milik gadis kecil itu."
