Sun Pan, Guo Nu dan Yang Muge duduk di meja makan, sambil menyantap makanan masih membicarakan Zhou Yi, mereka penasaran mengapa pelatih kepala memanggilnya.
“Masalah pemalsuan riwayat kan sudah jelas?”
“Mungkin urusan lain?”
“Masih ada urusan apa lagi?”
……
Sedang berdiskusi, mereka melihat Zhou Yi masuk ke restoran sambil melirik ke sana kemari.
“Sini!” Sun Pan berdiri mengangkat tangan berteriak.
Zhou Yi menengok ke arah suara, menemukan mereka lalu langsung mendekat.
“Kamu tidak ambil makanan?” Sun Pan heran melihat Zhou Yi yang datang dengan tangan kosong.
“Oh iya…” Zhou Yi baru tersadar, berbalik mengambil makanan.
“Aku merasa Zhou Yi agak aneh…” Yang Muge mengerutkan alis.
“Sedikit, sampai lupa makan.” Sun Pan mengangguk, setuju dengan pendapat teman sekamarnya. “Lihat, dia melewati ham kesukaannya tapi tidak melirik sekali pun! Kalau dipikir-pikir… kok rasanya dia tidak fokus ya…”
Sun Pan mengerutkan kening sambil menarik napas.
“Eh, ayo kita tebak ini kabar baik atau buruk?” Sun Pan cepat-cepat mengajukan ide baru.
“Kayaknya bukan kabar baik…” tebak Yang Muge.
“Menurutku juga kabar buruk!” Setelah berkata demikian, Sun Pan memandang ke arah Guo Nu.
Guo Nu gagap berkata: “Bu-bu… buruk.”
“Semuanya kabar buruk? Wah, buat apa main tebak-tebakan kalau gini! Nggak boleh, Lao Guo kamu harus bilang ini kabar baik!” Sun Pan memaksakan keputusan.
Guo Nu ingin menangis – Lalu ngapain suruh aku nebak?!
“Oke, sepakat! Aku dan Yang Muge nebak buruk, Lao Guo nebak baik. Yang salah harus traktir es krim!”
Guo Nu ingin protes ini tidak adil, saat itu Zhou Yi sudah kembali membawa nampan.
Dibandingkan biasanya yang selalu penuh makanan, nampan Zhou Yi kali ini terlihat jauh lebih kosong.
Hanya dari perbedaan nampan ini, Guo Nu langsung merasa dirinya pasti kalah…
“Ayo, ceritain apa masalahnya?” Begitu Zhou Yi duduk, Sun Pan langsung menyergap seperti menginterogasi narapidana.
Zhou Yi menunduk menyendok brokoli di porselen dengan garpu secara acak, terlihat sedang dibebani pikiran.
“Cepat ceritakan, ada hal tidak menyenangkan apa? Biar kami semua ikut senang!” Sun Pan melihat ekspresi Zhou Yi semakin yakin akan kemenangannya, mendesak dengan penuh kesombongan.
Di bawah tatapan penuh antusias ketiga orang itu, Zhou Yi berkata dengan suara berat: "Arsenal menghubungiku..."
“Haha...” Tawa Sun Pan terhenti mendadak: “Apa katamu?!”
“Scout Arsenal menemui aku, bertanya apakah aku mau bergabung dengan Arsenal...” Zhou Yi mengangkat kepala melihat Sun Pan yang terkejut.
“Aku—ya—ampun—!!”
Seluruh orang di restoran menoleh ke arah Sun Pan, sementara dirinya sendiri tanpa sadar sudah berdiri...
Yang Muge dan Guo Nu di samping juga memandang Zhou Yi dengan wajah terkejut.
Seseorang di restoran tiba-tiba batuk keras, Liang Qiqi. Saat itu dia sedang menikmati buah pencuci mulut - anggur.
Baru saja meletakkan anggur di mulut, terdengar teriakan Sun Pan "Ya ampun!" yang membuat tangannya gemetar. Seluruh anggur terhisap ke tenggorokan... Membuatnya batuk tak henti, air mata keluar, punggungnya basah oleh keringat.
Syukurlah... akhirnya anggur itu berhasil dikeluarkan, berputar di piring keramik dengan ludah. Buah yang tadinya lezat tiba-tiba hampir merenggut nyawanya, sekarang terlihat sama sekali tidak menggugah selera...
“Biar nggak bisa makan apa……” Liang Qiqi yang baru lolos dari maut berteriak marah, tapi teriakannya dipotong oleh Sun Pan yang suaranya lebih keras.
“Arsenal?! Arsenal nyari lu?!”
Mendengar kalimat ini, semua orang langsung bersemangat, bahkan He Ying pun mengangkat kepala dan melirik Zhou Yi dengan pandangan terkejut.
“Arsenal nyari lu kabar buruk?” Sun Pan masih berdiri, matanya melotot menanyai Zhou Yi.
“Aku nggak bilang itu kabar buruk……” Zhou Yi membuka tangan, tidak paham dari mana asal usul penyebutan "kabar buruk" ini, padahal jelas-jelas tidak muncul dalam percakapan mereka sebelumnya.
“Terus muka lu kayak orang kena musibah! Lagian!” Sun Pan menunjuk piring kosong Zhou Yi, “Makan malam aja nggak semangat!”
“Oh, aku memang agak linglung... soalnya nggak yakin nolak undangan Arsenal itu keputusan tepat...”
“……”
Kali ini Sun Pan sekonyong-konyong membeku seperti video yang lag, lalu tiba-tiba berubah menjadi "Kaisar Mengamuk" Ma Jingtao, membuka mulut lebar ke arah Zhou Yi dan meraung seperti singa: “Otak lu kenapa nih! Lu nolak Arsenal! Arsenal loh! Ar!!se!!nal!!!”
Dengan gemericik, rekan setim yang sebelumnya tersebar di seluruh restoran langsung berkerumun mengelilingi meja Zhou Yi seperti gerombolan lebah.
Hanya ada dua orang yang menjadi pengecualian. Satu adalah Liang Qiqi, meskipun penasaran, dia tidak mau menjilat pantat Zhou Yi. Orang lainnya adalah He Ying, yang tidak berdiri karena dia sudah berada di meja sebelah Zhou Yi. Meski terjepit di luar, dia bisa mendengar suara di dalam dengan jelas.
Zhou Yi memandang Sun Pan dengan terkejut: "Ternyata kamu fans Arsenal…"
"Itu tidak penting! Dan aku juga bukan! Coba tanya rekan setim, tanya reaksi mereka setelah mendengar perkataanmu!" Sun Pan menunjuk ke rekan setim yang berkerumun.
Rekan-rekan setim ramai bertanya: "Iya, sebenarnya apa yang terjadi? Zhou Yi?"
"Kamu dilirik Arsenal? Keren banget! Bisa dapat perhatian Arsenal itu luar biasa! Kamu yang pertama di tim kita! Kenapa malah kamu tolak?"
"Nolak? Zhou Yi, otakmu nggak bermasalah kan? Ini kesempatan langka sekali seumur hidup!"
"Iya betul, Zhou Yi, kamu mikir apa sih?"
Semua orang ramai menyampaikan pertanyaan dan keprihatinan mereka.
"Bukan menolak sih, cuma... belum menyetujui saja."
"Kenapa tidak setuju? Dalam situasi seperti ini sama sekali tidak perlu ragu-ragu!"
"Karena mereka tidak bisa memberikan janji tim utama padaku."
Seketika suasana di sekitar menjadi sunyi senyap.
Untuk pertama kalinya perubahan ekspresi yang jelas terlihat di wajah He Ying - dia terbelalak tak percaya.
……
Setelah mengantar Alan Powell yang terlihat kecewa keluar ruangan, Hao Dong kembali. Xu Tao menatapnya, kedua pria itu saling bertatapan lalu menggelengkan kepala.
"Menurutmu kenapa anak itu menolak?" tanya Xu Tao. "Ke Arsenal, kesempatan emas! Pertama di tim kita! Entah ini satu-satunya kuota atau bukan, tapi... dia sia-siakan!"
"Jangan bicara begitu, Lao Xu." Hao Dong berkata, "Menurutku pertanyaan yang diajukan Zhou Yi cukup masuk akal. Mempertimbangkan matang-matang itu benar."
"Kau anggap itu masuk akal?" Xu Tao membelalakkan matanya.
"Tentu, berpikir jangka panjang itu bagus. Dengarkan Lao Xu, dulu kita selalu minder, merasa segalanya kalah dari Eropa. Tapi kita perlu ubah pola pikir ini. Saat mereka yang datang menawarkan, kenapa tidak percaya diri? Minta janji tim utama bukan masalah besar. Kalau tidak dapat itu, buat apa pergi? Zhou Yi sudah 17 tahun, tiga tahun lagi 20. Kalau tidak masuk tim utama, hanya main di tim cadangan - itu akan menghancurkannya."
Sebagai mantan pemain yang pernah bermain di luar negeri, perkataan Hao Dong tentang sepakbola cukup meyakinkan.
Xu Tao terdiam setelah mendengarnya, lalu menghela napas: "Anak ini licik juga. Sikapnya saat masuk tadi membuatku kira dia terkesima oleh kesempatan mendadak. Tapi kemudian... hah!"
Dia tertawa.
Hao Dong juga tersenyum simpul.
Begitu teringat serangkaian performa Zhou Yi setelah bergabung, dia hampir tak bisa menahan tawa.
Ada terlalu banyak hal tak terduga dari bocah ini yang membuat mereka penasaran, tapi justru ketidakpastian itulah yang memicu rasa ingin tahu dan harapan. Seberapa jauh masa depan anak yang berani tidur di bangku cadangan ini bisa mencapai?
Saat pertama kali masuk ruangan dan tahu bahwa Arsenal yang datang mencarinya, reaksi Zhou Yi seperti orang yang baru menang lotre lima juta, benar-benar linglung.
Jika hanya melihat sisi ini, pasti akan mengira ini anak kemarin sore yang belum punya pengalaman, mudah tertipu, dan bisa diombang-ambingkan dengan beberapa patah kata.
Tapi perubahan yang terjadi selanjutnya benar-benar membuat Hao Dong tercengang.
Alan Powell langsung membuka pembicaraan dengan menanyakan apakah Zhou Yi berminat bergabung dengan akademi klub Arsenal.
Anak biasa jika dapat kesempatan seperti ini, pasti sudah senang bukan main, benar?
Arsenal loh! Klub sepakbola terkenal dunia, terutama terkenal dengan akademinya. Manajer tim utama Arsenal, Wenger, juga terkenal suka memainkan pemain muda hasil binaan akademi.
Bergabung dengan Arsenal, dari sudut mana pun terlihat sebagai pilihan terbaik.
Banyak orang mungkin akan langsung menerima tawaran seperti ini tanpa pikir panjang.
Tapi yang mengejutkan ketiga orang di ruangan itu, Zhou Yi justru tidak bereaksi seperti remaja biasa yang gembira tak karuan dan mengangguk-angguk tak henti saat ditawari kesempatan emas ini.
Dia balik bertanya: “Tuan, apakah Anda sudah mengetahui situasi saya? Saya saat ini bukan pemain profesional...”
Powell mengangguk: “Sebelum Anda datang, saya sudah mendapat informasi dari Tuan Xu. Tapi tidak masalah, yang kami lihat adalah bakat Anda. Profesi sebelumnya tidak relevan.”
Zhou Yi melanjutkan setelah mendengar penjelasannya: “Saya juga belum masuk tim nasional, bukan Pemain timnas. Lalu bagaimana saya bisa mendapatkan izin kerja (Labour Certificate)?”
Bahkan Hao Dong yang menjadi penerjemah memandangnya heran—masih belum sadar mengapa mereka mendatangimu?
Powell pun tertawa: “Kami tertarik pada bakatmu, jadi kontrak pasti berbentuk pemain muda. Ini tidak terkait izin kerja. Kamu akan berlatih di tim muda Arsenal tanpa perlu memikirkan itu—itu urusan pemain tim utama...”
Dia juga merasa Zhou Yi terlalu banyak khawatir.
Tapi Zhou Yi terus mengejar: “Tapi suatu saat saya harus naik ke tim utama, kan? Jika sampai saat itu saya belum masuk tim nasional atau bermain cukup banyak pertandingan Internasional Kategori A, berarti tetap tidak bisa dapat izin kerja. Bagaimana solusinya?”
“Ini...” Powell mulai merasa pertanyaan Zhou Yi sulit dijawab. Atau mungkin dia mulai menyadari bocah ini bukan tipe yang mudah ditandatangani hanya dengan mengandalkan nama besar “Arsenal”...
“Kami punya banyak klub mitra. Saatnya nanti, kami akan meminjamkanmu ke sana untuk mengumpulkan pengalaman sampai izin kerjamu terpenuhi.”
“Berapa lama waktu ini?” Zhou Yi langsung bertanya lebih lanjut tanpa berpikir setelah mendengar terjemahan Hao Dong.
“Ini... Saya tidak tahu, sebenarnya tidak ada yang tahu. Tidak ada yang bisa memberikan jaminan seperti itu...” Powell agak bingung apakah pertanyaan Zhou Yi ini merupakan taktik negosiasi, tapi masalahnya... Kedua belah pihak bahkan belum mulai menawar, untuk apa bernegosiasi?
Setelah menerjemahkan, Hao Dong langsung bertanya ke Zhou Yi: “Mereka tidak membohongimu, Zhou Yi. Hal seperti ini memang sulit dipastikan...”
Dia khawatir Zhou Yi mengira orang itu hanya memberikan alasan kosong.
“Saya tahu, Manager Hao.” Zhou Yi menjawab, “Saya hanya ingin menyelidiki posisi dan pentingnya saya di mata mereka. Klub seperti Arsenal yang terkenal dengan akademi mudanya, tentu mencari bakat-bakat muda di seluruh dunia. Jika hanya untuk mengisi kuota akademi mereka... Saya merasa tidak puas.”
Hao Dong memandang Zhou Yi dengan terkejut, tidak menyangka si nakal ini bisa mengucapkan kata-kata seperti itu.
Usianya baru 17 tahun!
Kemudian Zhou Yi bertanya lagi ke Powell: “Tapi saya tahu tim Liga Premier memiliki klausul bakat spesial.”
Powell terdiam sejenak setelah mendengar perkataan Zhou Yi, lalu mengerutkan kening: “Itu memang ada, tapi... Hanya satu kuota per tahun, jadi...” Dia sudah tidak tahu harus berkata apa, apakah langsung mengatakan “Jadi kami tidak mungkin menggunakan kuota berharga ini untukmu”?
Zhou Yi melihat dia ragu-ragu, sudah tahu jawabannya. Lalu dia berkata pada Powell: "Terima kasih atas perhatian klub Arsenal dan kejujuran Anda, Tuan Powell. Tapi saya belum bisa menerima sekarang. Saya tidak tahu apakah memilih Arsenal itu tepat."
Setelah itu, Zhou Yi bangkit dan mengulurkan tangan ke Powell, menandakan perpisahan.
Powell masih ingin mengatakan sesuatu, tapi tak tahu harus berkata apa. Dengan pasrah dia menjabat tangan Zhou Yi.
Kemudian Zhou Yi berpamitan pada Xu Tao dan Hao Dong, bilang mau makan lalu pergi. Percakapan pun berakhir.
Mengingat kejadian itu, Xu Tao juga terkejut dengan sikap Zhou Yi: "Masih muda tapi bicaranya sistematis dan sopan. Apa ini disebut licik?"
Hao Dong teringat penjelasan Zhou Yi padanya, geleng kepala: "Tidak. Dia hanya punya pikiran jernih, tahu jalan mana yang harus ditempuh."
