Dor!
Han Sen tiba-tiba merasa raganya seolah terpental oleh kekuatan tak kasat mata, langsung terpisah dari raga Santo Roh Bersenjata, tersedot oleh aliran energi.
"Tetap tidak bisa?" Hati Han Sen dipenuhi kekecewaan. Dia sudah bersembunyi dalam jiwa Santo Roh Bersenjata, tapi tetap terlempar keluar.
Saat tarikan kuat itu menghilang, Han Sen menggunakan aura Dongxuan untuk mengamati sekeliling barulah ditemukan: Dia tidak jatuh kembali ke Langit Senjata. Tayangan di sekitarnya jelas sudah bukan di dalam wilayah Langit Senjata.
"Di sini..." Begitu Han Sen melihat jelas pemandangan di sekitarnya, ekspresi aneh langsung terpancar di wajahnya.
"Alam Fana?" Han Sen sama sekali tidak asing dengan konstelasi bintang di sini. Ini jelas Alam Fana tempat dia pernah bertempur melawan Zang Daotian. Lagipula, Prasasti Gen sudah sejak lama menunjukkan bahwa Alam Fana telah memiliki penguasa - Wakil Ketua Kekacauan, Zang Daotian.
Penindihan kekuatan di Alam Fana yang dirasakannya, puluhan kali lipat lebih kuat dibanding kunjungan terakhirnya. Saat baru memasuki wilayah ini, dia masih bisa menggunakan sebagian tenaga. Namun begitu menginjakkan kaki di tanah, seluruh kekuatannya langsung menghilang. Bahkan raga logam Jian-nya kembali ke wujud asli. Seluruh tubuhnya tak lagi bisa mengeluarkan secuil energi, bagaikan manusia biasa.
"Kenapa bisa jatuh di sini? Alam Fana sudah memiliki penguasa, menurut aturan seharusnya tidak mungkin membiarkan makhluk hidup pendatang masuk." Han Sen merasa ada yang tidak beres. Dirinya dan Zang Daotian memang memiliki permusuhan, kini dia menjadi penguasa Alam Fana sementara kekuatan aturan di sini meningkat drastis, membuat Han Sen seperti manusia biasa. Jika ketahuan oleh Zang Daotian di sini, kemungkinan besar sulit lolos dari kematian.
"Jatuh di mana saja tidak masalah, kok malah jatuh di sini." Han Sen menepuk pantatnya bangkit dari tanah, baru saja mengangkat kepala langsung membeku.
Di depannya yang tidak terlalu jauh, seekor burung raksasa keemasan sedang mengawasinya dengan dingin. Sepasang mata burung itu tajam bagai kilat dingin dan pisau.
Han Sen langsung jantungnya berdebar. Burung emas raksasa itu tidak asing baginya. Saat Tiga Puluh Tiga Langit baru pulih, burung besar inilah yang pertama menerobos masuk. Tak disangka dia malah masuk ke Alam Fana.
Tapi Alam Fana sudah berada di bawah kendali Zang Daotian, jelas itu gagal. Entah kenapa belum mati, atau mungkin Zang Daotian membiarkannya hidup.
Burung raksasa keemasan itu dengan tegas berdiri di puncak pohon besar. Ukuran tubuhnya tak sebesar dulu, hanya setinggi manusia. Seluruh bulunya berkilau seperti terbuat dari emas murni, jelas menunjukkan keilahian.
Tapi Han Sen berpikir dalam hati: "Meski burung emas ini hebat, bahkan aku saja terkena penindihan kekuatan Alam Fana, tentu dia juga tak terkecuali."
"Saudara Burung, bagaimana panggilannya?" Han Sen menyungging senyum ke arah burung raksasa keemasan itu.
"Aku adalah Garuda Raksasa, bukan 'saudara burung'." Burung emas itu menjawab dengan nada dingin.
"Di dunia ini masih ada Garuda Raksasa?" Han Sen terkejut memandangi burung itu. Burung merah kecil yang dia dapatkan sebelumnya memang memiliki darah keturunan burung legendaris, tapi bukan Garuda Raksasa melainkan keturunan Kunpeng.
Sekalipun begitu, itu hanyalah campuran darah belaka, tapi campuran darah burung merah kecil juga luar biasa. Garis keturunan lainnya yang dimilikinya adalah darah Phoenix.
Keturunan campuran Phoenix dan Kunpeng, jika bisa tumbuh di masa depan, sama sekali tidak akan lebih lemah dari Phoenix ras murni atau garuda raksasa.
Garuda raksasa tidak bicara, hanya menyorotkan mata dingin ke Han Sen. Dari aura yang terpancar, Han Sen bisa merasakan bahwa makhluk itu sedang mempersiapkan serangan mematikan yang siap dilancarkan kapan saja.
Sayangnya, tenaga garuda raksasa jelas-jelas juga diredam oleh kekuatan Alam Fana. Kalau tidak, dia sama sekali tidak perlu mempersiapkan serangan—satu pukulan asal-asalan saja sudah cukup untuk membinasakan langit-bumi.
"Mengingat aku dan garuda raksasa itu kini sama-sama manusia biasa yang tak bisa menggunakan kekuatan, bukankah ini kesempatan terbaik bagiku untuk memenggalnya?" Aura pembunuhan mulai menggelora di hati Han Sen.
Rasio pemecahan batas Garuda Raksasa jelas di atas 95%, terlihat dari kemampuannya meruntuhkan batas tak kasat mata tiga puluh tiga lapisan langit dengan mudah.
Di luar sana, Han Sen memang sulit membunuhnya. Tapi di dalam Alam Fana ini, ketika keduanya berubah menjadi wujud manusia biasa, justru menjadi keuntungan bagi Han Sen yang ahli dalam pertarungan fisik.
Garuda Raksasa juga tampak memiliki pemikiran serupa. Saat mengamati Han Sen, meski kekuatan fisiknya terbatas, aura dan nuansa khusus pada diri Han Sen tetap terpancar jelas. Makhluk itu menyadari Han Sen bukan lawan sembarangan, sehingga tak langsung menyerang.
Setelah saling mengukur selama beberapa lama, tiba-tiba keduanya bergerak serempak. Sayap emas Garuda Raksasa terkembang selebar 7-8 meter, menerjang bagai kilat keemasan.
Seandainya ini di masa lalu, ruang angkasa sudah terkoyak oleh kekuatan maha dahsyatnya sebelum tubuhnya bahkan sampai di lokasi.
Namun di dalam Alam Fana ini, dia tak berbeda dengan burung biasa, harus mengandalkan tenaga raga untuk bisa menyerang Han Sen.
Han Sen melompat bangkit, tapi hanya setinggi dua meter, itu pun karena fisiknya yang luar biasa kuat. Manusia biasa yang bisa melompat setinggi satu meter di sini sudah pantas disebut manusia super.
Saat berpapasan dengan burung garuda raksasa yang menerjang dari udara, Han Sen yang masih melayang tiba-tiba membelok lincah bagai burung, menghindari cakar tajam sambil menendang punggungnya hingga garuda itu terjungkal seperti anjing makan tai, kepala menghunjam ke tanah.
Tanpa ragu, Han Sen menghentakkan kakinya dari udara bagai kapak perang yang menghujam.
Burung garuda raksasa itu bereaksi cepat. Saat menghantam tanah, sayapnya menutup rapat. Dengan gerakan kabur seperti keledai, ia menghindari tendangan Han Sen. Sayapnya yang tajam bagai pisau menyapu horizontal, mengarah ke paha Han Sen yang belum menyentuh tanah.
Kaki Han Sen masih melayang, namun pinggangnya mendadak mengerahkan tenaga. Kedua telapak tangan menekan kuat pada sayap burung itu. Dengan somersalt monyet roh, ia memanfaatkan gaya lawan untuk melompat kembali ke udara, lalu menunggangi punggung garuda raksasa.
Manusia dan burung seketika bergulat kusut bagai gulungan benang. Andai penghuni kedua alam semesta besar positif dan negatif menyaksikan ini, mereka takkan percaya bahwa dua makhluk mengerikan yang pernah menyerbu alam semesta raya ini sedang bertarung - lebih mirip preman yang berkelahi.
Dor! Tinju Han Sen menghantam wajah garuda raksasa. Darah keemasan beterbangan dari paruhnya yang retak.
Burung Garuda Emas tak kalah gesit, kedua sayapnya membungkus raga Han Sen, melakukan gulingan tanah yang menjatuhkan Han Sen ke bumi.
Kedua tangan Han Sen mencengkeram erat bulu halus di leher burung itu. Akibat hempasan itu, dua genggam bulu leher Garuda Emas tercabut.
"Aduh!" Teriakan kesakitan serentak meledak dari Han Sen dan Garuda Emas. Punggung Han Sen nyaris remuk akibat terjatuh, sementara burung itu merasakan sakitnya bulu tercabut hingga merasuk ke paru-paru dan hati.
Meski merintih, Han Sen langsung berbalik badan. Dengan punggung sebagai titik tumpu, kedua kakinya menghentak dengan dahsyat ke arah perut Garuda Emas.
Burung mitos itu merespons dengan sigap. Sepasang cakar menghadang serangan kaki Han Sen, sementara sayapnya yang setajam pisau menyambar ke arah leher pemuda itu.
Pertarungan sengit antara manusia dan burung, bulu burung beterbangan dan serpihan pakaian berhamburan di mana-mana, sesekali terdengar jeritan-jeritan memilukan. Pukulan demi pukulan mengenai daging, sayap demi sayap mengoyak darah, sulit ditentukan siapa yang unggul.
