Kesediaan cepat Cheng Maoming sudah diperkirakan Qi Shuo. Dia memberikan alasan yang sudah disiapkan: "Tidak perlu melakukan hal lain. Jika tidak merepotkan, berikan fasilitas makan dan tempat tinggal yang baik, asalkan dia tidak kabur."
Keanehan di mata Cheng Maoming hampir tak bisa disembunyikan.
Pasti ini perempuan yang punya hubungan dengan Putra Mahkota Pangeran Jing. Setelah bertunangan, Putra Mahkota tidak bisa mengusirnya, malah terpikir untuk mengurungnya di Jilinwei. Harus diakui cara Putra Mahkota Pangeran Jing memang berbeda dari orang biasa.
“Tidak merepotkan, tidak merepotkan。”Cheng Maoming menunjukkan ekspresi pengertian.
Meski merasa ekspresi lawan bicaranya aneh, Qi Shuo tetap tersenyum mengucap terima kasih: "Terima kasih banyak, Panglima Besar. Saya akan segera memerintahkan pengawal keluarga untuk mengantar orangnya ke sini."
“Tidak masalah. Berapa lama Putra Mahkota ingin mengurungnya?”
“Tahan saja dulu, sampai dia mengerti.”
Cheng Maoming mengangguk: "Baik. Putra Mahkota tenang, saya akan mengendalikan bawahan untuk menjaga mulut mereka."
Qi Shuo mengucap terima kasih lagi, lalu kembali ke Istana Jing.
Du Qing mendengar langkah kaki di luar pintu, matanya menjadi waspada.
Beberapa hari ini dia terus berada di ruangan pengap ini, selain orang yang mengantar makanan tepat waktu, tak ada yang menghiraukannya. Kesunyian dan isolasi yang berkepanjangan bisa membuat orang gila.
Ini bukan waktu pengantaran makanan, siapa yang datang?
Saat sedang berpikir, pintu berderit terbuka, seorang pemuda bertubuh tinggi masuk.
Tatapan Du Qing menjadi tajam.
Itu Putra Mahkota Jing!
Dia menatap Qi Shuo yang mendekat beberapa langkah, tanpa bersuara.
“Hari ini kau akan dipindahkan ke tempat lain.” Suara Qi Shuo santai seolah mengobrol biasa.
Du Qing memandanginya, dari wajah muda itu hanya terlihat ketenangan.
Dia berpikir, ini benar-benar tidak seperti pangeran muda yang dibesarkan dengan kemewahan.
“Apa sebenarnya yang kau inginkan?” Setelah diam sejenak, Du Qing bertanya.
Kalau lawannya yakin dia ingin menyakiti Nona Lin Er, mengapa hanya membuangnya di sini tanpa interogasi, alih-alih memberi hukuman langsung.
Qi Shuo tersenyum: “Sudah kukatakan, memindahkanmu ke tempat lain.”
Terhadap orang yang berniat menyakiti Lin Hao, dia (laki-laki) sulit bersikap baik. Senyum dinginnya membuat Du Qing semakin merasa tak terduga.
"Bawa pergi." Setelah perintah Qi Shuo, dua pengawal muda segera masuk dan membawa Du Qing keluar.
Kereta kuda sudah menunggu di gerbang bulan. Dia dimasukkan ke gerbong dan langsung dibawa ke Jilinwei.
Cheng Maoming sudah menunggu sejak lama.
Sebenarnya menahan orang biasa tak perlu dia turun tangan, tapi rasa ingin tahu terlalu besar.
Dia ingin melihat bagaimana rupa perempuan yang membuat Putra Mahkota Jing terusik ini.
"Sudah sampai?" Cheng Maoming mendatangi tempat Du Qing ditahan.
Bukan selasar gelap, ruangan itu justru mirip kamar tamu biasa. Di Jilinwei, banyak ruangan seperti ini untuk menahan orang berstatus tinggi yang belum divonis.
Melihat Cheng Maoming masuk, bawahan-bawahan segera memberi hormat.
"Datuk."
Cheng Maoming mengabaikan sapaannya, matanya tertancap pada wajah Du Qing.
Ini... laki-laki??
Masih tak percaya, dia bertanya pada pengawal: "Ini orang yang dikirim Putra Mahkota Jing?"
Setelah mendapat konfirmasi, raut wajah Cheng Maoming semakin aneh.
"Datuk--"
Cheng Maoming tersadar, kembali memasang wajah tegas: "Jangan biarkan dia kelaparan, juga jangan sampai kabur."
"Setuju."
Cheng Maoming memandang Du Qing sekali lagi dalam-dalam sebelum pergi.
Malam itu, rumah tua beraura kematian tiba-tiba ramai. Beberapa orang berkumpul di aula berdiskusi dengan lampu minyak redup seperti kacang di atas meja.
“Kabarnya, Kepala Du sudah tidak di Istana Jing lagi, dikirim ke Jinlinwei.” Seorang pria dengan bekas luka di sudut mata berbisik.
Wajah beberapa orang lainnya tampak muram.
“Tak disangka Putra Mahkota Jing begitu licik, sama sekali tidak mengikuti pola biasa!”
“Benar, persiapan pengintaian selama beberapa hari ini sia-sia belaka.”
Beberapa hari terakhir mereka menghentikan aktivitas lain dan berputar-putar di sekitar Istana Jing, bertekad menyelamatkan Du Qing. Ternyata upaya mereka sia-sia.
“Putra Mahkota Jing ini, cari kesempatan untuk memberinya pelajaran!”
Pria bekas luka melirik si pembicara: “Jangan cari masalah lagi. Bisa membuat Kepala Du terjatuh, kau pikir mudah mengganggu Putra Mahkota Jing? Yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan Kepala Du.”
“Itu sulit. Penjara Jinlinwei sekuat tembok baja. Lagipula jika kita bertindak, akan masuk radar Jinlinwei. Aktivitas kita ke depan akan semakin sulit.”
Mereka terdiam.
Tugas Jinlinwei memang mencari dan menyelidik. Mereka harus menghindari perhatian, apalagi menyerang penjara dan menarik mata Jinlinwei - itu akan merepotkan di kemudian hari.
Setelah lama, seseorang mencoba mengusulkan: “Bagaimana kalau... tunggu kesempatan lagi?”
“Hanya bisa begitu.” Yang lain satu per satu menyetujui.
Lampu sebesar kacang padam, aula terbenam dalam kegelapan. Di bawah cahaya bulan, mereka menyelinap keluar dari rumah kosong dan berpencar ke segala penjuru.
“Jalan-jalan utama di Beijing ditambah frekuensi penyapuannya, jalan yang diaspal dengan batu pipih selalu bersinar, terutama di Jalan Jinxiu, bahkan semak bunga di kedua sisinya dipangkas rapi.”
Pemerintah punya maksud jelas: menunjukkan kemegahan ibukota Zhou kepada utusan Yuliu.
Ini bukan sekadar soal memalukan, tapi juga bentuk tekanan tak langsung.
Baik individu maupun negara, psikologi mengagumi kekuatan tak terhindarkan. Bila orang Yuliu menyadari kemakmuran Zhou, mereka akan lebih hati-hati dalam memilih antara Zhou dan Qi.
Memasuki awal musim panas, akhirnya tiba hari kedatangan utusan Yuliu ke ibukota.
Banyak masyarakat menyelinap di tepi jalan untuk menyaksikan, Qi Shuo dan Lin Hao juga ada di antara mereka.
Setelah bertunangan, akhirnya mereka bisa berkencan secara terbuka.
“Orangnya agak banyak, mau naik ke gedung teh untuk melihat?” Qi Shuo menunjuk ke gedung teh seberang.
Ruang VIP lantai dua gedung teh tepi jalan itu sudah lama dipesan habis demi kemudahan melihat keramaian dari atas, salah satunya memang pesanan Qi Shuo.
“Tidak perlu, melihat begini juga seru.” Lin Hao berjinjit, memandang ke arah gerbang kota.
Qi Shuo tertawa geli melihat semangatnya yang suka melihat keributan.
Dikelilingi orang, suara riuh tak henti, diam-diam ia menggenggam tangan lembut itu.
Lin Hao meliriknya cepat, berbisik: “Nanti dilihat orang!”
“Orang-orang semua sedang melihat utusan Yuliu.” Qi Shuo tetap tenang, tak mau melepas.
Lin Hao menunduk melihat tangan yang bergandengan tertutup lengan baju, mengatupkan bibir, akhirnya membiarkannya.
Setelah bertunangan baru tahu, Putra Mahkota Jing itu kulit wajahnya tebal sekali!
“Datang, datang!” Sorak-sorai bergema, kerumunan mulai bergerak tak menentu.
Qi Shuo menyamping menghalangi orang yang berdesakan, matanya menatap ke arah sana.
Sebuah rombongan berpakaian khas Yuliu berjalan dari arah gerbang kota. Barisan mereka panjang, ada yang menunggang kuda, berjalan kaki, juga mengendarai kereta kuda.
Dua kereta di tengah barisan berjalan berurutan, masing-masing ditarik empat ekor kuda gagah. Warna bulu kuda-kuda ini seragam, tampak perkasa. Tak perlu ditebak, jelas penumpang kedua kereta ini adalah pejabat tertinggi dari rombongan Yuliu.
Qi Shuo berbisik di telinga Lin Hao: “Katanya ada seorang pangeran dalam rombongan utusan Yuliu kali ini.”
Tirai jendela kereta yang berjalan di depan tergulung rapi. Karena laju kereta pelan, terlihat jelas sosok pria muda duduk di dalamnya.
Lin Hao melirik sebentar lalu kehilangan minrat, beralih memandang kereta yang tertutup rapat itu.
