Ketika pertandingan memasuki 20 menit terakhir dalam keadaan deadlock, situasi mulai berubah.
Waktu pertandingan semakin menipis. Pemain-pemain muda di lapangan mulai gelisah karena belum ada yang menunjukkan performa penentu, atau lebih sederhananya - belum ada yang mencetak gol.
Dalam situasi seperti ini, baik di Tim Merah maupun Tim Biru, pemikiran individualis mulai muncul kembali di dalam tim.
Struktur serangan Tim Merah yang sebelumnya diatur rapi oleh Zhou Yi mulai menunjukkan tanda-tanda akan berantakan.
Ada indikator yang sangat jelas: pemain yang bersedia mengoper bola ke Zhou Yi semakin berkurang, frekuensi Zhou Yi menerima umpan dari rekan setim pun menurun.
Terutama di area dekat kotak penalti, pemain yang menguasai bola lebih memilih untuk mencoba sendiri daripada memberikan bola ke Zhou Yi untuk mengorganisir serangan.
Di tribun penonton, alis Zhou Jianliang yang tadinya sudah mulai merenggang kembali berkerut. Dalam kondisi seperti ini, anaknya tidak akan mendapat banyak kesempatan untuk menunjukkan kemampuan...
Dia masih sangat memperhatikan apakah putranya bisa lolos seleksi akhir tim. Bagaimanapun itu adalah tujuan utama sang anak mengikuti acara pencarian bakat ini.
"Ah, kacau lagi..." Xiao Wang di panggung utama juga menyadari pertandingan mulai kembali ke pola lama.
Hao Dong tidak bicara, matanya masih fokus mengamati Zhou Yi. Ia penasaran apakah anak ini bisa tetap tenang menghadapi situasi seperti ini, dan bagaimana penampilannya nanti.
Rasa ingin tahunya benar-benar tak terbendung.
……
Zhou Yi mengoper bola ke rekan setimnya lalu berlari ke ruang kosong, berharap akan mendapat umpan balik. Namun rekan yang menerima operannya malah berbalik dan melepaskan tembakan. Bola melambung tinggi melewati mistar gawang, sama sekali tidak mengancam gawang Tim Biru.
Zhou Yi tidak mengeluh atas tindakan rekan setimnya. Kejadian seperti ini sudah bukan pertama kalinya, ia mulai terbiasa.
Sebenarnya dia juga cemas, tapi setidaknya dia tahu semakin genting situasi, semakin harus tetap tenang. Tentu saja dia ingin menerjang ke depan gawang dan mencetak gol, namun dia juga menyadari karakteristik teknisnya sendiri. Jika dia menerjang ke depan tapi tak ada yang bisa memberikan umpan, apa bedanya dirinya dengan tiang kayu di depan gawang?
Daripada menyia-nyiakan peluang, lebih baik memikirkan cara menciptakan peluang.
Dia mengangkat kepala mengamati situasi di lapangan.
Pertandingan hampir berakhir. Semua orang gelisah, bukan hanya tim merah, pemain tim biru juga ingin mencetak gol untuk memenangkan pertandingan.
Oleh karena itu, pertahanan mereka sekarang tidak seketat sebelumnya, tidak terlalu rapat. Melihat ini, Zhou Yi menemukan banyak celah di sekitar kotak penalti tim biru. Celah-celah ini beragam ukurannya, mungkin belum mematikan saat ini, tapi jika dia bisa melakukan sesuatu, celah mematikan pasti akan tercipta.
Tapi bagaimana caranya menciptakan celah tersebut?
Dia mulai sering menggerakkan kepala mengamati sekeliling, merekam semua informasi dalam pikiran hingga membentuk peta pandangan burung. Di peta ini, posisi setiap pemain baik tim merah maupun biru tercatat akurat. Zhou Yi bagaikan elang yang melihat dari langit, semuanya jelas terpapar.
……
Huang Zhihua sekali lagi mendapatkan bola di luar kotak penalti. Karena jaraknya masih cukup jauh dari gawang, dia tidak langsung menembak. Tampaknya dia juga bingung harus berbuat apa, memaksakan dribel dengan skill individu? Teknik ini sudah dia gunakan beberapa kali sebelumnya. Di luar kotak penalti masih bisa ditolerir, tapi saat mendekati area kotak penalti, upaya ini nyaris tidak membuahkan hasil.
Di saat seperti ini, pandangan sampingnya menangkap sosok Zhou Yi.
Sedikit kesadaran yang tersisa di pikirannya mengingatkan pada umpan-umpan akurat Zhou Yi sebelumnya. Jika dirinya sudah kehabisan ide, mengapa tidak mengoper bola ke Zhou Yi?
Begitu pikirnya, Huang Zhihua pun mengoper bola ke arah Zhou Yi.
Zhou Yi menyambut bola dengan gerakan tipuan seolah akan menerima dan bergerak ke kiri, memancing bek tim biru di depannya bergeser lebih dulu. Tapi alih-alih menerima bola, dia membiarkan bola melewati depannya dari kiri ke kanan.
Seketika dia memutar badan mengejar bola, meninggalkan bek biru yang terkecoh gerakannya ke kiri!
Zhou Yi tiba-tiba mempercepat laju, menggiring bola diagonal menyerbu kotak penalti tim biru!
Meski bukan tipe pemain cepat, bukan berarti kecepatannya buruk. Terutama dalam jarak pendek, akselerasi dadakannya cukup berbahaya.
Menyaksikan ini, Zhou Jianliang bersemangat berdiri dari kursinya sambil meneriakkan: "Semangat nak!"
Orang tua tim biru berteriak kaget, berharap anak mereka bisa menghentikan Zhou Yi, jangan biarkan dia mendekati area penalti.
Tanpa disadari, semua orang mulai menyadari bahwa Zhou Yi-lah ancaman terbesar di tim merah...
Pemain bertahan tim biru bergerak mengikuti, melakukan blok darurat. Untuk sesaat, mereka semua menghadang di depan Zhou Yi, mencegahnya masuk area penalti.
Di saat itulah Zhou Yi mengayunkan kaki kanannya.
Tapi dia tidak memaksakan tembakan jarak jauh, melainkan menyentuh bola perlahan ke arah berlawanan!
Bola meluncur melewati dia dan pemain bertahan tim biru, menggelinding ke sisi lain. Di sana, tidak ada satu pun pemain bertahan tim biru!
Ruang kosong yang lebar!
Huang Zhihua muncul di ruang kosong itu, menerima umpan Zhou Yi!
"Bagus——" Xiao Wang berteriak antusias lagi.
Kali ini bahkan Hao Dong tak bisa menahan ekspresinya, otot wajahnya berkedut.
Saat umpan sulit menembus pertahanan lawan, anak ini memilih menggabungkan dribel dan umpan untuk menciptakan ruang kosong!
……
Huang Zhihua terlihat agak terkejut bisa menerima umpan Zhou Yi, tapi cepat sadar.
Tembak!
Dia bahkan bisa mendengar teriakan ayahnya dari tribun.
Ini benar-benar peluang emas!
Memikirkan itu, Huang Zhihua kembali mengayunkan kaki kirinya, melakukan tendangan keras!
Kali ini dia tidak mengejar sudut lagi, tapi kekuatan.
Tenaga besar menciptakan keajaiban!
Bola yang ditendang oleh Huang Zhihua melesat seperti peluru meriam menuju sudut jauh gawang!
Kiper Tim Biru menerjang dengan sekuat tenaga, dia tak ingin gawangnya kebobolan di menit-menit terakhir pertandingan...
Ujung jarinya menyentuh bola, tapi tak cukup mengubah arah laju bola yang tetap meluncur ke sudut jauh gawang.
Huang Zhihua benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya dalam tendangan itu.
Hampir semua mata tertuju pada bola, akankah masuk?
Di bawah sorotan puluhan pasang mata, bola menghantam tiang gawang jauh!
"Ah!!"
Teriakan kecewa dan lega dari para orangtua bersahut-sahutan.
Tapi saat teriakan "ah" masih bergema, tiba-tiba ada bayangan merah menyambar di depan gawang Tim Biru, menyambut bola yang memantul dari tiang dengan sundulan terjun!
Bola melesat masuk ke gawang yang kosong.
Gol!
Lapangan yang seharusnya riuh sorak tiba-tiba senyap.
Tiba-tiba seseorang menepuk tangan keras... eh, dua orang.
Zhou Jianliang bertepuk tangan sambil berseru, "Bagus!"
Di tribun utama tak jauh dari sana, Hao Dong juga bangkit dari kursinya dan menepuk bahu Xiao Wang di sampingnya: "Dia orangnya!!"
Dia melihat dengan jelas sebelumnya, setelah Zhou Yi memberikan umpan, dia tidak berhenti melainkan tiba-tiba mempercepat larinya ke arah gawang, seolah sudah tahu apa yang akan terjadi...
Benar saja, bola menghantam tiang gawang dan memantul, tepat dihadapan Zhou Yi yang sedang melaju kencang. Dengan sundulan terjun yang bersih, bagi striker dengan efisiensi gol yang bagus seperti dia tentu bukan hal sulit.
Mampu mengatur lini tengah sekaligus mencetak gol, adakah performa yang lebih sempurna dari ini? Apalagi dia masuk sebagai pemain pengganti dengan waktu tampil yang lebih singkat.
……
Setelah mencetak gol, Zhou Yi sangat bersemangat. Bangkit dari tanah, dia langsung berlari ke pinggir lapangan tanpa berhenti. Dia tidak memeluk rekan setimnya yang memang kebanyakan juga tidak bermaksud memeluknya.
Sampai di bawah tribun, dia berteriak ke arah penonton: "Ayah, aku mencetak gol! Aku berhasil!"
Saat Zhou Yi berlari ke pinggir lapangan, Zhou Jianliang juga turun dari tribun dengan tergesa-gesa. Di tangga dia hampir terjatuh karena terlalu bersemangat, sempat limbung tapi berhasil memegang pagar pembatas. Meski terlihat kikuk.
Zhou Jianliang tak peduli penampilannya. Sambil berpegangan pada pagar, dia mengacungkan jempol ke putranya: "Luar biasa! Hebat!" Tapi sebagai ayah, dia tak lupa mengingatkan: "Tetap tenang, pertandingan belum selesai! Mainkan yang terbaik!"
Zhou Yi memberi hormat ke ayahnya: "Tenang saja!"
Putra itu berbalik dan berlari kembali ke lapangan, sementara Zhou Jianliang menoleh melihat para orang tua lainnya. Dari mata mereka, dia melihat iri dan cemburu. Dengan puas, dia duduk kembali.
Kapan kalian berpikir situasi seperti ini saat mengejek putraku?
……
Saat Zhou Yi mencetak gol, dia tidak hanya memecah kebuntuan skor, tetapi juga keseimbangan halus dalam hati setiap orang.
Sebelumnya, meski mereka semua ingin mencetak gol, setidaknya belum ada yang lebih dulu mencetak. Sorotan belum direbut siapa pun.
Kini, Zhou Yi telah merebut semua sorotan.
Bahkan kalian tidak bisa menuduh Zhou Yi hanya mencari perhatian sendiri. Sejak masuk sebagai cadangan, dia fokus memberikan umpan dan assist ke rekan setim. Banyak kesempatan tembakan timbul berkat jasanya.
Tembakan terakhir Zhou Yi pun berasal dari pantulan bola tembakan Huang Zhihua yang mengenai tiang gawang. Memang bisa dibilang dia memanfaatkan peluang, tapi mengapa justru dia yang berada di posisi itu?
Saat yang lain hanya menjadi penonton ketika Huang Zhihua menendang, hanya Zhou Yi yang konsisten menyambar ke dalam. Usaha tidak mengkhianati hasil, dia mendapatkan kesempatan bersinar ini.
Masih ada yang perlu diperdebatkan?
Tidak rela pun harus menerima kenyataan.
Setelah ada yang mencetak gol, semangat sisanya tiba-tiba menguap - Semua tahu performa Zhou Yi lebih baik. Dia bisa mengatur serangan sekaligus mencetak gol sendiri. Dibandingkan dengannya, prestasi apa yang bisa kita banggakan?
Dalam suasana ini, sepuluh menit terakhir pertandingan berlalu dengan cepat, dan wasit utama membunyikan peluit tanda berakhirnya pertandingan.
Final berakhir, saatnya mengungkap jawaban.
Hao Dong kembali berdiri di depan para pemain muda yang terengah-engah dan kelelahan ini.
"Apakah ada yang masih ingat kalimat terakhir yang saya ucapkan sebelum pertandingan, anak-anak?"
Pertanyaan Hao Dong membuat semua bingung, beberapa menggelengkan kepala, sementara yang lain tidak bereaksi atau tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
"Saya ingatkan kalian bahwa sepak bola adalah olahraga tim. Tapi sayang, kalian semua tidak mendengar atau melupakannya. Hanya satu orang yang melakukannya, dan kalian pasti tahu siapa dia."
Beberapa orang menoleh ke arah Zhou Yi yang berdiri di barisan belakang.
"Jadi saya pikir tidak ada yang keberatan jika dia menjadi orang terakhir yang terpilih?" tanya Hao Dong.
Ada yang menggeleng, ada yang diam, tapi tidak ada yang menyatakan keberatan.
Bahkan Huang Zhihua yang sangat percaya diri hanya menundukkan kepala tanpa bicara. Sebelumnya dia mengira jika golnya masuk, dialah yang akan menang.
Tapi setelah mendengar penjelasan Hao Dong, dia baru sadar bahkan jika golnya masuk, mungkin dia tetap hanya akan jadi cadangan.
Melihat tidak ada yang keberatan, Hao Dong mendongak dan berkata pada Zhou Yi: "Zhou Yi, kemarilah."
Di bawah tatapan penuh iri semua orang, Zhou Yi berjalan ke depan barisan dan berdiri di hadapan Hao Dong.
Hao Dong menarik Zhou Yi ke sampingnya, membuatnya berhadapan dengan para peserta dan orang tua mereka.
"Zhou Yi sama sekali tidak malu, dengan percaya diri berdiri di samping sang idola. Seketika matanya langsung menangkap sosok ayahnya.
Ayahnya sedang berada di tengah kerumunan, satu tangan memegang kamera, satu tangan lagi mengacungkan jempol ke arahnya.
"Selamat, kamu berhak pergi ke Eropa!" Hao Dong menepuk bahu Zhou Yi dengan antusias.
Chapter 6: Pelaporan Diri
Sebuah taksi berhenti di depan gerbang yang tersembunyi di antara rimbunan pepohonan hijau.
Zhou Jianliang dan Zhou Yi turun dari mobil, lalu berjalan ke belakang untuk membuka bagasi dan mengeluarkan koper.
Taksi itu pergi, menyisakan dua orang dengan satu koper dan dua tas.
"Tak disangka tempat pelatihan berada di lokasi terpencil begini, supir taksi saja sampai tersasar..." Zhou Jianliang mengamati tempat yang tak mencolok itu sambil berkomentar.
"Ayah, bagaimana nanti Ayah pulang setelah mobil ini pergi?" Zhou Yi menunjukkan kepedulian.
"Di seberang ada halte bus. Nanti Ayah akan cek rutenya. Jangan khawatirkan itu." Zhou Jianliang menunjuk halte di seberang jalan. "Yang penting kamu selama pelatihan harus menjaga kerukunan, jangan terus-terusan bercanda sembarangan, pikir dulu sebelum bicara agar tidak menyinggung orang."
Zhou Yi mencibir: "Aku sudah tahu, Ayah. Aku bukan anak kecil lagi!"
“Baru 17 tahun, masa bukan anak kecil?” Zhou Jianliang melototi anaknya, lalu mendesah melihat tubuh anaknya yang kurus. “Awalnya aku bilang ke ibumu, kalau kali ini kamu gagal, mungkin bisa menghentikan keinginanmu main bola. Tapi sekarang malah kamu menang final dan langsung dapat tiket ke Eropa. Kita berangkat berdua, tapi sekarang cuma aku yang pulang. Aku bingung mau jelasin gimana ke ibumu.”
“Ah, susah apa sih?” Zhou Yi tak ambil pusing, memberi sambil mengangkat ide, “Bilang aja kita tadinya pulang bareng, tapi kereta terlalu penuh – kan lagi liburan, wajar kalau rame. Terus kita terpisah, Bapak gak bisa nemuin aku, akhirnya pulang dulu… Aduh!”
Zhou Yi belum selesai bicara sudah ditampar kepalanya oleh ayahnya: “Ngomong ngawur! Otakmu isinya apaan sih!”
“Aku cuma kasih solusi…” Zhou Yi memegangi kepala dengan wajah kesal.
“Ya terima kasih banyak.” Zhou Jianliang mendengus. “Sudahlah, fokus aja latihan di sini. Kalau sudah masuk, tunjukkan performa bagus, jangan mempermalukan bapak.”
“Iya tahu.” Zhou Yi mulai melihat-lihat sekeliling. Daerah ini benar-benar terpencil. Sejauh mata memandang, cuma ada satu warung kecil. Tidak ada warnet maupun rumah makan. Di jalan lurus ini, selain mereka, bahkan orang lewat pun tak terlihat. Mobil yang lalu-lalang juga jarang.
Kayaknya mau kabur keluar pagar pun percuma – gak ada tempat buat pergi!
“Aku pergi, kamu cepat masuk untuk lapor. Jangan sampai hari pertama langsung memberi kesan buruk ke pelatih.”
Setelah berkata begitu, Zhou Jianliang mengangkat tasnya dan hendak pergi.
“Eh, aku antar Ayah ke halte.” Zhou Yu buru-buru ingin mengambil tas sang ayah.
“Tidak perlu, cuma seberang jalan. Kamu cepat masuk saja.” Zhou Jianliang mengangkat tasnya, melambaikan tangan tanpa menoleh sambil berjalan ke seberang jalan.
Zhou Yu tidak mengikuti perkataan ayahnya untuk segera masuk. Ia tetap berdiri di depan gerbang, memandangi punggung ayahnya yang menjauh.
Ia melihat sang ayah membawa tas berat, tubuh agak miring, langkahnya tak seimbang. Di pinggir jalan, ayahnya menengok kiri-kanan memastikan tidak ada kendaraan yang lewat, baru perlahan menyeberang ke halte bus di seberang.
Tiba-tiba sebuah kalimat muncul dari dasar hati Zhou Yu, membuatnya tak kuasa berteriak: “Ayah!”
Zhou Jianliang berhenti, menoleh memandangi putranya yang berdiri sendirian di depan gerbang. Sebuah koper besar dan tas ransel di sampingnya semakin menegaskan sosoknya yang kurus.
Memikirkan tak akan bertemu anaknya selama tiga minggu, rasa rindu mulai menggelayuti hati Zhou Jianliang.
Mungkin teriakan putranya itu juga berasal dari perasaan yang sama?
Tapi sebagai seorang ayah, mana mungkin menunjukkan air mata di depan anak sendiri?
Dengan berpura-pura tenang, Zhou Jianliang bertanya: “Ada apa lagi?”
Zhou Yu menunjuk ke kejauhan: “Nyebrangnya pakai zebra cross, Yah!”
……
Menyaksikan ayahnya menyeberangi zebra cross, Zhou Yi baru menggendong tasnya, menyeret koper, dengan hati dipenuhi kerinduan akan kehidupan pelatihan, rasa ingin tahu terhadap rekan setim baru, dan antisipasi akan perjalanan ke Eropa... ia melangkah masuk melalui gerbang pusat pelatihan.
Lima belas menit kemudian, setelah menembus sebagian besar area pusat pelatihan, ia tiba di depan gedung putih tiga lantai dengan badan penuh keringat.
Dinding putih itu memantulkan cahaya menyilaukan di pagi hari musim panas, memaksanya menyipitkan mata saat mengamati bangunan tersebut. Tapi tetap saja terlalu terik. Akhirnya ia meneduhkan alisnya dengan telapak tangan terbalik, seperti Sun Wukong.
Setelah gerakan kekanak-kanakan yang agak konyol itu, Zhou Yi membawa semua barang bawaannya menyergap masuk ke gedung kantor — benar-benar menyergap, karena ia berlari. Sudah tak sabar ingin bergabung dengan tim ini untuk menantang akademi klub-klub top Eropa.
Inilah satu-satunya tujuan, tujuan akhirnya mengikuti seleksi ini.
Proses pendaftaran berjalan lancar. Setelah menyerahkan formulir pendaftaran dan beberapa foto berijazah, semuanya selesai. Bahkan tak perlu membayar — semua biaya hidup pemain selama pelatihan ditanggung sponsor.
Usai mendaftar, Zhou Yi mengambil kartu kamar asramanya lalu menyeret koper keluar dari gedung kantor menuju area asrama.
Tapi setelah berjalan beberapa saat, keraguan mulai menyusup.
Orang di loket pendaftaran hanya memberikan arah umum, tidak menjelaskan rute spesifik. Sekarang di hadapannya, ke arah itu ada tiga jalan. Dia bingung harus memilih yang mana...
Saat itulah Zhou Yi melihat seseorang berjalan mendekat. Setelah dilihat lebih seksama, orang itu tampak cukup tua. Zhou Yi menduga ini pasti staf, cocok untuk bertanya arah. Ia segera menyambar dan memanggil sopan, "Paman."
Orang yang mendekat itu seolah tak mendengar, berusaha melewatinya begitu saja.
Zhou Yi tak tahu apakah suaranya terlalu kecil. Ia meningkatkan volume, "Paman! Om!"
Pria itu masih menunduk tak menjawab, namun mempercepat langkah.
Tak ada cara lain, Zhou Yi terpaksa menggapai menghadang saat orang itu hendak melintas, "Maaf, boleh tanya Paman, tahukah arah ke asrama peserta reality show? Saya baru pertama kali datang, tersesat..."
Sebelum kalimatnya selesai, kerah bajunya tiba-tiba dicengkeram orang itu.
Zhou Yi kaget dan bingung. Ia cepat-cepat mengangkat kedua tangan, menunjukkan tak ada niat jahat.
Wajah orang itu merah padam berkerut menyeramkan, menggertak dengan gigi gemeretak, "A...a...aku peringatkan! J-jangan mengejek penampilanku!"
Meski ekspresinya garang dan nada mengancam, gagapnya mengurangi kesan mengerikan itu.
Zhou Yi tak bersalah, "Saya tidak mengejek penampilan Anda..."
"Dia hanya memanggil orang 'paman', kok bisa dianggap mengejek penampilan?" Zhou Yi tak mengerti.
"Kau...kau masih...masih pura-pura...pura-pura ya?!" Pria itu mengepal tinju, seolah ingin menghantam wajah Zhou Yi.
Tiba-tiba dua orang muncul dari balik pepohonan. Yang bertubuh tinggi menunjuk ke arah mereka sambil berteriak, "Guo Nu, hentikan!"
Pria yang menggenggam Zhou Yi melepaskannya, tapi sebelum melepas masih sempat mendorongnya hingga Zhou Yi mundur dua langkah.
Zhou Yi masih bingung - hanya menanyakan arah jalan, kok bisa dianggap mengejek penampilan? Sungguh aneh.
Dua orang yang baru datang itu segera memisahkan Zhou Yi dan lawannya.
"Guo Nu, kau mau dikeluarkan dari tim karena berkelahi lagi?" Pria tinggi itu berdiri di antara mereka, membelakangi Zhou Yi sambil menatap Guo Nu.
"Dia...dia yang...yang mengejekku dulu..." Guo Nu menunjuk Zhou Yi di belakang pria tinggi itu dengan wajah kesal.
"Aku tidak!" Zhou Yi membela diri, "Aku cuma menanyakan arah..."
"Kau...kau memanggilku...paman!" Guo Nu membentak.
Mendengar ini, pemuda kurus berkulit putih di samping Zhou Yi tak bisa menahan tawa.
Ia segera menyadari ketidaksopanannya, menutup mulut sambil menjelaskan pada Guo Nu yang melotot, "Maaf, tidak sengaja..."
Si Tinggi dan Guo Nu baru bersama-sama menarik kembali pandangan mereka darinya. Guo Nu terus menatap Zhou Yi, sementara Si Tinggi juga menoleh dan berkata pada Zhou Yi: "Meskipun penampilan Guo Nu memang agak terlihat tua..."
Mendengar perkataan Si Tinggi, wajah Guo Nu menunjukkan ketidakpuasan, tapi dia tidak berani bersikap kasar seperti terhadap Zhou Yi. Terlihat jelas dia masih agak segan dengan Si Tinggi ini.
"...Tapi dia benar-benar bukan paman. Dia sebaya dengan kita," lanjut Si Tinggi menjelaskan.
Zhou Yi terkejut mendengar penjelasan Si Tinggi: "Dia baru 17 tahun!?"
Si Tinggi mengangguk: "Ya."
Zhou Yi terdiam lama dengan ekspresi terpana, jelas sedang berusaha menerima fakta ini. Orang bilang jangan percaya mata, mata bisa menipu. Baru sekarang dia merasakan tipuan mata. Tapi tak bisa dipahaminya, bagaimana mungkin remaja 17 tahun berpenampilan seperti pria 30-an...
Melihat Zhou Yi diam, Si Tinggi menghadap Guo Nu sambil berkata dengan wajah serius: "Tidak kau lihat dia baru datang? Siapa yang tidak akan memanggilmu paman kalau lihat wajahmu yang tua begini?"
Guo Nu hanya bisa menahan diri mendengar omelan Si Tinggi - dari perbedaan postur tubuh, jelas dia bukan lawan Si Tinggi...
Dia hanya mendengus keras untuk menunjukkan ketidakpuasannya.
Saat konflik antar rekan satu tim ini hampir mereda, Zhou Yi yang diam-diam tiba-tiba berbisik pelan: "Kalau ketahuan memalsukan usia lebih muda, apa akan dikeluarkan dari tim?"
“Guo Nu yang tadinya sudah mulai mereda, wajahnya tiba-tiba memerah. Seluruh tubuhnya gemetar seperti anjing gila hendak menerjang Zhou Yi, untung dihalangi oleh pemuda jangkung di depannya: "Guo Nu, kamu mau apa!"
Sambil menoleh ke temannya di sebelah Zhou Yi, dia berkata: "Yang Muge, bawa anak ini pergi dulu! Kalau tidak, mereka benar-benar bisa berkelahi!"
Yang Muge langsung menarik tangan Zhou Yi: "Cepat pergi! Aku tahu di mana asramanya!"
Zhou Yi yang masih bingung ditarik Yang Muge berlari kencang ke arah asrama. Di belakang mereka masih terdengar suara pertengkaran si jangkung dengan Guo Nu.
"Hei! Guo Nu, kamu mau berantem denganku ya?"
"Aku... aku... kamu... jangan... jangan..."
