Minggu pertama sekolah terasa berlalu cepat, tapi bagi sebagian orang justru terlalu lambat. Mereka yang sudah terbiasa dengan ritme hidup selama liburan memang akan kesulitan beradaptasi kembali dengan rutinitas sekolah.
Entah dirasakan cepat atau lambat, perjalanan waktu itu sendiri bersifat konstan. Tak ada yang berubah, dan minggu ini akhirnya benar-benar usai.
Bahkan di minggu pertama ini, Zhou Yi tidak menyelesaikan seluruh kelasnya. Jumat itu dia tidak datang. Mejanya kosong melompong, bahkan buku pelajaran yang biasanya tidak dibawa pulang pun sudah disingkirkan dari tumpukan di atasnya, dibersihkan sangat tuntas.
Zheng Lulu sesekali melamun selama pelajaran, pandangannya menyapu meja kosong Zhou Yi.
Teman sekelas lainnya sepertinya tidak merasakan perbedaan berarti. Kepergian Zhou Yi hanyalah hal biasa, kelas ini tetap berjalan dengan atau tanpa siapa pun. Hanya pada hari pertama kepergiannya, para siswa cowok berkumpul membicarakan Zhou Yi dengan nada iri karena dia berkesempatan pergi ke Eropa bertanding melawan tim junior klub-klub elite, memperluas wawasan.
Bagi para siswa laki-laki penggemar sepak bola, pengalaman Zhou Yi bagaikan surga duniawi yang membuat mereka nyaris gila karena iri. Sambil menahan keirihatian, mereka menunggu Zhou Yi kembali ke sekolah dua bulan kemudian dengan membawa tanda tangan bintang sepak bola.
Zheng Lulu yang melintas mendengar obrolan mereka, namun di hatinya muncul firasat bahwa dua bulan kemudian meja belajar itu mungkin masih akan kosong...
……
Saat teman-teman Zhou Yi masih sibuk mengiri, Zhou Yi dan orang tuanya sudah berada di stasiun kereta api.
Kali ini Ayah dan Ibu sama-sama mengambil cuti khusus untuk mengantarkan anak mereka.
"Ayah tidak bisa mengantarmu ke Beijing kali ini. Hati-hati sendiri di kereta, jangan asal bicara dengan orang tak dikenal, jangan menjawab semua pertanyaan orang. Selalu waspada saat di perantauan..." Zhou Jianliang terus mengomel seperti ibu-ibu kepada Zhou Yi.
"Jangan cari masalah dengan rekan setim, kalau ada masalah lebih baik mengalah... Jangan suka membuat musuh di mana-mana..."
Ibu yang diam sejak tiba-tiba menyela, merebut pembicaraan dari Zhou Jianliang: "Jangan dengarin omongan ayahmu! Kalau ada yang berani ganggu kamu dan kamu di pihak benar, jangan sungkan melawan!"
"Kau ngerti apa?! Kalau anak kita bermasalah di perantauan, kau yang bisa bantu atau aku?" Zhou Jianliang melototi istrinya.
"Tapi jangan sampai anak kita jadi bulan-bulanan orang!" balas Li Cuiyun tak mau kalah.
Zhou Yi buru-buru membujuk di samping: "Ah, mana ada seserius yang kalian bilang? Tenang saja!"
Barulah kedua orang itu berhenti bertengkar.
Ayah Zhou Jianliang kembali menarik Zhou Yi mulai mengomel, perhatikan ini perhatikan itu, jangan sembarangan makan, jangan minum air sembarangan, hidup harus teratur, harus tidur lebih awal bangun lebih awal, perhatikan kebersihan...
Zhou Yi tiba-tiba merasa lebih baik membiarkan ayahnya bertengkar terus dengan ibu...
Zhou Jianliang terus mengomel hampir setengah hari, akhirnya menyelesaikan semua hal yang terpikir olehnya.
Saat itu layar besar di ruang tunggu stasiun juga menampilkan informasi pemeriksaan tiket terbaru, kereta yang dinaiki Zhou Yi mulai diperiksa, orang-orang yang menunggu di ruang tunggu berduyun-duyun menuju loket pemeriksaan.
Ini berarti perpisahan telah tiba.
Li Cuiyun menatap Zhou Yi: "Sendirian di luar, jaga kesehatan. Kesehatan lebih penting dari apapun, jangan sampai terluka."
Sebagai ibu, dia justru tidak banyak mengomel, bicaranya singkat tapi menyentuh hati.
Yang paling dia khawatirkan adalah kesehatan Zhou Yi, mungkin ini juga harapan paling dasar dan tulus semua ibu untuk anaknya.
Zhou Yi memandang ibunya, berbagai pikiran bergejolak di hatinya.
Selama seminggu ini, dia sama sekali tidak memberitahu rencananya pada ibu. Kini saat keberangkatan hampir tiba, masa depan seperti apa yang menanti dia pun tak tahu.
“……Dia selalu merasa bahwa urusan ini tidak bisa ditunda lagi. Jika tidak bisa menyelesaikan ini, mungkin dia tidak akan bisa berjalan cepat di jalan ke depan, karena di hati selalu ada kekhawatiran dan keraguan.”
Maka dia memberanikan diri dan berkata: “Bu, ada sesuatu yang ingin… kuberitahu.”
Li Cuiyun menatap Zhou Yi tanpa bicara, seolah menunggu dia melanjutkan.
“……Kalau ada kesempatan saat ke Eropa nanti… aku berencana tetap berusaha mengejar jalan sepak bola profesional.”
Zhou Jianliang melihat anaknya akhirnya mengutarakan rencananya dengan blak-blakan, juga ikut tegang, diam-diam mengepal tinjunya.
“Aku harap… Ibu bisa menyetujuiku…”
“Jalan sepak bola profesional itu semudah diucapkan?” Li Cuiyun tidak langsung menyetujui atau menolak, malah balik bertanya.
“Aku akan berusaha sepenuh hati…” jawab Zhou Yi.
Li Cuiyun menggeleng: “Zhou Yi, aku ibumu. Aku paling mengerti dirimu. Banyak hal tidak bisa kau pertahankan tiga hari. Katamu akan berusaha sepenuh hati? Tapi aku tak pernah melihatmu benar-benar total.”
Kelihatannya seperti tidak setuju.
“Tidak, kali ini beda, Bu. Pasti aku akan total! Di Eropa nanti kita akan bertanding dengan tim junior klub-klub besar. Jika penampilanku bagus, aku bisa menarik perhatian klub Eropa. Kupikir begitu peluangku masuk klub sepakbola Eropa…”
“Bicara itu mudah. Mulut adalah hal termurah dan tersimple di dunia.” Li Cuiyun tidak percaya kata-kata manis anaknya.
“Istri……” Zhou Jianliang merasakan suasana tegang antara ibu dan anak, berusaha meredakan ketegangan.
Tak disangka Li Cuiyun menatapnya dengan tajam, membuatnya langsung diam ketakutan.
Li Cuiyun kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke putranya, raut wajahnya penuh ketidakpercayaan.
Zhou Yi seperti tersulut emosi oleh sikap ibunya, berteriak: "Aku bilang ini berbeda! Kali ini akan kubuktikan dengan tindakan nyata!"
Setelah berkata demikian, ia menarik koper tanpa pamit, menyatu dengan kerumunan penumpang menuju loket tiket, hingga lenyap dari pandangan.
"Ah, mengapa adegan perpisahan yang seharusnya hangat malah berakhir seperti ini?" Zhou Jianliang menghela napas.
"Kau mengerti apa?" Li Cuiyun menatap suaminya. "Kalau tidak begini, kau pikir anak kita akan serius? Bukankah kau tahu sifatnya? Cuma semangat beberapa hari lalu malas lagi. Kalau benar-benar ingin sukses di jalannya, dia harus totalitas!"
"Hah? Jadi kau sebenarnya setuju..." Zhou Jianliang terkejut dengan perubahan sikap istri.
"Coba dulu sampai batas maksimal. Jalannya tidak semudah yang dibayangkan, bukan?"
“Memang…” Zhou Jianliang mengangguk. Meskipun putranya lolos seleksi nasional dan menjadi satu-satunya pemain amatir yang masuk ke tim tersebut, tapi level sepakbola profesional Eropa masih jauh di atas sepakbola profesional Tiongkok, hal ini dia pahami betul sebagai penggemar sepakbola.
Jadi jalur ini benar-benar bukan sesuatu yang bisa ditempuh putranya semudah membalikkan telapak tangan.
Berdiri berdampingan, mereka sedikit menjulurkan kepala ke arah gerbang pemeriksaan tiket, berusaha mencari sosok putra mereka di kerumunan orang.
Baru setelah gerbang pemeriksaan tiket ditutup, mereka pun berbalik dan pergi.
“Eh, aku penasaran nih… Kalau misalnya putra kita gagal?” tanya Zhou Jianliang tiba-tiba saat berjalan beriringan dengan istri melawan arus orang menuju gerbang pemeriksaan tiket. “Apa kamu akan menyalahkannya karena menghabiskan dua bulan?”
“Tidak ada.” Jawaban sang istri tenang. “Paling-paling menurunkan ekspektasi untuknya dari Tsinghua-Peking University ke level Shanghai Jiao Tong University atau Zhejiang University.”
Zhou Jianliang hampir menabrak orang di sebelahnya.
“Kamu benar-benar percaya diri pada putra kita ya…”
“Dia kan putraku.”
……
Zhou Yi masih sedikit kesal setelah naik kereta, tapi saat kereta bergetar mulai bergerak perlahan meninggalkan stasiun menuju Beijing, perasaan campur aduk menyelimutinya.
Perpisahan dengan keluarga dan kota yang dikenalnya menimbulkan rasa kehilangan; sementara kerinduan dan rasa penasaran akan tujuan asing yang belum diketahui.
Ke mana akhirnya kereta ini akan membawanya?
Ke tepian kesuksesan yang dipenuhi bunga-bunga, atau…
Zhou Yi teringat tatapan curiga ibunya, dia mengepal tinjunya.
Hmph, lihat saja, aku pasti akan sukses! Aku benar-benar! Benar-benar akan sukses!
Kalau tidak bisa sukses... aku tidak akan pulang!
Sayangnya perkataan ini hanya bisa diucapkan dalam hati...
……
Di Beijing, Zhou Yi bertemu kembali dengan Sun Pan dan Yang Muge, ketiganya sangat gembira setelah reunian. Zhou Yi bahkan menepuk lengan Sun Pan keras-keras sambil memuji: "Bagus! Lengan dan kakimu masih utuh!"
Sun Pan mengerlingkan matanya: "Apa maksudmu! Justru kamu, aku heran ibumu tidak mengurungmu di rumah!"
"Bercanda! Kalau aku sudah memutuskan sesuatu, pasti akan kulakukan!"
Selain Sun Pan dan Yang Muge, Zhou Yi juga melihat Guo Nu. Dia mendekat dan menyapa: "Hai, Lao Guo!"
Guo Nu meliriknya, tidak menghiraukannya.
Sun Pan tidak tahan melihatnya, maju selangkah berdiri di samping Zhou Yi: "Hei, dia menyapamu lho!"
Guo Nu tidak menyangka Sun Pan ikut campur. Awalnya dia tidak ingin menghiraukan Zhou Yi, sekarang terpaksa merespon dengan enggan: "Halo..."
Suaranya lemah seperti benang, tapi setidaknya merespons Zhou Yi.
Setidaknya ini pertama kalinya dia mengucapkan "halo" kepada Zhou Yi sejak mereka kenal.
Setelah Guo Nu merespons, Zhou Yi langsung memanfaatkan kesempatan dengan memeluk bahu Guo Nu, sambil menoleh ke Sun Pan: "Eh Sun Pan, jangan begitu, kita semua satu tim."
Sun Pan tidak bersuara, menatap Guo Nu.
Meski Guo Nu tidak suka dengan Zhou Yi yang langsung merangkul bahunya, namun karena Sun Pan di samping terus menatapnya, dia tidak berani bertindak sembarangan.
Akhirnya dengan wajah penuh kekecewaan, dia membiarkan Zhou Yi meletakkan tangan di bahunya.
Yang Muge yang menyaksikan adegan ini tiba-tiba membayangkan sebuah pemandangan - Zhou Yi sedang berinteraksi dengan singa di kebun binatang safari, sementara pawang singa di sampingnya membawa senjata dan mengawasi singa dengan tatapan tajam. Begitu singa bergerak sedikit saja, bahkan hanya mengangkat cakarnya, senjata itu langsung meletus...
……
Setelah seluruh anggota tim berkumpul di Beijing, mereka akan segera berangkat ke Eropa.
Di bandara, para pemain mengenakan seragam seragam, menarik koper masing-masing, menunggu proses check-in.
Banyak wartawan yang datang, mereka terutama hanya mewawancarai tiga orang: sutradara program Xu Tao, pelatih kepala Hao Dong, dan He Ying.
Pemandangan ini seolah menjadi bukti nyata bahwa "He Ying adalah bintang utama tim ini".
Sun Pan tidak tahan melihat ini, dia mendengus kesal.
Zhou Yi menatap para wartawan itu dan berkomentar: "Ini benar-benar suasana besar ya... Waktu latihan kita tidak pernah ada wartawan..."
"Program ini sedang gencar dipromosikan, jadi semakin banyak media yang memperhatikan kita," kata Yang Muge yang juga merasa antusias. Kehadiran para wartawan membuat mereka menjadi pusat perhatian di terminal bandara, benar-benar terasa seperti "diawasi oleh ribuan pasang mata".
Guo Nu berdiri di samping mereka, tidak berkata sepatah kata pun.
Keempat orang itu tidak berdiri bersama rekan satu tim lainnya, melainkan agak sedikit ke luar, seolah-olah membentuk kelompok kecil yang terpisah.
Zhou Yi, Sun Pan, dan Yang Muge sudah akrab sejak masa pelatihan, jadi tidak mengejutkan bagi yang lain.
Yang membuat mereka terkejut adalah Guo Nu si "anjing gila" ini ternyata juga bersama mereka!
Sebelumnya di basis pelatihan, ketika Zhou Yi mengajak Guo Nu makan bersama, Guo Nu bahkan tidak memberikan wajah ramah. Bagaimana bisa setelah seminggu berpisah, "Guo Si Anjing Gila" ini sekarang berdiri bersama Zhou Yi?
Ada apa ini sebenarnya?
Semua orang benar-benar tidak bisa memahaminya.
……
"He Ying, apa pendapat dan harapanmu terkait desain tantangan ke akademi sepak bola elite Eropa ini?"
Wartawan yang mengerumuni He Ying mengajukan pertanyaan seperti itu.
Dengan wajah tenang, He Ying menjawab: "Menurutku desain ini bagus, kita bisa merasakan langsung sepak bola tingkat tinggi Eropa."
"Lalu, apakah kalian pernah memikirkan masalah menang atau kalah?"
"Kami akan berusaha sekuat tenaga untuk meraih kemenangan," jawab He Ying singkat.
Sementara itu, wartawan yang mengerumuni Hao Dong juga mengajukan pertanyaan serupa.
"Sepak bola Tiongkok dan Eropa memiliki kesenjangan yang jelas, terutama dalam pembinaan pemain muda. Mengingat ini adalah program TV, jika kalian kalah telak, apakah kalian mempertimbangkan dampaknya terhadap rating?"
Dibandingkan dengan wartawan yang mewawancarai He Ying, pertanyaan untuk Hao Dong lebih kasar dan langsung.
“Kemenangan atau kekalahan adalah bagian dari sepak bola. Sebelum pertandingan berakhir, tidak ada yang tahu hasil akhirnya seperti apa. Ini bukan hanya ketegangan dalam sepak bola, tapi juga salah satu ketegangan dalam program ini.” Hao Dong berkata. “Apalagi saya tidak menganggap anak-anak kita ini pasti lebih buruk daripada anak-anak Eropa, dan pasti akan kalah. Saya punya kepercayaan diri untuk meraih kemenangan.”
Hao Dong dan kru acara mengantarkan enam belas pemuda sepak bola antri melalui pemeriksaan keamanan, menghilang di sisi lain pintu pemeriksaan, sementara para wartawan sedang berdiskusi tentang jawaban Hao Dong tadi.
“Sungguh sangat pantas disebut 'Hao Dapao'... Berani mengucapkan perkataan seperti ini langsung menjawab. Ia memiliki kepercayaan diri untuk mencapai kemenangan? Aku sama sekali tidak punya kepercayaan diri...”
“Tim produksi program mengklaim mereka adalah kumpulan pemain terbaik kelompok usia 17 tahun se-Indonesia. Ini kan omong kosong? Kalau benar, harusnya mereka langsung memanggil Timnas U-17, bukan menyusun pasukan campuran seperti ini. Pemain-pemain itu cuma asal pilih dari berbagai klub. Apa benar yang terbaik di kelompok usia? Hanya He Ying yang layak menyandang gelar itu, yang lain... bisa-bisa bahkan tidak bisa main di tim muda klub mereka sendiri! Ada juga pemain pelajar... benar-benar konyol!”
“Ini kan program reality show televisi. Semua cuma gimmik promosi. Soal pemain pelajar itu, cuma untuk memberi penonton pelajar rasa keterikatan. Siapa yang berharap dia bisa menunjukkan performansi bagus? Bisa-bisa malah tidak kebagian main sama sekali!”
“Benar, apa yang dikatakan Bung ini tepat. Intinya ini cuma program hiburan TV, sama sekali nggak beda esensinya dengan acara seperti Super Girl atau Fast Boys. Kalian jangan selalu melihatnya dari sudut pandang jurnalis sepak bola yang profesional. Ini cuma pertunjukan! Bahkan naskahnya pun sudah disiapkan dari awal.” Seorang wartawan maju ke depan dan berkata. “Bisa jadi, bahkan hasil pertandingannya sudah disepakati sebelumnya. Asal sponsor bayar cukup, tim muda klub besar pun bisa sengaja kalah dari Timnas China.”
“Waduh, kalau gini bukannya nggak ada artinya? Ini kan sepak bola palsu!”
“Sepak bola palsu? Sudah kubilang, ini cuma pertunjukan! Acara TV, masa kamu menuntut autentisitas kayak sinetron? Yang penting rating bagus, urusan mereka mau ngapain?”
Beberapa orang memperhatikan wajah wartawan yang berbicara tadi, tampak asing, lalu bertanya: “Ini siapa...”
“Oh, saya wartawan hiburan, khusus liputan acara variety show,” jawabnya memperkenalkan diri.
Di antara kerumunan jurnalis sepak bola, beberapa yang lebih senior menggelengkan kepala: “Semua hal mau dijadikan ajang pencarian bakat, bahkan sepak bola yang serius begini juga dikomersilkan... Benar-benar era dimana hiburan mengalahkan segalanya!”
“Kalau gitu jangan pakai jargon 'Menyelamatkan Sepak Bola China' dong. Ini bukan harapan sepak bola nasional, tapi malah mempermalukan! Tidak profesional, hiburan murahan, lelucon...”
“Bukannya sudah dijelaskan? Itu cuma gimmick, trik promosi. Kalian kalau serius malah kalah!”
Di tengah pertanyaan-pertanyaan skeptis para wartawan, pesawat yang membawa "gerombolan" ini telah meluncur di landasan pacu, bersiap lepas landas menuju Barcelona Spanyol - titik pertama dalam ekspedisi Barat mereka.
Saat ini, mereka belum layak memikul harapan sepakbola Tiongkok, malah justru sudah dibebani cibiran dan keraguan, bahkan lebih dulu dijuluki "aib".
