Seperti Qixi, Festival Shangyuan tahunan juga dinanti-nanti gadis muda. Pada hari itu, berkumpul dengan dua tiga sahabat untuk menikmati lentera, atau berpacaran di bawah bulan, menjadi momen langka untuk bersenang-senang.
"Mungkin akan keluar dengan kakak atau teman-teman." Lin Hao balas bertanya sambil tersenyum, "Bagaimana dengan Putra Mahkota?"
“Mungkin akan jalan-jalan dengan adik kedua dan yang lain.” Qi Shuo memandang sisi wajah gadis itu yang anggun, ucapan undangan itu tak kunjung terucap.
Dia sangat menyesal.
Menyesali pengecutnya, tak pernah memberitahu gadis yang tak bisa bicara itu bahwa dia selalu ingin menemuinya.
Melihatnya sesekali duduk termenung di pohon, melihatnya diam-diam mendengar orang bercanda, melihatnya menatap seseorang dengan renungan.
Dia seolah menyimpan banyak rahasia, karena tak bisa bicara, semua itu disembunyikan di hati.
Ketika dia tiada, barulah dia tahu perasaan ingin bertemu itu ternyata adalah rasa suka.
Hatinya tertambat pada gadis tetangga di balik tembok.
Tak ada orang yang lebih bodoh darinya.
Untungnya mereka bertemu lagi.
Saat pedang panjang menembus dadanya, dia memeluknya dengan sukacita.
Balas dendam terlampiaskan sekaligus bisa bersama gadis tercinta selamanya, sungguh dia orang yang beruntung.
Tak disangka ada keberuntungan yang lebih besar.
Saat membuka mata, wajah cerahnya muncul di atas tembok, lalu terjatuh karena panik.
Penderitaan dan bau anyir darah itu seolah hanya mimpi buruk panjang, mereka masih hidup di usia terbaik mereka.
Kali ini, demi reputasinya, dia tak lagi pura-pura tak melihat lalu pergi.
Dia menangkapnya.
Sayangnya saat memberanikan diri membujuk ibunda untuk melamar ke Keluarga Wen, tetap ditolak.
Dia terlalu terburu-buru.
Sekalipun di mata orang lain keturunan dan penampilannya cukup baik, jika dia tak suka, tak akan menerima.
Dia hanya bisa diam-diam membuatnya perlahan mengenalnya, memahami dirinya, menunggu saat tepat baru mengungkapkan perasaan.
“Putra Mahkota sedang memikirkan apa?”
Qi Shuo tersadar, tatapannya masih samar: “Tiba-tiba teringat hari raya Shangyuan tahun lalu, gunungan lentera dan teka-teki itu menarik banyak peserta, tapi tak ada yang berhasil mendapatkan lentera kaca patri itu.”
“Benarkah tidak ada yang berhasil menebaknya?”
Di ibukota, ada tradisi saat hari raya Shangyuan dimana keluarga pejabat akan membuat gunungan lentera sembilan lantai. Setiap lantai memiliki empat lentera di sudutnya, hingga ke lantai sembilan bagian tengah dimana lentera kaca patri tercantik digantungkan.
Tingkat kesulitan teka-teki meningkat seiring ketinggian lantai. Peserta hanya punya satu kesempatan untuk menebak teka-teki di lantai manapun – jika benar, mereka berhak mendapat lentera tersebut.
Lentera kaca patri di puncak adalah lentera istana. Menurut aturan tidak tertulis, hanya pria lajang yang boleh menebak teka-teki ini. Jika berhasil, mereka harus memberikan lentera itu kepada seorang perempuan.
Bagi yang sudah punya pasangan tentu jelas maksudnya. Bagi yang belum, ini jadi kesempatan halus mengungkap perasaan. Lentera istana yang melambangkan kebahagiaan dan keberuntungan ini akan diterima perempuan meski tak berminat, dan penolakan setelahnya tak akan memicu gunjingan.
Di hari seperti Shangyuan, orang-orang cenderung lebih lunak pada pemuda-pemudi yang baru merasakan cinta pertama.
Pria yang bisa memecahkan teka-teki tersulit ini biasanya berbakat luar biasa. Sejak tradisi ini ada, para pemberi lentera selalu berhasil memperoleh kecantikan, menambah kisah indah perayaan Shangyuan.
Lin Hao sebenarnya cukup menyukai permainan ini. Namun karena Jenderal tua Lin meninggal karena sakit, dia tidak keluar bermain selama hari raya Shangyuan tahun lalu dan tahun sebelumnya, juga tak ada semangat untuk memperhatikan hal-hal seperti ini.
“Hingga pesta lampion usai, tak seorang pun bisa menebak.” Qi Shuo menceritakan kejadian lucu saat Festival Shangyuan tahun lalu, sementara rumah mereka semakin dekat.
“Putra Mahkota, lebih baik kita berpisah di sini dulu.” Lin Hao mengusulkan.
Mengingat mereka memang tetangga, kebetulan pulang bersama sebenarnya tak masalah. Namun penampilan pria dan wanita berjalan bersama bisa memicu prasangka orang.
“Kalau begitu Nona Kedua Lin silakan duluan.”
Lin Hao mengangguk-angguk pelan, lalu melangkah menuju Istana Jenderal.
Qi Shuo tetap berdiri di tempat, memandang bayangan itu lenyap di tikungan, mulai menantikan kedatangan Festival Shangyuan.
“Kakak, kenapa kau diam di sini?” Qi Huan mendekat dengan bingung, tiba-tiba panik, “Kakak, jangan-jangan penyakit jantungmu kambuh?”
Penyakit jantung?
Sudut mulut Qi Shuo berkedut.
Hampir saja lupa, dia punya "penyakit jantung".
“Jangan ngawur. Aku cuma melihat pemandangan di sini.”
“Pemandangan?” Qi Huan memandang sekeliling bingung, “Ini cuma tembok gundul, mana ada pemandangan?”
“Dari mana kau?” Qi Shuo mengalihkan topik.
Qi Huan berjalan sambil menjawab: “Janji makan kuali domba gemuk rekomendasi Kakak dulu bareng teman.”
Wajahnya merah kesal: “Waktu itu sudah janji sama adik, tapi dia malah makan sama temannya dan menyuruhku pindah tempat.”
Kakak makan sama teman, adik makan sama teman. Teman macam apa yang lebih penting darinya?
Dia juga mau makan sama teman!
Qi Shuo tersenyum: “Makan kuali ramai-ramai lebih seru.”
Qi Huan membayangkan situasi makan kuali yang ramai bersama beberapa teman, tak bisa menahan anggukan: “Benar juga. Eh, Kakak bawa apa itu?”
Qi Shuo menunduk melihat guci kecil cokelat di tangannya: “Acar pemberian teman.”
Mata Qi Huan berbinar: “Enak tidak? Enak tidak?”
“Acar bawang putih, kamu mau makan?”
Qi Huan langsung kehilangan minat: “Acar bawang putih? Lebih baik tidak, nanti bau mulut. Kakak, kok bisa suka makan ini?”
“Kakak laki-laki yang dingin, pendiam, dan sakit-sakitan ini ternyata suka makan bawang putih?”
Qi Huan mengamati tatapan kakaknya dengan penuh rasa ingin tahu.
Jangan-jangan terpengaruh oleh teman tertentu?
“Selalu suka.” Qi Shuo berkata datar.
Tak lama kemudian Festival Shangyuan semakin dekat. Lin Hao menerima dua lembar undangan: satu dari Putri Kecil Qi Qing, satunya lagi dari Putri Tertua Keluarga Huai'an Bo, Chen Yi. Keduanya mengajaknya bermain saat festival.
Lin Hao berdiskusi dengan Lin Chan: “Berapa undangan yang diterima Kakak?”
Lin Chan tersenyum: “Hanya dari Putri Kabupaten, itu pun karena cahaya adik.”
Pasangan bertunangan boleh berkencan secara terbuka saat Festival Shangyuan, sehingga teman biasanya tak akan mengganggu. Tapi Putri Kecil adalah teman bersama saudari Lin, tentu tak pantas hanya mengundang Lin Hao.
“Kalau begitu mari kita bersama Putri kabupaten.”
Lin Chan menggelengkan kepala menolak: “Aku tidak ikut. Putri kabupaten dan Nona Chen Pertama berulah baik, Ermei lebih baik mengundang mereka bersama.”
Memang pasangan bertunangan boleh berkencan, tapi status asli Pangeran Wei berbeda, belum sampai tahap Dua Hati Saling Jatuh Cinta, tentu tak ada kencan.
“Kakak pertama pergi saja, dua tahun terakhir kau tidak pergi.” Lin Hao membujuk.
“Aku memang tidak suka keramaian, lagipula ini kan pernikahan strategis dengan keluarga kerajaan, lebih baik tidak ikut ramai-ramai.” Lin Chan melihat adiknya, berkedip, “Adik kedua main baik-baik dengan teman, tahun depan mungkin yang menemanimu bukan lagi teman sapu tangan.”
Lin Hao setelah tahun baru ini sudah 17 tahun, urusan pernikahan hampir pasti akan ditetapkan.
“Kalau kakak tidak mau pergi ya sudah, masih harus mengolok-olokku.”
Kedua saudari ini bercanda bersama.
Yang mengejutkan Lin Hao adalah, sebelum sempat mengundang Qi Qing dan Chen Yi bersama, Qi Qing sudah datang mencarinya.
“A'hao, maaf sekali, di Festival Shangyuan aku tidak bisa bersamamu. Istana menyuruhku naik Menara Xuande untuk melihat lampu hari itu.”
