Lin Hao menengadahkan kepala sedikit merasakan hawa dingin dalam angin, menasihati: “Ibu, pulanglah besok. Sebentar lagi mungkin akan hujan.”
Dari belakang terdengar suara: “Bagaimana nona tahu sebentar lagi akan hujan?”
Lin Hao berbalik, melihat beberapa orang mengerumuni Pangeran Wei dari kejauhan. Yang bertanya tadi adalah Pangeran Wei sendiri.
“Hormat pada Pangeran.” Lin Shi melangkah maju menutupi kedua putrinya di belakangnya, memberi salam.
Pangeran Wei tersenyum: “Nyonya tak perlu sungkan. Saya dan beberapa teman sedang bersiap turun gunung hari ini. Terdengar ucapan putri nyonya yang menarik perhatian, jadi bertanya.”
Lin Hao mendengar ucapan Pangeran Wei, mata sampingnya mengamati halus beberapa orang di sekitarnya.
Yang Zhe, Han Baocheng, Wen Feng semuanya ada di sana.
Dia sejenak terkejut.
Tak disangka masalah Tang Wei malah menjadi kesempatan mereka menjalin hubungan dengan Pangeran Wei.
Lin Shi tak ingin berurusan dengan Pangeran Wei, tersenyum: “Ini cuma ucapan sembrono gadis kecil yang ingin main lebih lama. Jangan ditanggapi serius, Pangeran.”
Dia sama sekali tak ingin Pangeran Wei punya kesan baik pada putri-putrinya yang cantik. Bagaimana kalau nanti timbul niat untuk melamar?
Pemikiran Lin Shi sangat sederhana: Jangan sampai menikahkan putri dengan bola, bola seberharga apapun tetap tidak boleh.
“Ternyata hanya candaan.” Pangeran Wei tersenyum, seolah teringat sesuatu, “Belum pernah kutanya, istri dari istana mana?”
Lin Shi diam-diam waspada: “Hamba dari keluarga Lin di Istana Jenderal.”
“Keluarga Lin di Istana Jenderal——” Pangeran Wei tersadar, “Pantasan wajahmu terasa familiar.”
Lin Shi: “Hehe.”
Melihat Lin Shi tak banyak bicara, Pangeran Wei berpamitan.
Lin Shi lega, segera membawa Lin Hao dan saudarinya kembali ke kamar.
“Karena Pangeran Wei turun gunung hari ini, kita berangkat besok saja.”
Lin Chan bingung: “Ibu sepertinya sangat segan pada Pangeran Wei.”
Lin Shi berkata serius: “Kalian juga harus menjaga sikap, jauhi dia sebisa mungkin.”
Menatap tatapan bingung kedua putrinya, Lin Shi berbisik: “Pangeran Wei masih lajang, bagaimana kalau dia tertarik pada kalian?”
Lin Chan geli-geli kesal: “Hanya Ibu yang berpikir begitu, memilih selir kan tidak sembarangan.”
“Lebih baik begitu. Ibu ingin kalian menikah dengan yang setara dalam karakter, penampilan, dan latar belakang keluarga.”
Lin Hao terdiam sejenak.
Rupanya ibu begitu was-was karena menganggap Pangeran Wei gemuk, tak tahu bahwa saat kurus dia pun tampan.
Tentu tak perlu disebutkan hal ini.
Pangeran Wei dan rombongan selesai merapikan barang, turun dari gunung.
Yang Zhe dan kawan-kawan yang datang dengan kuda berpamitan, lalu melesat ke arah ibukota.
Pangeran Wei masuk ke kereta kuda, santai menuju ibukota.
Kereta kuda Pangeran Wei sangat luas dan mewah, di dalamnya dilapisi karpet brokat tebal. Dua pelayan muda yang tampan dan bersih masing-masing menyajikan teh untuk Pangeran Wei dan menyuapkan telur puyuh kecokelatan ke mulutnya.
Telur puyuh dimasak bersama daging babi lapis, menyerap kaldu daging hingga harum tanpa membuat enek.
Setelah beberapa hari menyantap hidangan vegetarian di Kuil Rusa Hijau, Pangeran Wei sudah tidak tahan. Begitu mencicipi telur puyuh, selera makannya langsung terbuka.
Saat sedang asyik menyantap, teringatlah ujuran Zhuangyuan Yang: "Murid memiliki resep turun-temurun Keluarga Zhang yang mungkin bisa mengatasi masalah obesitas Paduka."
Mungkinkah dia benar-benar bisa kurus?
Pangeran Wei menopang lemak di pipinya, masih merasa sulit percaya.
Tiba-tiba angin kencang bertiup di luar, tirai kereta pun berkibar-kibar.
Hujan mulai turun.
Memandang tirai hujan yang bersambungan di luar jendela, Pangeran Wei teringat perkataan gadis berrok hijau di Kuil Rusa Hijau: "Baiknya Tuan kembali besok saja, sebentar lagi mungkin akan hujan."
Benarkah dia bisa menebak dengan tepat?
Rasa penasaran membuat Pangeran Wei ingin memutar kereta, tapi akhirnya urungkan niat.
Keretanya begitu nyaman, hujan pun tak jadi masalah.
Soal gadis misterius itu, pasti akan bertemu lagi di ibukota.
Ngomong-ngomong, akhir-akhir ini sering bertemu orang-orang unik. Ada gadis itu, juga Zhuangyuan Yang.
Pangeran Wei tiba-tiba merasa kehidupan membosankannya mulai menarik.
Hujan tak banyak berpengaruh bagi Pangeran Wei yang duduk nyaman di kereta mewah, tapi menyiksa Yang Zhe dan kawan-kawannya.
“Berkuda dalam hujan, kalau sampai terkena typhoid akan merepotkan.”
Beberapa orang masuk ke rumah seorang petani untuk berteduh, tidak terhindarkan membahas Lin Hao.
“Saudara Wen, sepupumu juga punya kemampuan memprediksi cuaca melalui pengamatan langit?”
Wen Feng tersenyum: “Aku baru datang ke ibukota tahun ini, sebenarnya tidak terlalu dekat dengan sepupu. Dari interaksi di Istana Wen, dia cuma gadis biasa, hari ini mungkin cuma kebetulan.”
Saat mengatakan ini, tiba-tiba ia teringat perkataan ayahnya: Feng'er, ayah peringatkan, A'hao itu siluman pemakan manusia, jauhi dia!
Jangan-jangan sepupu—
Wen Feng menggelengkan kepala keras-keras.
Seorang bijak tidak membicarakan kekuatan aneh dan dewa-dewa yang kacau, jangan sampai terpengaruh omongan ayah!
Melihat Wen Feng yang biasanya tenang menggeleng tak terkendali, mereka berkata: “Saudara Wen, kami percaya padamu.”
Tidak perlu sampai sebegitu bersemangat.
Saat itu tuan rumah membawa seseorang masuk.
Seorang pemuda, rambut hitam pekatnya yang basah menempel di pipi pucat, mengurangi kesan lembutnya dan menambah aura dingin.
Han Baocheng tertegun.
Pemuda yang masuk ternyata pangeran muda dari Istana Jing yang dikenalnya.
“Putra Mahkota.” Han Baocheng menyapa sopan, dalam hati bergumam dua hari terakhir ini ada nuansa mistis, bertemu terus orang-orang berpangkat tinggi.
Qi Shuo menatap Han Baocheng.
Han Baocheng merapatkan tangan: “Kakek saya Menteri Pertahanan, nama saya Han Baocheng.”
“Tuan Han.” Qi Shuo mengangguk ringan, lalu memandang yang lain.
Di antara beberapa orang ini, sebenarnya ada tiga orang yang dia ketahui: Yang Zhuangyuan, Wen Feng, dan Han Baocheng yang tak sabar memperkenalkan diri.
“Yang Zhuangyuan.” Qi Shuo mengangguk.
Yang Zhe merapatkan tangan memberi salam: “Putra Mahkota.”
Tiga orang lainnya secara bergiliran memperkenalkan asal keluarga mereka.
Qi Shuo tetap tenang, tidak menunjukkan perhatian khusus pada Wen Feng.
Kehadiran Qi Shuo membuat suasana menjadi agak kaku sesaat.
“Apakah Putra Mahkota juga kembali ke kota?” Han Baocheng berusaha mencari topik.
Qi Shuo bertanya sambil tersenyum: “Apa kalian sedang berwisata keluar kota?”
“Kami kemarin mengunjungi Kuil Qinglu, tak disangka terjadi masalah. Hari ini setelah situasi jelas, kami pun pergi.
“Masalah apa?” Qi Shuo berpura-pura penasaran.
Insiden yang menimpa Nona Kedua Tang di Kuil Qinglu pasti tak bisa ditutupi, Han Baocheng pun menceritakan fakta sebenarnya.
“Di hadapan Buddha, bisa terjadi hal seperti ini.”
“Benar sekali. Putra Mahkota belum melihat pelayan yang lehernya ditusuk itu, sangat mengerikan.”
Semua orang serentak menyetujui: “Sangat mengerikan.”
Qi Shuo juga mengangguk: “Sangat mengerikan.”
Hujan tampak mulai reda, Qi Shuo menemui pemilik rumah: “Apakah ada perlengkapan hujan? Saya ingin membeli satu set.”
Pemilik rumah buru-buru menjawab: “Ada jas hujan dan topi anyaman, tapi sudah pernah dipakai, Tuan jika tidak keberatan——”
Qi Shuo tersenyum: “Ada yang bisa dipakai saja sudah bagus.”
Setelah membeli perlengkapan hujan, Qi Shuo berpamitan dengan Han Baocheng dan lainnya, mengenakan jas hujan dan topi anyaman lalu pergi menunggang kuda.
Hujan deras berubah menjadi gerimis halus, Lin Hao memegang payung bambu hijau, memandang jauh ke kejauhan.
Langit kelabu suram, di kaki gunung masih terlihat biksu dan petugas yang berjaga di jalan, di jalan resmi sesekali melintas kereta kuda yang melaju perlahan, juga pejalan yang kehujanan terlihat compang-camping.
Seorang bertopi anyam menunggang kuda, mungkin talinya tidak terikat baik, topinya terlempar jatuh ke tanah.
Lin Hao menggosok matanya, mengira penglihatannya bermasalah.
Kenapa orang itu mirip Pangeran Jing?
