“……Bocah ajaib dipastikan bergabung dengan Barcelona, memulai gelombang pemain muda China ke luar negeri!”
Di lapangan, seorang remaja membawa koran mendekati Zhou Yi yang sedang mendrible bola: “Zhou Yi, He Ying ini kan dari acara realitas kalian itu ya?”
“Tentu.” Zhou Yi menjawab sambil terus mendrible bola.
“Lalu kenapa kamu tidak ke Barcelona?”
“Hei, aku tidak tertarik dengan Barcelona!” Zhou Yi mengangkat bola ke atas kepala, menahan bola dengan dahinya.
“Bohong, lebih mungkin Barcelona yang tidak tertarik denganmu!” si remaja mendengus.
Remaja itu kembali memandang foto He Ying di koran, berucap penuh kerinduan: “Barcelona... Luar biasa! Andai aku juga bisa bermain untuk Barcelona!”
“Barcelona kan luas. Kalau jalan-jalan ke sana bawa bola, tendang sekali, bukannya sudah berarti bermain di Barcelona?” Zhou Yi menatap bola di dahinya.
“Siapa bilang maksudku main di kota Barcelona! Maksudku klub Barcelona! Camp Nou! Di Stadion Camp Nou!” si remaja kesal membalas.
Zhou Yi menjatuhkan bola dari dahinya, lalu menjepitnya dengan kaki.
"Camp Nou? Itu nggak susah juga. Gue kasih ide—begitu kalian sampai di Barcelona, kunjungi Camp Nou. Pas kalian sampai di area bangku cadangan, lempar bola ke lapangan! Langsung lari masuk... Kan jadi terwujud deh keinginan main bola di Camp Nou?"
Melihat Zhou Yi bercanda, remaja itu menggelengkan kepala: "Nggak mau ngomong lagi sama lo!"
Tapi beberapa detik kemudian, si remaja nggak tahan nanya lagi: "Eh, Zhou Yi, lo kapan berangkat?"
"Masih beberapa waktu lagi, nunggu proses administrasi di Borussia Dortmund selesai," Zhou Yi sambil melanjutkan juggling bola.
"Yaelah, Borussia Dortmund juga oke lah. Yang penting lo bisa main di klub beneran. Nggak kayak kita, cuma bisa di tempat kumuh ini..."
Zhou Yi tersenyum tanpa bicara.
"Menurut lo acara 'Penerus Hijau' bakal ada season kedua nggak?"
"Responsnya bagus, kayaknya bakal ada."
"Nanti gue juga mau daftar! Gue juga pengen ketahuan sama Barcelona!"
"Elo? Coba aja dulu bisa nyuri bola dari kaki gue nggak." Zhou Yi tiba-tiba mengangkat bola melewati kepala remaja itu lalu lari ke belakangnya.
"Woy, jangan meremehin gue!" Si remaja berbalik mengejar.
Keduanya berlarian di lapangan berdebu yang tertutup tanah kuning, bayangan mereka memanjang diterpa senja.
……
Manajer Umum klub, Bapak Zhang, keluar dari kantor dan melihat He Ying yang menunggu di luar.
He Ying langsung berdiri begitu melihat Manajer Zhang muncul.
“Direktur Utama Zhang tersenyum: "Baiklah, He Ying. Dua minggu lagi, kamu resmi menjadi pemain Barcelona!"
Wajah He Ying yang sempat tegang mulai mengendur, muncul senyum lega mendengar ucapan itu.
"Lihat kan? Saya tidak bohong. Klub kami memang mendorong pemain untuk bermain di luar negeri guna meningkatkan kemampuan. Kali ini klub benar-benar tidak menghalangi urusanmu."
"Terima kasih, Paman Zhang." He Ying mengucapkan terima kasih dengan tersenyum.
"Tidak usah sungkan. Kami semua ingin melihat lebih banyak pemain berbakat muncul di negara kita. Jika ada masalah selama di sana, hubungi saya kapan saja." Direktur Zhang menepuk bahu He Ying.
Ia sangat mengagumi bakat yang dihasilkan sistem akademi klub ini. Sebagai pilar utama tim nasional junior, masa depannya tak terbatas asalkan tidak ada halangan.
Namun jika tetap di dalam negeri, mungkin akan mengganggu perkembangannya. Bakat sehebat ini sudah tidak mungkin berkembang lagi di China. Ia harus ke kompetisi level tinggi, berlatih sepak bola berkualitas, dan bersaing dengan lawan tangguh untuk berkembang cepat.
Sebagai mantan komentator siaran Serie A di stasiun TV, Direktur Zhang memiliki wawasan internasional. Ia paham betul seberapa besar kemajuan yang bisa diraih pemain muda di lingkungan sepak bola berkualitas tinggi.
“Yang paling penting saat bermain sepak bola di luar negeri adalah mandiri dan disiplin, aku akan menjaga diri dengan baik, Paman Zhang.” He Ying menolak tawaran baik direktur umum dengan halus.
“Kamu ini...” Direktur Zhang sudah sangat familiar dengan sifat He Ying. Terhadap jawaban seperti ini, ia hanya menggelengkan kepala tanpa berkata apa-apa.
“Semangat! Harapan sepak bola negara kita ada di pundak generasimu.”
“Aku pasti akan berusaha, Paman Zhang. Ini juga motivasiku bermain di luar negeri.” He Ying berkata dengan sungguh-sungguh.
……
“Zhou Yi, dengarkan! Aku diterima Chelsea!”
Zhou Yi terpaksa menjauhkan telepon dari telinganya karena teriakan Sun Pan yang terlalu keras.
“Hari ini klub memberitahuku! Gila! Aku pikir ini mimpi! Luar biasa! Chelsea loh!” Sun Pan masih berteriak-teriak.
“Jangan senang dulu, bagaimana jika timmu tidak melepasmu?” Zhou Yi menyiram air dingin. Jika tidak, bocah ini bisa terus berteriak sejam penuh dengan kalimat yang sama: "Gila, Chelsea memilihku!"
“Berani mereka!” Sun Pan malah semakin bersemangat. “Kalau tidak melepas gue, gue keluar tim! Gue pindah sebagai pemain bebas, Chelsea tidak perlu bayar sepeser pun!”
“Baiklah, keren kamu. Aku hanya bicara sembarangan, jangan dipikirkan.” Zhou Yi segera menenangkan.
“Pokoknya kali ini gue nekat ke luar negeri. Di dalam negeri nggak seru, lebih baik ke luar. Lagipula di sana ada kuda laut besar rambut pirang! Gue mau banggakan negara, sebarkan benih ke seluruh dunia!”
“Otakmu nggak bisa mikirin hal yang normal apa?” Zhou Yi merasa kesal dengan motif Sun Pan pergi ke luar negeri untuk main bola.
“Ini nggak normal? Reproduksi kan naluri manusia...”
“Sudah, sudah. Dua bulan bareng Yang Muge aja bisa ngomong begitu. Ngomong-ngomong, gimana kabar Yang Muge?” Zhou Yi piawai mengalihkan topik.
“Lao Yang? Dia juga oke, kayaknya ada klub Jerman yang minat... Tapi klub apa... Aku nggak tahu. Lao Yang kayaknya juga belum tahu.”
“Hah? Klub Jerman? Itu bagus, satu negara sama aku!” Zhou Yi bersemangat.
“Iya, nanti kalian bisa sering ketemu, mungkin bisa saling lawan di pertandingan!”
“Eh, Lao Guo gimana?”
“Lao Guo? Nggak tahu, aku nggak kontakan dia...”
Sun Pan menyelesaikan topik dengan singkat, lalu mulai mengoceh tak henti tentang kehidupan bahagianya di Eropa.
Tapi nama Guo Nu tetap mengganjal di hati Zhou Yi.
Mereka berempat adalah yang paling akrab di acara realitas itu. Sekarang dirinya, He Ying, Sun Pan, dan Yang Muge sudah dapat minat klub Eropa. Lalu Guo Nu?
Apa ada klub yang tertarik padanya juga?
Kalau semua orang ke Eropa, hanya Lao Guo yang tertinggal di dalam negeri... Apa dia nggak merasa kecewa?
Dia teringat saat pertama kali mereka mengunjungi Sekolah Sepak Bola La Masia. Guo Nu memandang penuh harap ke foto-foto bintang Barcelona di dinding.
"Seperti seorang anak yang memandang hadiah ulang tahun yang selalu ia impikan."
"Tapi sayangnya, Barcelona akhirnya memilih He Ying dan tidak tertarik padanya."
"Saat itu semua orang memberi selamat kepada He Ying, tapi Zhou Yi melihat kekecewaan di mata Lao Guo."
"Semoga dia juga bisa mendapatkan tempat yang baik..."
……
"Pelatih Liu, apakah di tim utama ada pemain bernama 'GUONU'?" Seorang staf klub berkostum jas menemui pelatih tim utama sambil memegang selembar faks.
"Siapa namanya?" Pelatih Liu yang mengenakan seragam olahraga tidak mendengar jelas.
Orang itu langsung menyodorkan kertas tersebut.
"Ini..." Pelatih Liu tidak mengerti.
"Dokumen faks dari klub Inter Milan. Mereka menanyakan tentang pemain bernama 'GUONU' di klub kita, mungkin tertarik," jelas staf klub.
"Inter Milan? Wah! Siapa di tim kita yang hebat sampai menarik perhatian raksasa Italia ini?"
"Makanya saya tanya, apakah ada pemain seperti ini di tim utama? Saya rasa tidak ada?"
"Hmm, saya lihat..." Pelatih Liu mengamati kertas itu, "Margaku Guo? Di tim utama ada dua pemain bermarga Guo, tapi nama mereka tiga suku kata... Guo... Nu?"
Setelah merangkai nama itu, mata Pelatih Liu berbinar: "Oh, dia!"
"Kau tahu siapa?"
"Sangat tahu! Sosok bermasalah yang terkenal di tim muda, temperamennya sangat pemarah, postur tidak tinggi tapi fisiknya luar biasa prima. Beberapa waktu lalu kan dikirim klub kita ikut acara realitas 'Pewaris Lapangan Hijau'? Ikut tim dadakan menantang tim junior klub top Eropa... Kalau begitu jadi masuk akal, sepertinya dia dilirik saat bertanding melawan tim muda klub top. Beberapa dari kelompok itu memang dilirik klub Eropa. He Ying, kamu tahu kan?"
Staf mengangguk: "Bintang utama timnas U-19."
"Betul! Orangnya sudah ke Barcelona!"
"Sekeren itu?" Staf tertegun. Kapan pemain China bisa berhubungan dengan Barcelona?
Kalau dengan Inter Milan mungkin tidak terlalu mengejutkan, soalnya sebelumnya pernah ada kiper muda yang diuji coba di Inter Milan dan dikabarkan diminati mereka.
"Bukan cuma itu! Zhou Yi yang tadinya anak SMA, karena ikut program ini sekarang dilirik Borussia Dortmund! Dari pemain amatir langsung jadi anggota tim muda klub sepakbola profesional! Kehidupan mereka berubah total!" Pelatih Liu bersemangat bercerita, sepertinya tiap episode 'Penerus Hijau' tidak ada yang terlewatkan.
“Tak disangka, Guo Nu juga direkrut. Sudah kubilang kan, Hubei itu gudangnya talenta! Level akademi klub kita juga tinggi, nggak kalah sama Shandong, Liaoning, atau kota-kota besar seperti Beijing-Shanghai-Guangzhou!” Liu pelatih merasa bangga sebagai praktisi sepak bola melihat anak didiknya diakui klub top Eropa.
“Eh, mau ke mana?” Tanyanya heran saat melihat orang itu tiba-tiba berbalik pergi di tengah obrolan serunya.
“Ke tim muda!”
……
“Bu, aku mau kuliah ke luar negeri.” Zheng Lulu menggigit bibir di ambang pintu ruang tamu, ragu-ragu mengutarakan keinginannya pada ibu yang sedang asyik menonton TV di sofa.
Sang ibu tertegun sejenak sebelum bereaksi, “Masya Allah, akhirnya kamu sadar juga! Sudah lama Ibu bilang, kita mampu biayain kamu sekolah ke luar negeri. Buat apa ikut Ujian Nasional? Lihat tuh, tidur larut bangun pagi, PR numpuk terus, ujian sana-sini. Nanti kulitmu jadi jelek! Umur 20 keliatan kayak 40... Ayo, mau ke mana? AS, Inggris, Australia, Kanada... Ibu bisa urusin semuanya...”
“Aku mau ke Jerman...” Zheng Lulu menunduk sambil menggigit bibir.
“Apa?!!” Teriak ibunya kaget.
“T...Tidak boleh ya?” Gadis itu menatap ibu dengan keberanian terkumpul, “Kalau tidak, lebih baik aku nggak usah ke luar negeri.”
“Tidak, eh tidak... Jerman, Jerman juga boleh. Tapi sayang, kenapa pilih Jerman?”
“Tidak boleh pilih Jerman? Ibu tidak bisa urus kalau Jerman?” Zheng Lulu membalas bertanya.
“Uh, tidak, tidak masalah, Jerman juga tidak masalah! Asalkan kamu mau kuliah di luar negeri, ke mana saja boleh!”
Zheng Lulu tertawa, berkata pada ibunya: “Terima kasih, Bu.”
“Terima kasih apaan? Aku ini ibumu!”
……
Hari Senin lagi, banyak siswa masih belum lepas dari rasa santai libur Sabtu-Minggu. Mereka berdiri lesu di depan tiang bendera, ada yang menguap berlebihan, memicingkan mata dalam barisan, terhuyung-huyung seolah bisa jatuh tidur kapan saja.
Tapi tiba-tiba keriuhan muncul di antara siswa, karena mereka melihat kepala sekolah tua Lin Xianrong muncul di podium!
Bukankah beliau sudah tidak hadir dalam upacara bendera setiap Senin? Kenapa hari ini datang? Ada hari spesial apa?
Saat para siswa berbisik-bisik penuh keheranan, Lin Xianrong maju ke depan dan berdiri di depan mikrofon.
“Aku tahu kalian heran dengan kedatanganku. Pasti mengira kakek tua ini sudah tidak bisa keluar kantor lagi, ya?”
Kalimat pertama Lin Xianrong langsung membuat banyak siswa tertawa, riuh tawa terdengar dari bawah panggung.
Tawa siswa mengusir kantuk dan rasa menguap mereka.
Tapi para guru justru kaget bukan main – Kapan Lin Lao bisa bicara bernada bercanda seperti ini?
Baik itu Wang Shunquan maupun pimpinan sekolah lainnya, wali kelas dan guru-guru di bawah panggung juga memandang kepala sekolah mereka dengan tatapan terkejut. Mereka merasa sama sekali tidak mengenal Lin Lao lagi.
"Karena itu saya justru harus datang. Hari ini, dengan memakan waktu kalian sebentar, saya ingin mengobrol dengan para siswa. Karena baru-baru ini saya bertemu dengan seorang remaja sebaya kalian, yang membuat saya sadar mungkin saya terlalu lama terjebak di kantor sampai hampir tidak tahu bagaimana wajah anak muda zaman sekarang. Jadi saya ingin berbincang dengan kalian, siapa tahu kalian juga bisa membuat saya menjadi lebih muda sedikit?"
Melihat Lin Xianrong berbicara seperti ini, mulut Wang Shunquan terbuka lebar sampai bisa memasukkan bohlam lampu - kepala sekolah tua yang dikenal disiplin ini biasanya sangat serius, kapan pernah dia mengobrol santai dengan siswa dalam upacara bendera?
Tapi para siswa justru memperhatikan dengan sungguh-sungguh, memandang antusias ke podium utama sambil menyimak pidato pimpinan.
Ini benar-benar pertama kalinya.
……
"Barang-barang sudah cukup? Pakaian yang dibawa, musim dingin di Jerman sangat dingin, kamu harus perhatikan kehangatan. Sekarang berangkat pas musim dingin mulai, saya sudah cek ramalan cuaca... Sandal, sandal sudah dibawa?"
Zhou Jianliang berjongkok di lantai. Di depannya, koper besar Zhou Yi terbuka lebar. Ia sedang memeriksa isi koper sambil berbicara.
Zhou Yi berdiri di samping dengan wajah kesal: "Yah, di rumah saja Ayah sudah memeriksa tiga kali seperti ini."
“Apa yang kamu tahu? Setiap kali pergi pasti ada yang ketinggalan? Tapi kali ini beda, kamu pergi jauh dan lama. Kalau sampai ada yang tertinggal, bakal repot. Makanya harus teliti! Paspor, sudah bawa paspor?”
“Ini…” Zhou Yi mengangkat buku merah kecil di tangannya dengan pasrah.
“Simpan baik-baik!” Zhou Jianliang buru-buru melambaikan tangan. “Jangan digoyang-goyang begitu, nanti jatuh! Ini barang penting, jangan sampai hilang!”
“Aduh, Ayah, aku kan juga pernah ke luar negeri...”
Zhou Jianliang masih ingin bicara, tapi istrinya Li Cuiyun langsung merebut koper dan menutupnya keras-keras: “Sudah! Banyak tingkah! Baju kurang beli sendiri di sana. Kalau hidup mandiri saja tidak bisa, ngapain main sepak bola!”
Kali ini Zhou Yi berpihak pada ibunya: “Iya, Ayah tenang saja. Aku kan bukan anak tiga tahun.”
“Apa yang kamu tahu?” Kali ini Zhou Jianliang membentak istrinya. “Zhou Yi tidak kenal tempat, bahasanya tidak nyambung. Hidup sendiri di luar negeri pasti susah...”
“Bahasa tidak bisa dipelajari? Harus bisa mandiri! Masa mau tergantung kita selamanya?” Li Cuiyun tidak mau mengalah.
Ketika dua orang itu masih berdebat, Tim Kiste akhirnya muncul.
Melihatnya, Zhou Yi menghela napas lega. Zhou Jianliang dan Li Cuiyun pun malu bertengkar di depan orang asing.
“Tuan Kist, anak saya saya titipkan pada Bapak, mohon perhatiannya.” Zhou Jianliang bersemangat menggenggam tangan Kist sambil terus menggoncang-goncangkannya.
“Tenang saja, Tuan Zhou. Zhou Yi adalah harta berharga klub kami, saya akan menjaganya dengan baik, tidak akan ada satu helai rambut pun yang hilang!” Kist tersenyum berbicara dalam bahasa Mandarin.
“Kalau ada tingkah nakal anak ini, mohon dimaklumi…” Zhou Jianliang masih terus menggoyang-goyangkan tangan lawan bicaranya.
Zhou Yi di sampingnya mengedipkan mata putih.
“Tidak akan, Tuan Zhou. Zhou Yi anak yang sangat pintar bersikap.”
“Lihatlah!” Zhou Yi mendengus. “Memang pantas jadi scout, selera matanya bagus! Langsung bisa melihat kedalaman diriku!”
“Diam kau! Dikasih pujian sedikit langsung besar kepala!” Zhou Jianliang melototi Zhou Yi.
Li Cuiyun di samping sudah tidak tahan melihatnya: “Kalau Bapak tidak melepas tangan, mereka tidak akan sempat lewat pemeriksaan keamanan.”
Barulah Zhou Jianliang melepas tangan Kist, tapi mulutnya masih terus mengingatkan: “Terima kasih, Tuan Kist, perjalanan ini mohon perhatian Bapak untuk menjaganya…”
Lalu menoleh ke Zhou Yi: “Setiba di sana telepon ke rumah, jangan pelit-pelit biaya, ini tidak boleh dihemat.”
“Saya tahu, saya sudah tahu, Ayah.” Zhou Yi melirik meminta tolong ke arah Ibu, merasa jika ini berlanjut, hari ini dia tidak akan bisa berangkat.
Li Cuiyun batuk-batuk kecil: “Apa Bapak tidak mau anak kita main bola di Jerman? Kalau begitu saya juga tidak keberatan…”
Zhou Jianliang segera melambai ke Zhou Yi dan Kist: “Selamat tinggal! Semoga selamat di perjalanan!”
……
“……Pada dirinya, terdapat banyak hal yang kami para orang tua anggap sebagai kekurangan. Jika kami terus memandang dengan cara itu, memang itu semua adalah kekurangan. Tapi kemudian saya menyadari itu tidak benar – itu bukan kekurangan, melainkan hal-hal yang tak bisa dipahami oleh kami para orang tua dengan pandangan kolot. Sejujurnya, hal semacam itu mungkin muncul pada dirinya, juga pada kalian para siswa yang hadir di sini. Tapi itu bukan kekurangan, saya lebih suka menyebutnya 'kemungkinan'.”
Saat Lin Xianrong berbicara, lapangan sekolah sunyi senyap. Desas-desus obrolan frekuensi rendah yang biasanya tak tertahankan, hari ini sama sekali tak terdengar.
Para siswa yang menunduk bermain ponsel atau membaca buku, semuanya meletakkan kegiatan mereka. Mereka mengangkat kepala dan mendengarkan dengan penuh perhatian pidato kepala sekolah tua itu.
“Teman-teman siswa, dalam diri kalian terdapat begitu banyak kemungkinan, mungkin banyak yang bahkan tidak kalian sadari, namun itu benar-benar ada. Ini adalah keunggulan terbesar kalian, karena dibandingkan dengan orang tua seperti saya, kehidupan kalian masih menyimpan begitu banyak potensi yang menunggu untuk digali dan diciptakan. Pemuda itu, menurut standar konvensional, bukanlah siswa berprestasi. Nilai akademisnya tidak terlalu baik, dan dia juga tidak cukup giat dalam belajar. Namun sekarang, dia dengan tegas meninggalkan jalur yang telah ditetapkan masyarakat untuknya, memilih jalan yang sama sekali berbeda dari mayoritas teman sebayanya. Karena dia tahu, dalam dirinya tersimpan berbagai kemungkinan yang harus dicoba. Dia mungkin gagal, tapi saya tidak akan menertawakannya, karena seseorang yang serius mencoba berbagai kemungkinan hidup patut dihormati. Selain mengkhawatirkan kegagalannya, ingatlah juga bahwa dia memiliki peluang yang sama untuk sukses.”
Beberapa siswa dan guru sudah menyadari siapa yang dimaksud kepala sekolah, banyak yang melirik ke arah formasi Kelas 3 SMA Kelas 3.
Di bawah sorotan mata-mata itu, Zhai Liying merasa tidak nyaman – dia tidak menyangka Lin Lao memberikan penilaian setinggi itu pada siswa yang paling merepotkannya.
Kalau begitu... apakah aku yang salah?
Batinnya bertanya-tanya.
Namun di sampingnya, para siswanya justru berdiri tegak dengan bangga – Kepala Sekolah sedang membicarakan teman sekelas kami!
Kepala Bidang Kesiswaan Wang Shunquan juga paham maksud kepala sekolah tua. Ia memandang punggung kepala sekolah dengan heran, sama sekali tidak mengerti mengapa kepala sekolah tua membela anak nakal terkenal itu!
"Pendidikan, bukanlah untuk mencetak kalian menjadi replika identik berdasarkan standar seragam. Para siswa, setiap dari kalian adalah individu yang mandiri, memiliki kepribadian dan pemikiran independen. Pendidikan, selain memberikan dasar yang kokoh, sejatinya bertujuan menggali potensi dalam diri masing-masing, membuka lebih banyak kemungkinan dan kejutan dalam hidup kalian. Saya berharap di SMA 1 Qingyang, kalian bisa menjadi siswa berprestasi yang diterima di Tsinghua-Peking University, atau menjadi pelukis, penyanyi, desainer, pengusaha, tentara, peneliti, atlet... Tapi ingat, apapun profesi yang kalian pilih di masa depan, jadilah pribadi yang bertanggung jawab atas diri sendiri dan bermanfaat bagi masyarakat."
Lin Xianrong memandang jauh melampaui lautan siswa di bawah panggung, melintasi tembok dan gerbang sekolah, menatap langit tak bertepi di kejauhan.
"Inilah harapan kecil seorang veteran pendidik kepada seluruh siswa dan guru yang hadir di sini. Terima kasih telah mendengarkan pidato saya hingga akhir!"
Usai berkata demikian, ia mundur selangkah dan membungkuk dalam-dalam ke arah hadirin.
Lapangan yang sempat hening sejenak tiba-tiba meledak oleh gemuruh tepuk tangan dan siulan bergemuruh bak guntur, mengguncang relung hati setiap orang. Kilatan api semangat terpancar dari sorot mata mereka.
……
Usai melewati pos pemeriksaan keamanan, Kist dan Zhou Yi menengok ke belakang. Masih terlihat orang tua Zhou Yi berdiri di luar area pemeriksaan, memandang lama ke arah bayangan mereka yang semakin menjauh.
Kist teringat penampilan orang tua Zhou Yi tadi, tak bisa menahan tawa: "Zhou Yi, Ayahmu benar-benar orang yang menarik."
"Dia memang selalu begitu, hanya agak cerewet, kau merasakannya kan?" kata Zhou Yi.
"Hmm." Kist mengangguk, "Tapi itu bentuk ekspresi kasih sayang orang tua ke anak, mungkin sekarang kau belum paham..."
"Tidak, Tuan Kist. Aku mengerti." Zhou Yi menggeleng. "Bagiku, mereka Ayah dan Ibu terbaik di dunia."
Kist menatap Zhou Yi, ia melihat ekspresi serius di wajah anak itu saat mengucapkan kalimat itu, bukan bercanda.
……
"Ayo pergi, sudah tidak kelihatan lagi." Zhou Jianliang menarik tangan istrinya, tapi sang istri tetap berdiri di tempat.
"Ada apa sih..."
Ketika menoleh, ia baru sadar istri sedang menggigit bibir bawah dengan kencang, dagu bergetar halus, matanya sudah memerah.
"Tak tega melepas?"
Istri tiba-tiba bersandar di bahunya, terisak: "Omong kosong! Ini kan bukan pergi dua minggu... dua bulan..."
"Kalau tak tega, telepon saja. Uang telepon internasional jangan dihemat." Zhou Jianliang merangkul erat istrinya.
"Jangan, terlalu sering telepon bisa bikin dia rindu rumah..." Istri menggeleng. "Tidak baik untuk kemandiriannya..."
"Dasar kau... Ayo pergi, kita nikmati masa berdua saja!"
"Siapa yang mau berduaan denganmu!" Istri mencubit pinggang Zhou Jianliang.
Zhou Jianliang menghela nafas kesakitan, namun semakin erat memeluk istrinya.
