Langit telah gelap. Yang Zhe dan kawan-kawan menginap di sebuah penginapan, berkumpul sambil minum teh dan mengobrol.
Kedatangan Istri Marquis Wu Ning membuat mereka terkejut.
“Anda Tuan Han, ya?” Istri Marquis Wu Ning mengamati sekilas, pandangannya tertuju pada Han Baocheng.
Han Baocheng memberi salam: “Selamat, Nyonya Marquis. Panggil saja hamba Baocheng.”
Istri Marquis Wu Ning tidak sempat bertele-tele, langsung bertanya: “Hari ini di Hutan Maple, apakah kalian bertemu Wei’er?”
Pertanyaan itu membuat mereka tertegun. Han Baocheng menjawab: “Ya, kami bertemu Nona Kedua Tang, berbincang sebentar lalu pergi.”
“Pelayan Wei’er mengatakan dia menuju arah kepergian kalian. Apakah setelahnya bertemu lagi?”
Mereka saling pandang, menyadari Tang Wei mengalami masalah.
Han Baocheng menjawab lebih hati-hati: “Tidak. Kami segera meninggalkan Hutan Maple.”
Istri Marquis Wu Ning menatap Han Baocheng dengan intens, tak bisa membaca kebenaran dari raut wajaknya. Dengan suara berat dia berkata: “Wei’er menghilang.”
Menghilang?
Meski sudah ada firasat, pernyataan itu tetap membuat mereka terkejut.
“Sudah larut begini, Wei'er masih belum ditemukan. Kami minta tolong kalian pergi ke Hutan Maple, tunjukkan jalan saat kalian pergi.” Istri Marquis Wu Ning berbicara cukup sopan, namun nadanya tidak menerima penolakan.
Beberapa orang menyanggupi.
Udara malam mulai dingin, dedaunan lembab, menghilangkan kenyamanan siang hari.
Di area Hutan Maple masih banyak biksu membawa lentera mencari.
Mereka menyusuri jalan saat keberangkatan, namun pelayan marquis dan biksu yang mengikuti tetap tidak menemukannya.
Banyak peziarah yang menginap memperhatikan keanehan di luar, termasuk Pangeran Wei yang secara spontan datang berhio.
“Cari tahu apa yang terjadi di luar.”
Pelayan yang diperintah keluar sebentar dan kembali dengan kabar.
“Lapor Paduka, kabarnya Nona Kedua Marquis Wu Ning hilang di Hutan Maple.”
Meski Istri Marquis berpesan pada biksu untuk tidak menyebarkan, tapi terhadap pertanyaan dari orang Pangeran Wei, biksu tentu tidak menyembunyikan.
“Marquis Wu Ning?” Pangeran Wei mulai tertarik.
Nona Kedua Marquis Wu Ning adalah adik ipar Putra Mahkota, hilang di Kuil Hijau Rusa?
Karena sedang tidak ada kerjaan, Pangeran Wei memutuskan keluar melihat keramaian.
Pelayan khawatirkan keselamatan Paduka: “Paduka, kabarnya pelayan Nona Kedua Tang tewas di hutan—”
Pangeran Wei tertawa: “Dengan banyaknya orang di sini, takut apa?”
Pelayan tidak berani menambah komentar.
Pangeran Wei berjalan perlahan keluar.
Tentu saja, postur tubuhnya yang terlalu besar membuat mustahil bergerak cepat.
Saat ini area yang paling ramai adalah bagian kamar tamu.
Istri Marquis Wu Ning yang tak kunjung mendapat kabar baik tentang putrinya, terus menahan Yang Zhe dan saudari Lin Hao.
"Orang terakhir yang bertemu putriku adalah kalian. Kini dia hilang tanpa jejak, hidup atau mati. Tolong jelaskan ke mana perginya!"
Lin Shi bertanya: "Apakah Nyonya Marquis sudah melapor ke pemerintah?"
Istri Marquis Wu Ning memandang dingin ke arah Lin Shi dengan wajah berlapis es.
Dari awal yang penuh harapan dengan menyuruh pelayan mencari, memberitahu biksu kuil, hingga menanyai para pangeran Kementerian, keyakinannya kian memudar - siapa yang akan langsung melapor ke pemerintah?
Lin Shi menyeringai: "Sebaiknya Nyonya cepat lapor ke pemerintah. Mereka yang akan menyelidiki tersangka, bukan menahan orang sampai tak bisa tidur begini!"
Istri Marquis Wu Ning meledak: "Lin Wanqing, kau pikir masih bisa semena-mena seperti masa mudamu? Jika Wei'er tak ditemukan, semua di kuil ini akan bertanggung jawab!"
Dulu Lin Wanqing sebagai putri Duke bisa menarik rambutnya tanpa konsekuensi. Kini keadaan berbalik - sebagai mertua Putra Mahkota, masak tak bisa menghadapi seorang janda miskin tak berdaya?
"Benarkah?" Suara malas terdengar menginterupsi.
Kerumunan menoleh dan melihat... sebuah bola.
"Hormat pada Pangeran!" Mereka serentak memberi salam.
Pangeran Wei perlahan mendekat: "Maksud Nyonya, kita semua tak boleh pergi sampai putri Nyonya ditemukan?"
“Pangeran Wei juga ada di sini?” Istri Marquis Wu Ning terlihat agak terkejut.
Karena anak sulungnya membanggakan, Istri Marquis Wu Ning sering bersikap tinggi hati saat berinteraksi dengan orang lain, tapi ini tidak berlaku untuk Pangeran Wei.
Bagaimana tidak? Kaisar hanya memiliki Putra Mahkota dan Pangeran Wei sebagai putra.
Pangeran Wei berkata dengan nada dingin: "Andai tahu datang bersembahyang tidak boleh pulang, hamba tidak akan berani hadir."
Wajah Istri Marquis Wu Ning berubah pucat: "Paduka salah paham, hamba tidak bermaksud demikian."
Pangeran Wei melirik Lin Shi: "Menurut hamba, pendapat nyonya ini benar. Cari orang yang perlu dicari, laporkan ke pihak berwajib yang perlu dilaporkan, istirahat yang perlu diistirahatkan. Tidak perlu berlama-lama begini. Bagaimana pendapat Nyonya Marquis?"
Istri Marquis Wu Ning memaksakan senyum: "Paduka berkata benar."
"Apakah personel pencarian cukup? Perlukah hamba meminjamkan beberapa orang?"
"Terima kasih atas kebaikan Paduka, tidak perlu. Banyak biksu di kuil sedang membantu mencari."
"Sekeliling gelap gulita memang sulit dicari. Mungkin siang nanti akan ketemu. Nyonya Marquis sebaiknya segera melapor ke pemerintah."
Pangeran Wei tak ingin melanjutkan percakapan. Tangan terkunci di belakang, matanya menyapu orang-orang yang hadir sebelum mendekati kelompok Yang Zhe.
"Anda adalah Zhuangyuan Yang?"
Yang Zhe merangkap tangan: "Murid yang hamba."
Pangeran Wei memaksakan senyum ramah: "Hamba punya kesan terhadap anda."
"Terima kasih atas perhatian Paduka." Jawab Yang Zhe dengan sikap santun.
Pangeran Wei menoleh ke Han Baocheng dan yang lain: "Jarang bertemu, temani hamba minum teh."
Beberapa orang itu diam-diam menghela nafas lega.
"Menemani Pangeran Wei minum teh jauh lebih baik daripada menemani orang dari Kediaman Marquis Wu Ning mencari seseorang di malam hari, apalagi harus menerima kecurigaan Istri Marquis Wu Ning."
Atas perkataan Pangeran Wei, Istri Marquis Wu Ning tidak bisa lagi menahan orang tersebut. Ia segera mengirim utusan kembali ke kota untuk melapor ke pemerintah, namun gerbang kota sudah ditutup. Menunggu kedatangan pihak berwenang harus menunggu sampai subuh.
"Nyonya, mari kembali ke kamar untuk beristirahat sebentar," bujuk pelayan.
Istri Marquis Wu Ning yang terbiasa hidup dalam kemewahan, meski khawatir pada putrinya, tak sanggup terus berdiri di luar. Ia pun mengangguk.
Pelayan membimbing Istri Marquis Wu Ning menuju kamar tamu. Saat hendak membuka pintu, tiba-tiba mereka melihat sepucuk surat terselip di celah pintu.
"Nyonya, lihat ini!" Pelayan menyodorkan surat itu.
Istri Marquis Wu Ning membuka surat tersebut. Di bawah cahaya oranye lentera, matanya cepat menyapu isi surat. Tangannya gemetar memegang kertas.
Setelah beberapa saat, ia berteriak: "Seseorang! Cepat panggil orang!"
Tak lama kemudian, kepala biarawan datang tergesa-gesa dengan beberapa orang.
Istri Marquis melemparkan surat itu sambil berkata keras: "Penculik putriku pasti orang yang familiar dengan topografi daerah ini!"
Kepala biarawan segera membaca surat tersebut.
Surat itu meminta Istri Marquis menyiapkan uang 1.000 tael dalam bentuk surat berharga, dan menaruhnya di bawah pohon pinus berikat kain biru dekat lembah di sekitar Hutan Maple. Hanya satu pelayan yang boleh membawa uang itu. Di sana, mereka akan mengetahui keberadaan Tang Wei.
"Nyonya, di kuil ada Biksu Prajurit. Biarkan mereka memeriksa lokasi itu."
“Tidak boleh!” Istri Marquis Wu Ning menentang keras, “Suratnya mengatakan, jika ada orang lain yang ditemukan, putri saya akan bernasib sama seperti pelayan itu.”
Hanya seribu tael perak, dibandingkan dengan keselamatan putri, tak berarti apa-apa.
