Di babak kedua, mungkin karena sudah mencetak terlalu banyak gol, tim junior B La Masia sedikit mengendur. Namun tetap saja mereka mencetak empat gol lagi, membuat skor akhir mentok di 12-0.
Alasan yang membuka gol pertama, Gai Assulin, menyelesaikan kuadruplet dalam pertandingan. Playmaker tengah Thiago Alcântara mencetak brace sekaligus memberikan empat assist, menjadi bintang lapangan. Bahkan bek tengah Marc Bartra menyumbang dua gol...
Para pemuda China gagal mencetak satu gol pun, menelan dua belas kebobolan!
Skor yang benar-benar mengerikan ini membuat setiap staf China di lokasi merasa malu.
Meski sebelum pertandingan sudah tahu perbedaan kualitas, tak disangka kekalahan separah ini. Bukan hanya selisih skor, dari permainan pun anak-anak China kalah telak. Ini adalah kekalahan menyeluruh di semua lini.
Bukan karena jet lag, bukan karena rumput lapangan, bukan cuaca, bukan sepatu, bukan juga kondisi fisik.
Padahal ini terjadi saat lawan sudah jelas-jelas mengerem di babak kedua. Jika lawan bermain sepenuhnya, mungkin skor bisa berlipat ganda.
Pertandingan telah usai, di pinggir lapangan yang menyaksikan pertandingan ini kebanyakan adalah kru produksi. Awalnya ada beberapa pelatih dari La Masia yang ingin melihat seberapa hebat tim yang disebut sebagai pemain terbaik kelompok usia 17 tahun China ini, tapi setelah menonton babak pertama, mereka pun bubar semua - level permainan seperti ini memang tidak perlu ditonton lagi, hanya buang-buang waktu.
Dan mereka semua sangat sibuk.
Kepergian mereka membuat orang-orang China yang hadir semakin canggung.
Katanya datang untuk menantang, tapi malah dihajar habis-habisan, bahkan dihajar dengan berbagai gaya... Siapa yang tahan dengan kontras seperti ini?
Bahkan sutradara acara reality show ini, Xu Tao, sangat pusing - kalau rekaman pertandingan ini ditayangkan, siapa tahu berapa rating yang akan anjlok...
Pertandingan timnas China kalah, para suporter nasional langsung memaki-maki pemain timnas dan Asosiasi Sepak Bola seperti anjing.
Pemain yang digembar-gemborkan sebagai "terbaik kelompok usia 17 tahun China" ini kalah seperti ini, bukankah ini akan memberi alasan bagi beberapa pihak untuk menyerang program ini?
Tapi pertandingan memang menjadi bagian terpenting dari program ini. Meskipun sebelum pertandingan diisi banyak segmen permainan, Xu Tao tahu penonton justru menanti-nanti pertandingannya.
Konsep "menantang akademi sepak bola elite Eropa" ini sejak awal sudah menarik perhatian banyak orang. Beberapa media bahkan memberi julukan "Tur Tantangan".
Ini menunjukkan betapa tertariknya orang-orang dengan konsep tantangan itu sendiri.
Kalau di jam tayang terakhir program ini hanya menayangkan 5 menit pertandingan, bisa-bisa dicaci habis-habisan.
Tapi sekarang, dengan menayangkan pertandingan sebagai sorotan utama, mungkin juga akan dicerca.
……
Yang frustrasi bukan hanya staf, tapi juga para pemain muda.
Semangat kompetitif remaja biasanya sangat tinggi, tak ada yang mau kalah dari orang lain, apalagi kalah dengan skor telak seperti ini.
Jadi setelah pertandingan berakhir, ekspresi di wajah semua orang terlihat muram.
He Ying yang biasanya sudah dingin, kini bagaikan gunung es berusia miliaran tahun - aura dinginnya menyebar kuat, cukup untuk membekukan makhluk apa pun yang berani mendekat dalam radius 5 meter menjadi patung es, yang akan remuk berkeping-keping saat disentuh.
Dalam pertandingan ini, sebagai bintang utama tim China dan andalan utama pencetak gol, dia benar-benar dikunci oleh Bartra dan Montoya. Sepanjang laga, hanya dua tembakannya yang masuk frame gawang. Tendangan paling berbahayanya justru di luar frame - tendangan meleset di menit awal pertandingan...
Bagi He Ying yang ingin menunjukkan kemampuan sepenuh hati di hadapan pelatih La Masia untuk mendapatkan perhatian mereka, ini pukulan telak.
Guo Nu yang tak sempat bermain mengubah amarahnya yang terpendam menjadi tatapan penuh kebencian. Matanya menyoroti pemain tim Remaja B La Masia yang tertawa riang, seolah ingin melahap mereka hidup-hidup...
Yang Muge terlihat lelah dan diam seribu bahasa. Sebagai gelandang bertahan yang langsung berhadapan dengan gelandang playmaker lawan, Thiago Alcântara, dalam pertandingan ini, hasilnya dia hampir kalah total. Meski sangat gigih, kesenjangan kemampuan antara kedua pihak tidak bisa ditutupi hanya dengan semangat pantang menyerah. Seringkali dalam pertandingan, Yang Muge bahkan harus menghadapi bukan hanya Thiago sendiri, melainkan seluruh lini serang Barcelona.
Sebagai gelandang bertahan, kondisi fisik Yang Muge sebenarnya tidak terlalu istimewa - tubuhnya tidak terlalu kekar dan posturnya biasa saja. Namun alasan dia bisa menjadi gelandang bertahan utama tim ini adalah karena kemampuan membaca permainan dan positioning-nya yang luar biasa. Dia selalu muncul di jalur yang tepat pada waktu yang tepat, bagai pisau tajam yang menghadang serangan lawan sehingga mereka harus mencari jalan memutar.
Tapi kemampuan ini menjadi tidak berarti ketika menghadapi serangan tim yang solid ala La Masia. Thiago selalu punya minimal tiga opsi passing, sementara Yang Muge paling-paling hanya bisa menutup satu. Bagaimana dengan dua opsi lainnya?
Dia hanya bisa memandang pasrah saat bola dioper melewati hadapannya, lalu setelah beberapa kali operan tiba-tiba ada umpan terobosan cepat yang langsung membelah pertahanan menuju gawang...
Sun Pan juga tampak diam saat turun dari lapangan, hal yang sangat langka bagi pria cerewet ini. Sebagai kiper, mengambil bola dari gawang sendiri dua belas kali dalam satu pertandingan adalah pukulan berat bagi siapa pun. Kekalahan dalam pertandingan ini benar-benar membekas dalam diri Sun Pan.
Dalam pergaulannya dengan Zhou Yi dan Yang Muge, dia selalu membanggakan diri meski latihan kiper profesionalnya singkat dan dasar-dasarnya kurang solid, tapi fisiknya bagus dengan refleks luar biasa, mengklaim diri sebagai "kiper bertipe jenius".
Maka hari ini, sang "kiper jenius" ini dihajar habis-habisan oleh para jenius sejati dari La Masia, sampai kepalanya penuh benjolan.
Zhou Yi yang juga tidak bermain melihat rekan-rekannya seperti kehilangan jiwa, ingin menghibur mereka.
Berbeda dengan mereka, Zhou Yi sudah mengalami ribuan kekalahan serupa di dunia virtual. Meski itu fiksi, sebagai pencinta sepakbola dan kemenangan, kekalahan di game pun tetap membuatnya kesal.
Awalnya Zhou Yi sama seperti mereka, tapi setelah terus menerus gagal, seseorang harus belajar menerima kekalahan berikut segala rasa pahit, amarah, dan ketidakrelaan. Jika tidak bisa mengelola emosi, latihan akan terganggu - Zhou Yi pernah terus kalah sampai tidak fokus berlatih, hasil latihan nol, tidak ada peningkatan statistik semalaman, bahkan pelatih virtual Hao Dong menegurnya keras.
Ini membuat Zhou Yi sadar: untuk menang, pertama-tama harus belajar menerima kekalahan.
Karena kegagalan dan kemenangan sama-sama bagian dari sepak bola, seperti dua warna hitam dan putih bola. Tidak mungkin hanya ingin menikmati kemenangan tapi tidak mau menanggung kegagalan. Tak ada yang bisa selalu menang tanpa pernah kalah. Belajar menghadapi kekalahan adalah jalan wajib menuju kemenangan.
Zhou Yi yang punya pengalaman luas di bidang ini merasa harus lebih banyak membantu teman-temannya.
Ia menepuk bahu Sun Pan yang lesu: "Jangan dipikirin, gagal itu ibu kandungnya sukses. Kalah sekarang biar menang nanti..."
Meski dibisikkan, di ruang ganti yang sunyi seperti kamar jenazah pascakekalahan, kalimat itu tetap mencolok...
……
Liang Qiqi sedang kesal. Sebagai gelandang serang utama, performanya buruk, terutama ketika dibandingkan dengan Thiago Alcântara yang membuatnya terlihat seperti badut.
Ia tak hanya gagal memberi umpan matang ke rekan, tapi bahkan kesulitan melakukan operan dasar di lini tengah. Di bawah tekanan pemain La Masia B, sering melakukan kesalahan. Akibatnya tim Tiongkok bermain seperti pasir berpencar, masing-masing main sendiri. He Ying tak percaya siapa pun, mengambil setiap kesempatan untuk menembak sendiri. Tugas utama Hao Dong untuk Liang Qiqi adalah menciptakan peluang bagi He Ying, tapi akhirnya ia hanya jadi hiasan.
"Pelatih Kepala Hao Dong jelas juga tidak tahan melihat penampilannya di lini tengah, sehingga Liang Qiqi menjadi pemain pertama yang diganti—tepat di waktu istirahat, dia ditukar oleh Hao Dong."
Setelah dia turun, tim malah hanya kebobolan empat gol, seolah-olah kehadirannya di lapangan justru memperburuk performa tim.
Liang Qiqi yang sudah menahan amarah, tiba-tiba mendengar ucapan Zhou Yi di saat seperti ini.
"Kegagalan adalah ibu dari kesuksesan"—kalimat bernada canda yang ditujukan untuk meringankan suasana hati Sun Pan—ternyata seperti peluru yang tepat mengena gudang mesiu di hati Liang Qiqi.
Pada detik itu, Liang Qiqi meledak.
"Ada orang yang sama sekali tidak berkontribusi untuk tim, tapi heboh saja saat menertawakan kesulitan orang lain!" dengusnya. "Lihatlah sindiran manisnya, mengutip pepatah, wah benar-benar bermutu, ck ck!"
Meski tidak menyebut nama Zhou Yi, semua orang tahu dia sedang membicarakan Zhou Yi.
Udara di ruang ganti serasa membeku seketika. Semua tertegun, tidak menyangka... konflik internal setelah kekalahan datang secepat ini.
Zhou Yi yang tadinya sedang menghibur Sun Pan, tak mengira malah kena getahnya. Dia pun terpaku.
Sementara Sun Pan, seolah ada alarm di kepalanya yang langsung aktif begitu ada yang menyerang Zhou Yi. Dengan gesit dia bangkit—postur hampir 1,9 meter-nya memberi tekanan besar.
Dia melototi Liang Qiqi dan berteriak, "Zhou Yi menghiburku, urusanmu apa?!"
Liang Qiqi tidak menyangka saat dia mencari masalah dengan Zhou Yi, Sun Pan tiba-tiba meledak seperti tong mesiu yang tersulut. Dia tertegun oleh bentakan Sun Pan sampai tak tahu harus menjawab apa.
Melihat situasi ini, Zhou Yi menyadari dan menarik lengan Sun Pan, memberi isyarat agar dia duduk.
Kemudian dia berdiri menghadap Liang Qiqi, "Sun Pan benar, itu cuma candaan antar teman. Maaf kalau membuatmu salah paham. Maksudku sederhana, seperti kata Bos Hao: Yang lebih penting dari kemenangan adalah memiliki hati juara yang selalu mengejar kemenangan. Dengan hati ini, meski mengalami kegagalan sementara, kemenangan akhirnya akan menjadi milik kita. Ini baru pertandingan pertama, tak perlu terlalu dipikirkan..."
Ucapan Zhou Yi terpotong kasar oleh Liang Qiqi, "Bicara itu gampang! Kamu cuma bisa omong doang!"
"Kapan kamu berhenti mengganggu?!" Sun Pan kembali melonjak berdiri seolah pantatnya dipasangi roket pendorong.
Liang Qiqi terkejut.
"Cukup!" He Ying yang selama ini diam tiba-tiba bersuara dengan nada rendah, "Malu belum cukup?!"
Kapten yang selama ini tak pernah menggunakan statusnya, akhirnya melakukan tindakan yang sesuai dengan jabatannya.
“Kata-katanya membuat semua orang secara refleks melirik ke sudut ruang ganti—sebuah kamera terpasang di tripod, lampu indikator yang menyala menandakan sedang bekerja…”
