Melihat perayaan gila-gilaan pemain Schalke 04 setelah gol Draxler, para pemain Dortmund juga merasa tidak nyaman.
Lars Ricken yang awalnya menonton di tribun akhirnya turun dan berjalan memutar ke bangku cadangan, berdiri di samping Eckerle.
Eckerle mengerutkan kening.
Kebobolan satu hal, tapi yang lebih dikhawatirkannya adalah kondisi Zhou Yi.
Jelas terlihat, setelah Schalke 04 melakukan penyesuaian di babak kedua, Zhou Yi mulai terkekang.
Di bawah tekanan pertahanan Peterlak yang kasar dan tanpa ampun, Zhou Yi hampir tidak bisa mengorganisir serangan di babak kedua.
Selama periode ini, Dortmund sepenuhnya dikuasai oleh Schalke 04.
Secara kualitas keseluruhan, tim muda Schalke 04 saat ini memang lebih unggul dari tim junior Borussia Dortmund, terlepas dari pengakuan pihak Dortmund.
"Kondisi fisik Zhou Yi..." Lars Ricken juga menyadari akar masalahnya.
“Sebenarnya sudah cukup baik. Sambil melakukan latihan fisik, dia juga menjalani latihan kekuatan. Tapi dasarnya lemah, tidak ada cara. Jika tujuan kita adalah melatihnya menjadi tank, itu mustahil sama sekali…” Eckerle menggelengkan kepala.
“Tentu saja, tidak ada yang mengira Zhou Yi bisa menjadi pemain yang tak tergoyahkan di lapangan. Tapi setidaknya dia harus punya kemampuan dasar bertarung fisik. Dia harus bisa menahan lawan untuk melindungi bola kan?” Ricken masih tidak puas dengan tubuh kurus Zhou Yi.
“Pelan-pelan saja. Pelan-pelan.” Eckerle tidak terlalu khawatir tentang fisik Zhou Yi karena dia tahu panik tidak berguna. Kebugaran fisik tidak bisa membaik dalam semalam, perlu proses jangka panjang. Seperti masalah stamina Zhou Yi dulu – saat pertama bergabung dengan tim junior Borussia Dortmund, bertahan setengah pertandingan saja sulit. Setelah latihan keras lebih dari dua bulan, Zhou Yi kini sudah memenuhi kebutuhan stamina dasar untuk bermain.
Hal yang sama berlaku untuk kekuatan.
“Lalu pertandingan kita ini…” Ricken juga merasa frustrasi.
“Kita lihat lagi.” Kata Eckerle.
……
Setelah pertandingan berlanjut, Schalke 04 mendapat manfaat dari strategi pertahanan terhadap Zhou Yi, sehingga mereka terus mempertahankan gaya permainan ini.
Peterak masih mengikuti Zhou Yi seperti bayangan, tidak memberinya ruang untuk menerima bola dengan nyaman.
Setelah berhasil membungkam Zhou Yi, mulutnya yang tajam itu mulai tak bisa diam lagi.
Setiap kali berhasil menghalau Zhou Yi, dia selalu mengejek Zhou Yi, berusaha membalas dendam atas ejekan Zhou Yi yang membuatnya terdiam sebelumnya.
"Gimana, bocah? Coba oper lurus lagi ke sini!"
"Bukannya kamu jago oper lurus? Tunjukkan pada gue!"
"Badammu kecil-kecil begini, nggak cocok main bola. Mending main pingpong aja!"
……
Zhou Yi merasa seperti dikerubungi seribu lalat yang terus mengikutinya ke mana pun pergi.
Tapi Zhou Yi tidak membalas. Fokusnya sekarang adalah bagaimana memecah kebuntuan, bukan berdebat. Padahal soal debat, dia pasti bisa mengalahkan Peterak.
Saat ini lawan menempel ketat, bahkan tidak memberi ruang untuk berputar. Bagaimana cara mengatur serangan?
Oper ke belakang?
Ini satu-satunya opsi. Untuk membangun serangan, bola harus diarahkan ke gawang. Dalam posisi ini, hanya bisa oper ke belakang.
Tapi mengoper dengan akurat ke gawang saja sudah sulit, apalagi dalam posisi membelakangi gawang.
Dia tidak bisa melihat situasi di belakang...
Siapa bilang dia tidak bisa?
Zhou Yi memutar kepala secepat kamera high-speed, merekam situasi belakang. Putaran kepala ke sisi lain langsung menangkap seluruh kondisi di belakangnya.
Sekarang Zhou Yi bisa melihat seluruh area belakang. Tapi melihat belum tentu bisa mengoper dengan tepat.
“Ini juga merupakan masalah yang sangat besar.”
Operan tumit memiliki banyak keterbatasan, tidak bisa mencapai akurasi dan kekuatan seperti operan normal.
Setelah Zhou Yi berencana mencoba operan tumit, dia menerima beberapa operan lagi, tapi sama sekali tidak mungkin melakukan operan tumit. Dia terpaksa mengoper bola kembali, hasil terbaik hanyalah operan menyilang...
Di belakangnya, ejekan Peterak masih berlanjut, tapi Zhou Yi sudah bosan mendengarnya karena anak itu hanya mengulang-ulang kalimat yang itu-itu saja tanpa kreativitas. Setelah lama didengar, otak akan otomatis memblokirnya menjadi suara latar yang tak berarti.
……
Sudah sepuluh menit berlalu sejak Borussia Dortmund kebobolan.
Dalam sepuluh menit ini, Schalke 04 mendominasi. Serangan mereka lebih berbahaya, Draxler tampil menonjol dengan terus mengancam gawang Borussia Dortmund lewat sayap dan area tengah.
Sementara serangan Borussia Dortmund yang sedikit itu, karena Zhou Yi dijaga ketat, tidak bisa mengancam gawang Schalke 04.
Di bawah tekanan serangan Schalke 04, gawang Borussia Dortmund dalam bahaya. Mereka sangat mungkin kebobolan lagi, atau bahkan lebih banyak.
"Kurasa Dortmund akan kalah." Katarina di tribun mengangkat tangan sambil berkata.
Ucapan itu langsung ditanggapi dengan tatapan tajam dari ibunya: "Jangan asal bicara!"
“Bukannya hanya orang bodoh yang bisa melihat, Ibu?” Kotana menggelengkan kepala. “Sudah berapa lama Mark tidak melakukan tembakan yang layak? Zhou Yi sama sekali tidak bisa mengoper bola ke kaki adiknya.”
Mendengar perkataan Kotana, Ibu Wagner juga menghela napas. Sebenarnya di dalam hatinya, dia tahu bahwa anak perempuannya benar - situasi Borussia Dortmund sangat berbahaya.
Tapi sebagai seorang fans Borussia Dortmund, bagaimana bisa dengan mudah mengakui bahwa tim akan kalah dari musuh bebuyutan?
“Para pemain itu mungkin otaknya penuh otot, tapi setidaknya mereka punya otot. Lalu pemain China itu? Bahkan otot pun tidak punya, bagaimana melawan pria berotot itu?” Yang dimaksud Kotana dengan “pria berotot” adalah Peterak yang selalu menempel erat pada Zhou Yi. Tingginya hampir 1,9 meter, otot-otot tubuhnya berlapis-lapis, terlihat sangat kekar. Di hadapannya, Zhou Yi yang kurus tampak seperti anak kecil... bukan, Zhou Yi memang seorang anak, mungkin lebih tepat dikatakan Peterak terlalu kekar untuk disebut anak.
Bagaimanapun juga, menurut Kotana, Peterak adalah tembok yang tak bisa dilewati Zhou Yi. Dengan perbedaan fisik yang begitu besar, mana mungkin pemain China itu menang?
Saat sedang bosan, dia pernah mensimulasikan situasi pertarungan antara Zhou Yi dan Peterak. Tapi dalam skenario apapun, Zhou Yi tidak memiliki peluang menang.
……
Zhou Yi merasakan stamina dalam tubuhnya terus terkuras. Waktu pemulihan semakin lama, jumlah yang pulih semakin sedikit.
Padahal saat ini pertandingan belum mencapai tujuh puluh menit.
Dalam pertandingan ini, Zhou Yi menghabiskan stamina lebih banyak dari biasanya untuk melepaskan diri dari Peterak. Dia merasa lebih lelah dibanding pertandingan pemanasan biasa.
Mungkin dia tidak bisa bertahan hingga 90 menit berakhir, jadi harus melakukan sesuatu untuk mengubah situasi pertandingan sebelum digantikan.
Dia bisa melihat ruang kosong di belakang, Mark juga bisa lari ke sana, tapi jika bola tidak sampai ke sana, apa gunanya?
Bagaimana cara mengirim bola ke sana?
Zhou Yi kembali menerima operan rekan setim, tapi kali ini bola yang datang terlalu keras. Lebih mirip tembakan daripada operan!
Zhou Yi mengangkat kaki untuk mengontrol, tapi karena ada lawan di belakangnya yang menekan, kurang ruang untuk menarik diri. Bola menghantam bagian dalam kaki lalu langsung memantul keluar!
Bola hilang!
Bersamaan itu, Zhou Yi jelas mendengar suara ejekan sinis dari belakang kepalanya. Pasti suara seribu lalat lagi...
Tapi dia tidak menghiraukannya karena tiba-tiba sebuah ide muncul. Seperti ada lampu yang menyala di pikirannya karena pantulan bola tadi!
Schalke 04 langsung melancarkan serangan balik cepat. Untungnya tembakan Draxler akhirnya melambung di atas mistar gawang, tidak menjadi gol!
Tapi semua pendukung Borussia Dortmund sudah dibuat berkeringat dingin.
Meski bola hilang dari kaki Zhou Yi, rekan setim yang memberi operan tadi, Mahir Henzel, tidak mengalihkan kesalahan. Dia memberi isyarat pada Zhou Yi bahwa operannya terlalu keras.
Tapi reaksi Zhou Yi justru membuatnya terkejut.
Zhou Yi berlari mendekat dan berkata padanya: "Tak apa, Marwin, kalau ada kesempatan serupa lagi, tetap oper seperti tadi!"
"Operanku terlalu keras, Zhou Yi. Tadi aku terlalu memaksakan operan..." Hensel buru-buru menjelaskan.
"Aku tahu, aku tahu. Tapi justru operan maksimal seperti itu yang kubutuhkan!"
"Ini..." Hensel tampak bingung.
Zhou Yi tak punya waktu untuk menjelaskan rencananya secara detail karena pertandingan masih berlangsung. Ia memanfaatkan momen setelah tembakan Draxler melambung di atas mistar gawang untuk menghampiri Hensel. Sambil menepuk bahu Hensel, ia berkata: "Intinya percayalah padaku, Marwin. Nanti tetap oper seperti tadi, tapi syaratnya situasinya harus sama persis dengan kondisi saat kau mengoperiku barusan!"
Setelah itu, ia berbalik dan berlari pergi. Apakah Hensel benar-benar memahami maksudnya? Zhou Yi sendiri tak yakin. Tapi sepak bola memang seperti ini - selalu ada kejutan yang tak terduga.
Bagaimana menghadapi kejutan-kejutan inilah yang membuat pertandingan sepak bola semakin menarik.
Hensel menyaksikan bayangan Zhou Yi yang berlari menjauh, sambil mencerna kata-kata terakhirnya.
Situasinya harus sama seperti saat aku mengoperinya tadi?
Seperti apa situasi tadi?
Hensel berusaha mengingat-ingat detail kejadian yang baru saja terjadi, beruntung masih segar dalam ingatan.
Saat ini, ia masih bisa mengingat setiap detil saat mengoper ke Zhou Yi.
Saat itu Zhou Yi berada di garis Zona 30 Meter lawan, membelakangi arah serangan, dengan Peterak dari Schalke 04 melakukan penjagaan di belakangnya.
Lebih ke belakang lagi terdapat garis bek-bek Schalke 04, namun di area tengah tidak ada pemain Borussia Dortmund karena Mark yang berposisi sebagai penyerang di pertandingan ini tidak suka diam di satu titik area penalti, melainkan terus bergerak dengan pergerakan posisi yang tidak terduga.
Ketika ia menarik diri ke sayap, area tengah secara alami menjadi kosong.
Pada dasarnya situasinya seperti ini.
Meski telah mengingat detail situasi, Henschel tetap tidak mengerti mengapa Zhou Yi menyuruhnya melakukan hal tersebut.
Tapi seperti yang dikatakan Zhou Yi, percaya saja padanya.
