Begitu mendengar Lin Hao datang, Wen Feng berlari menyambut.
“Dengar Kakak Sebelas pulang, Ibu menyuruhku datang melihat.” Lin Hao tersenyum memberi isyarat pada Bao Zhu untuk menaruh hadiah.
Wen Feng terharu: “Bibi dan adik masih ingat padaku.”
Untuk hadiah dari Lin Hao, dia tidak menolak agar tidak terlihat kaku.
“Kakak Sebelas pasti menderita beberapa hari ini.” Lin Hao memandangi Wen Feng yang kurus, membuka percakapan dengan natural.
Sedih mengambang di mata Wen Feng, senyumnya pahit tak tertutupi: “Cuma tinggal di luar beberapa hari, bukan masalah besar.”
"Dibandingkan dengan Putra Mahkota yang telah tiada, penderitaan beberapa hari ditahan apa artinya?"
Wen Feng adalah pria berbudi luhur. Selama beberapa hari di Jilinwei, ia hampir tidak bisa tidur nyenyak. Daripada mengkhawatirkan dirinya sendiri, ia lebih berduka atas kematian Putra Mahkota.
"Syukurlah semuanya sudah berlalu." Lin Hao menghibur dengan suara lembut.
Sudah berlalu?
Mendengar ini, Wen Feng terlihat kehilangan fokus.
Apakah benar sudah berlalu?
Putra Mahkota tewas. Apakah harus mengangkat Pangeran Liang yang tak berbudi dan tak cakap sebagai pengganti? Jika tidak, lalu bagaimana?
Andai saja hari itu mereka tidak menemani Putra Mahkota minum-minum di luar, mungkin insiden ini tidak akan terjadi?
Tidak mungkin berlalu. Kematian Putra Mahkota telah mengubah segalanya, baik bagi Kabupaten Zhou maupun dirinya. Hari itu akan menjadi mimpi buruk yang terus menghantui seumur hidup, beban hati yang tak terselesaikan.
"Kakak Sebelas."
Mendengar panggilan Lin Hao, Wen Feng tersentak sadar. Buru-buru ia mengangkat teko teh untuk mengisi cangkirnya, menyembunyikan kekikukannya: "A'hao, minumlah teh."
Lin Hao pura-pura tak menyadari kegugupan Wen Feng. Ia mengangkat cangkir dan menyesap perlahan.
"Ini bukan teh berkualitas." Wen Feng tersenyum malu.
"Menurutku cukup enak." Lin Hao menyesap lagi, lalu mengangkat topik yang ia khawatirkan: "Kakak Sebelas, menurutmu seperti apa Yang Zhe itu?"
Wen Feng tertegun, tatapannya menunjukkan keanehan: "Kenapa tiba-tiba menyinggung dia?"
Lin Hao menunduk, menatap daun teh yang melayang di cangkir: "Hanya penasaran. Tidakkah Kakak merasa terlalu banyak kejadian aneh yang berkerumun di sekitar Yang Zhe?"
Sorot mata Wen Feng berkedip, menangkap maksud tersirat Lin Hao: "Kau pikir Yang Zhe tidak tak bersalah?"
“Lin Hao memegang cangkir teh, tidak berbicara。”
Wen Feng perlahan menggelengkan kepala: "Tidak mungkin."
Di bawah pandangan tenang bagai air sang gadis muda, suaranya semakin tegas: "Dia seorang junzi yang berkelakuan mulia dan lembut seperti giok. Jika kamu lebih sering bersamanya, kamu akan mengerti."
“Pujian Kakak Sebelas untuk Yang Zhe sungguh tinggi.” Lin Hao menarik sudut bibirnya.
Ekspresi Wen Feng semakin serius: "Ini hanya perasaan nyata saat bersamanya. Tanya saja Baocheng dan yang lain, jawabannya sama. Memang banyak kejadian di sekitar Yang Zhe, tapi semakin menonjol seseorang semakin mendapat perhatian. Bagaimana menurutmu, A'hao?"
Lin Hao tersenyum melengkungkan bibir.
Melihat sikap sepupu yang sangat mengagungkan Yang Zhe, jelas tak bisa ditanya lebih jauh.
Dia meletakkan cangkir teh, ucapan pamit belum sempat terucap ketika tirai pintu tiba-tiba tersibak.
“Feng'er——”
Orang yang membawa benda di kedua tangan itu berseru riang, namun saat melihat wajah cantik Lin Hao yang menoleh, suaranya terhenti mendadak.
Barang di tangan Wen Rusheng jatuh ke lantai, matanya melotot lebar: "Kamu, kamu, kamu——”
Lin Hao berdiri, menampilkan senyuman manis: "Paman Delapan."
Teriakan nyaring ini membuat Wen Rusheng kaget lalu lari terbirit-birit, karena gerakannya terlalu tergesa menabrak bahu Wen Ping yang ada di belakangnya.
Wen Ping terjatuh, sementara Wen Rusheng menghilang seketika. Buah-buahan yang berserakan menggelinding menambah kekacauan adegan ini.
Lin Hao menatap Wen Ping sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke wajah Wen Feng: "Kakak Sebelas, Paman Delapan dia——”
Masih percaya aku ini siluman?
“Wen Feng merasa sangat canggung, pikirannya berputar cepat mencari alasan yang kurang meyakinkan: "Ayahku sangat ketakutan karena kejadian beberapa hari ini, dia mudah panik tiba-tiba melihat orang... Paman Ping, cepat cari ayahku!"
Wen Ping bangkit berdiri, menatap Lin Hao sejenak dengan dalam, mengiyakan lalu buru-buru mengejar keluar.
"A'hao, maaf sekali." Wen Feng menggaruk kepalanya, kehilangan kesan tenang yang biasa.
Utamanya karena gugup, kalau A'hao tahu ayahnya menganggapnya sebagai siluman, sungguh memalukan.
"Paman Delapan hanya khawatir pada Kakak Sebelas. Kakak Sebelams baiknya menjenguk Paman Delapan, aku juga harus pulang."
"Aku akan mengantarmu keluar."
Lin Hao tidak menolak.
Bagaimanapun juga harus keluar.
Mereka berdua keluar dari pintu halaman, menyusuri gang namun belum beberapa langkah, menyadari sesuatu yang tak beres di depan.
Di mulut gang berkumpul banyak orang, suara keributan terdengar.
Lin Hao dan Wen Feng saling bertatapan.
"A'hao, aku lihat dulu." Wen Feng teringat sesuatu, melemparkan ucapan ini lalu berlari ke depan.
Meski Lin Hao tak peduli pada pamannya itu, demi Wen Feng ia tak bisa bersikap terlalu dingin, sehingga mempercepat langkah.
Keluar dari mulut gang, ternyata Wen Rusheng sedang dalam masalah.
Dia duduk di tanah mengerang kesakitan, Wen Ping menahan seorang pria tak membiarkannya pergi.
Pria itu juga bukan sembarangan, wajahnya memerah marah: "Kenapa aku harus ganti rugi? Dia sendiri yang menabrak!"
"Kamu sakiti orang masih merasa benar ya?"
Wen Feng bergegas mendekat, membungkuk membantu Wen Rusheng: "Ayah, Bapak baik-baik saja?"
Wen Rusheng menunjuk kaki kanannya: "Kaki sakit!"
"Bagian lain ada yang sakit?"
Melihat putranya panik, Wen Rusheng menggelengkan kepala: "Hanya pergelangan kaki yang terkilir saat jatuh, yang lain baik-baik saja."
Wen Feng menarik napas lega, memanggil Wen Ping yang sedang berdebat dengan pria itu: "Paman Ping, biarkan dia pergi, bawa ayah ke klinik dulu."
Wen Rusheng tak rela: "Dilepas begitu saja?"
Wen Feng tahu cara meyakinkan ayahnya: "Sekarang bukan saatnya cari masalah, setuju kan Ayah?"
Wen Rusheng langsung diam.
Setelah pria itu dilepas, orang-orang yang berhenti mengintip keramaian pun berhamburan.
Lin Hao mendekat dengan wajah penuh perhatian: "Paman Delapan tidak apa-apa?"
Wen Rusheng refleks menggigil. Jarak yang sangat dekat membuatnya tak berani bergerak, berpura-pura lupa wajah asli gadis muda ini: "A'hao datang. Aku baik-baik... Sreeek--"
"Ayah, aku gendong ke klinik." Wen Feng menggendong ayahnya dengan sedikit kesulitan, untung Wen Ping membantu menopang.
Wen Rusheng tak tega: "Biarkan Wen Ping saja yang menopangku."
"Tidak boleh. Kita belum tahu seberapa parah lukanya." Wen Feng menegakkan postur dan melangkah.
"Kakak Sebelas, naik kereta kudaku saja." Lin Hao menunjuk kereta kuda yang parkir di pinggir jalan.
Wen Feng terus berjalan: "Tak perlu, kliniknya dekat di sana."
Lin Hao mengikuti arah pandangannya. Di seberang jalan terlihat klinik kecil berpapan nama "Danxin Tang".
Wen Feng menggendong Wen Rusheng dan mempercepat langkah, segera sampai di seberang jalan.
Melihat situasi itu, Lin Hao diam-diam mengikuti.
"Apakah tabib ada? Segera periksa tuan kami!" Begitu masuk pintu klinik, Wen Ping langsung berteriak.
Tabib berusia sekitar 40 tahun itu mendengar teriakan dan mendekat: "Bukankah ini Tuan Wen? Ada masalah apa?"
Keluarga Wen Feng sudah menyewa tempat ini lebih dari setahun. Karena klinik ini dekat, mereka sesekali berobat sehingga wajahnya sudah dikenali.
