Qi Shuo berjalan mendekati pintu Istana Jenderal dan memperlambat langkahnya.
Pintu gerbang berhias kepala binatang yang familier, sepasang singa batu yang tak asing, tembok biru yang sama seperti dulu - semuanya tak berubah sejak ia meninggalkan ibukota. Tapi entah mengapa, muncul perasaan canggung saat mendekati kampung halaman.
"Putra Mahkota datang!" Penjaga gerbang Istana Jenderal menyambut dengan senyum saat melihat Qi Shuo diam berdiri.
Qi Shuo menyadarkan diri, tersenyum sopan: "Saya datang untuk memberi salam pada Nyonya besar dan calon mertua."
"Silakan masuk, Tuan Putra Mahkota." Penjaga gerbang dengan antusias mempersilakannya masuk.
Lin Hao yang baru pulang dari jalanan langsung berganti baju-baju cantik baru dan pergi ke halaman utama menemani Nyonya besar mengobrol.
Lin Shi yang ikut nimbrung tak lupa mengejek putrinya: "Lihat kau yang tidak sabar ini. Urusan Putra Mahkota Jing setelah pulang dari jamuan di istana pasti banyak, mungkin baru bisa datang besok."
Lin Hao mengatupkan bibirnya sambil tersenyum: "Dia pasti akan datang memberi salam pada nenek dan ibu."
Melihat keceriaan polos putrinya, Lin Shi menggelengkan kepala: "Baju meriahmu melebihi pakaian Tahun Baru ini, tidak takut diejek Putra Mahkota?"
Perempuan yang pernah menderita karena perempuan tidak cukup anggun ini selalu gelisah melihat sikap putrinya.
Lin Hao menunduk memandang gaun berwarna hijau muda bermotif bunga mawar, berkilau menjawab: "Justru harus berdandan cantik agar dia bisa melihat."
Lin Shi hendak melanjutkan nasihatnya, tapi dicibir Nyonya besar: "Jangan kau ajar-ajari A'hao lagi. A'hao jauh lebih punya perhitungan daripada ibunya!"
“Gadis bodoh ini, saat harus menjaga sikap malah tidak bisa, saat tidak perlu justru canggung. Jika cucu benar-benar mendengarkannya, pasti akan tersesat.”
Ketiga generasi itu sedang berbincang ketika seorang pelayan masuk melapor: “Putra Mahkota datang.”
“Cepat silakan masuk.”
Tirai sutra tipis segera dibuka. Nyonya besar dan Lin Shi tersenyum melihat pemuda yang masuk.
Qi Shuo memberi salam hormat kepada Nyonya besar dan Lin Shi, lalu pandangannya beralih ke wajah Lin Hao.
Gadis cantik itu tersenyum padanya dengan baju baru nan indah, bagai bunga mekar di awal musim panas yang memenuhi pandangannya.
Ia mengalihkan pandangan dengan penuh pengendalian, menjawab pertanyaan dua generasi tua: “Tidak terlalu berat, sudah terbiasa. Kemenangan adalah yang utama...”
Nyonya besar dan Lin Shi mengajukan banyak pertanyaan yang dijawab dengan sabar dan teliti.
Nyonya besar sangat puas dengan menantu ini. Dengan bijak ia memberi waktu pada pasangan muda: “Kembali selamat sudah membuatku dan ibu mertuamu lega. A'hao, temani Putra Mahkota jalan-jalan ke taman.”
“Mmm.” Lin Hao berdiri mendekati Qi Shuo, wajah manisnya tersenyum. “Ayo.”
Taman di bulan April mencapai puncak keindahannya, dipenuhi bunga dan rimbun pepohonan. Seolah sengaja memberi ruang bagi pasangan yang lama tak bertemu, hanya Bao Zhu yang mengikuti dari belakang, tak ada pelayan lain di sepanjang jalan.
Tanpa terasa, mereka sampai di tembok itu.
Qi Shuo berhenti. Lin Hao pun ikut menghentikan langkah.
Keduanya yang telah diam sepanjang perjalanan berpandangan, mata penuh kebahagiaan.
“Aku sudah kembali.” Qi Shuo membuka mulut.
Lin Hao tersenyum: “Aku tahu kau pasti akan kembali.”
Semua kekhawatiran, kecemasan, dan keraguan itu tak perlu disebut di hari pertemuan kembali ini.
Qi Shuo teringat reaksi Lin Hao di gedung teh: “A’hao, kenapa kau menghindar saat melihatku?”
“Oh, saputanganku jatuh.” Lin Hao menjelaskan dengan tenang bagai awan tipis.
Putri Kecil tak tertipu, tapi Qi Shuo percaya: “Waktu itu kukira kau marah.”
“Marah karena apa?” Lin Hao balik bertanya sambil tersenyum.
Qi Shuo menundukkan mata, pandangan lembutnya menyelimuti wajah porselen putih gadis muda: “Marah karena aku berpura-pura luka berat membuatmu khawatir.”
Lin Hao mengangguk halus: “Memang khawatir, tapi aku tahu kabar yang beredar dilebih-lebihkan. ‘Luka berat’ itu pasti untuk rencana selanjutnya.”
Akal sehat berkata begitu, tapi kekhawatiran tetaplah nyata.
“A’shuo, kemarilah duduk.” Lin Hao menarik Qi Shuo ke belakang rak bunga yang dipenuhi mawar, di sana ada satu meja dua kursi, persis seperti sudut kecil di taman istana yang hanya terpisah tembok.
Saat Qi Shuo baru berangkat dari ibukota, Lin Hao tak bisa menghindari kekhawatiran. Saat emosi menumpuk, ia ajak Bao Zhu memanjat tembok ke sudut kecil di belakang rak bunga itu, termenung sejenak hingga perasaannya membaik sebelum kembali.
Setelah beberapa kali memanjat, Bao Zhu bertanya: “Nona, kenapa tidak taruh satu set kursi-meja di rak bunga sisi kita? Jadi tak perlu memanjat tembok lagi.”
"Walau nona melakukan apa pun dia pasti mendukung, tapi Putra Mahkota Jing tidak ada di sini, kenapa nona memanjat tembok ke taman keluarga istana hanya untuk melamun? Padahal pemandangan di kedua tempat hampir sama."
Utamanya karena dia tidak mau lagi menggunakan alasan mencari bola bulu atau kantong pasir untuk menipu pelayan bodoh itu—terlalu semena-mena.
Lin Hao diingatkan, lalu melakukan persiapan ini. Tapi entah mengapa saat duduk melamun di taman rumah sendiri, tetap ada dorongan untuk memanjat tembok.
Qi Shuo duduk. Di depan pandangannya hamparan bunga-bunga dan dedaunan yang meneduhkan sinar matahari menyilaukan. Meski mirip dengan taman istana, dia merasa canggung.
Seolah ada perasaan seperti pengganggu...
"Ada apa?" Lin Hao bertanya sambil tersenyum.
Qi Shuo menatap gadis yang duduk dihadapannya tanpa berkedip: "Selalu terasa tidak nyata. Seperti baru saja bertarung di medan perang, sekarang sudah mengobrol di bawah rak bunga bersamamu. Kukira—"
Dia berhenti sejenak, senyum di bibirnya semakin dalam: "Kukira kita akan berpisah lama."
Lin Hao mengangkat alis: "Bukankah sudah cukup lama?"
Si bodoh!
"Maksudku bukan begitu—"
Sebuah tangan putih terulur di depan wajahnya, membuatnya lupa melanjutkan kalimat.
"Katanya wilayah utara punya banyak produk khas, apa kamu membawakan hadiah untukku?"
Ekspresi Qi Shuo jelas kaku. Dia menggelengkan kepala dengan jujur.
"Sudah kuduga." Lin Hao menghela nafas, tapi matanya tidak menunjukkan kemarahan. Malah berkilau lembut: "A Shuo, aku menyiapkan hadiah untukmu."
"Hadiah apa?" Rasa bersalah di hati Qi Shuo semakin membara.
“Gadis muda di seberang tiba-tiba condong ke depan, wajahnya yang lebih indah dari bunga mawar mendekat seketika, sepasang bibir lembut menyentuh.”
Dia mencium alisnya yang tajam, sudut mata yang melengkung ke atas, batang hidung yang mancung, lalu bibir yang dingin.
Bibirnya tipis dengan warna pucat, terbuka sedikit karena terkejut, menyambut serangan kikuk dari lawannya.
Setelah membeku sesaat, kedua lengan kuat pria itu memeluk tubuh ramping gadis itu.
Ujung rok hijau muda bermotif bunga mawar mengembang seperti riak air yang membentuk lingkaran bergelombang.
Qi Shuo merasakan perubahan pada tubuhnya, kedua tangan yang semula melingkari pinggang gadis itu naik ke bahunya untuk mendorongnya menjauh.
Lin Hao menatap dengan tatapan bertanya, suaranya tak lagi jernih seperti biasa namun agak serak: "Ada apa?"
Qi Shuo mengalihkan pandangan ke ranting bunga mawar yang bergoyang tertiup angin, baru menatap gadis itu kembali setelah matanya jernih.
"A'hao, hari pernikahan kita mungkin akan tiba segera."
Lin Hao mendekat selangkah, bertanya bingung: "Jadi sekarang tidak boleh menciummu?"
Qi Shuo benar-benar lupa bagaimana bereaksi.
