“Kau gentar pada mimpimu sendiri, dikalahkan dan dilumpuhkan oleh mimpi itu.”
Mark yang masih duduk di tempat tidur terus mengingat kalimat ini. Semakin dipikirkannya, semakin masuk akal. Kalimat sebijak ini mungkin hanya Tuhan yang bisa mengatakannya?
Jangan-jangan aku beruntung, Tuhan turun ke bumi?
Begitu ide ini muncul di benak Mark, ia tiba-tiba merasa ada yang tidak beres.
Bukankah dalam film saat dewa menampakkan diri selalu disertai fenomena gaib, membuat semua orang tahu sang dewa telah muncul?
Mengapa saat Tuhan muncul di kamar tidurku tidak ada reaksi apapun?
Kamarnya tidak dipenuhi cahaya lembut nan samar, telinganya juga tidak mendengar alunan musik surgawi yang indah? Lalu mana malaikat kecil suci yang manis itu?
Jika benar ini penampakan Tuhan, pemandangannya terlalu menyedihkan bukan?
Tidak...
Meski terkadang lambat dalam berpikir, Mark tidak bodoh. Dia tetap akan curiga terhadap hal-hal yang melampaui pemahaman logis.
Setelah mengingat-ingat percakapan tadi, dia menyadari suara yang berbicara dengannya... sepertinya berasal dari bawah?
Tuhan ada di bawah tempat tidur?
……
Zhou Yi berbaring diam di kolong tempat tidur sambil menahan napas. Semua yang perlu dikatakan sudah diucapkannya. Dia hanya berharap "semangkuk sup jiwa" terakhirnya bisa memabukkan Mark hingga tak melanjutkan pertanyaan, sekaligus tertidur dalam perenungan.
Begitu Mark tertidur, dia bisa diam-diam pergi.
Kalau tidak, berbaring semalaman di lantai keras dan dingin ini pasti sangat menyiksa.
Saat dia menahan napas, tiba-tiba terdengar suara berderak dari atas tempat tidur. Wajah yang terbalik muncul di hadapan Zhou Yi: "Zhou Yi?!"
Zhou Yi kaget melihat wajah dan suara yang tiba-tiba itu. Kepalanya secara refleks mengangkat ke atas, lalu "dug!" tanpa ampun membentur rangka tempat tidur.
"Aduh!"
Dengan erangan kesakitan, dia langsung menutupi belakang kepala dan merosot ke lantai.
"Tuhan" tak sengaja membenturkan kepala...
……
"Jadi karena khawatir aku putus asa, kau bersembunyi di kolong tempat tidur dan pura-pura jadi hantu?" Mark duduk bersila di tempat tidur, memandang Zhou Yi yang sedang duduk di kursi sambil terus mengusap belakang kepalanya.
"Apa maksudnya pura-pura hantu? Aku cuma pura-pura dewa, tidak bermain hantu." Zhou Yi mengerenyit kesakitan sambil meraba bagian belakang kepalanya yang benjol. "Orang bilang rela berkorban untuk teman. Mark, aku sampai kepala benjol demi kamu. Harusnya kamu berterima kasih padaku!"
Mark tertawa: "Aku tidak pernah meragukan persahabatanmu, Zhou Yi. Kau teman terbaik seumur hidupku! Tapi lain kali kalau mau bicara, jangan sembunyi di kolong tempat tidur lagi. Langsung saja..."
"Kau pikir aku suka sembunyi di kolong tempat tidur?" Zhou Yi memutar matanya. "Kolong tempat tidurmu penuh kaos kaki bau dan sepatu kotor! Aku hampir pingsan! Tapi kalau tidak begini, maukah kau mendengarkan? Lihat tingkahmu hari ini seperti orang linglung. Kalau tidak kuakting jadi dewa, maukah kau dengar?"
Mendengar keluhan Zhou Yi, Mark pun terdiam.
Performanya hari ini memang sangat buruk. Dia tahu ini tidak baik, tapi emosi saat itu begitu kuat. Tidak bisa main di pertandingan sudah menyakitkan, saat berusaha keras di latihan malah dimarahi pelatih. Belum lagi Götze yang bilang dia sebenarnya tidak layak main di U19... Rentetan masalah ini terlalu berat untuk anak 17 tahun yang mentalnya masih rapuh.
"Maaf, Zhou Yi. Aku membuatmu khawatir..." kata Mark sambil menundukkan kepala.
“Jangan bicara itu lagi. Kalau kamu bisa bangkit, usahaku ini sudah sepadar.” Zhou Yi melambaikan tangan, lalu berdiri untuk pergi. Dia mengantuk dan ingin tidur.
Melihat Zhou Yi hendak pergi, Mark buru-buru berkata lagi: “Tapi aku masih bingung kenapa kamu bilang begitu, Zhou Yi.”
“Maksudmu?”
“Kenapa aku disebut takut pada mimpi? Apa yang menakutkan dari mimpi?”
Zhou Yi membuka tangannya: “Mimpi tidak menakutkan? Coba pikirkan penampilanmu siang tini.”
Begitu topik ini disebut, semangat Mark langsung turun.
“Aku bukan takut pada mimpi, hanya sadar bahwa ini terlalu muluk...” bisik Mark pelan.
“Bukankah itu sama saja dengan takut pada mimpi? Di hatimu, mimpi ini terlalu besar. Kamu merasa tidak mampu mencapainya, lalu mundur dan pengecut. Kalau bukan takut, apa itu?” Zhou Yi bersandar di kusen pintu, menyilangkan tangan sambil membalas bertanya.
“Ini namanya memahami realita! Kesadaran diri!” bantah Mark.
“Pertama, ini bukan realita. Ketidakmampuan mencapai mimpi hanyalah asumsimu sendiri. Kedua, kamu belum berusaha, bagaimana bisa tahu pasti tidak akan berhasil?”
“Aku belum berusaha? Aku sudah berlatih sangat keras! Hasilnya? Malah jadi bahan tertawaan! Semua kacau, bahkan pelatih tidak tahan! Bukankah Götze juga bilang, kemampuanku tidak layak untuk tetap di U19!”
Emosi Markus Wagner tiba-tiba meledak. Dia berteriak keras.
"Nyonya Wagner yang tidur di ranjang tiba-tiba duduk tegak dari tempat tidur."
"Ada apa..." Pak Wagner tua terbangun oleh gerakan istrinya.
"Aku dengar Mark berteriak..."
Pak Wagner tua mengangkat kepala dari bantal, menyendengkan telinga sebentar, tapi tak ada suara apa pun.
"Kau mimpi buruk? Tidur lagi..." Pak Wagner tua membalikkan badan.
Nyonya Wagner mengerutkan alis dan menyimak lagi, benar-benar tak ada suara.
"Aneh..." Gumamnya sebelum kembali meringkuk di bawah selimut.
……
Saat Mark berteriak histeris, Zhou Yi tidak bersuara, hanya memandangnya dengan tenang.
Setelah amukannya reda, Zhou Yi baru bertanya: "Masih ada lagi?"
Mark menatapnya sambil terengah-engah, tetap bungkam.
Melihat sikap Mark, Zhou Yi mendengus: "Jangan lebay, Mark. Cuma satu sesi latihan. Atau kau hanya mau berusaha keras untuk satu sesi latihan saja demi mewujudkan mimpimu?"
Mendengar perkataan Zhou Yi, Mark tertegun. Benar juga, masalah ini sebenarnya cuma berlangsung selama satu sesi latihan...
Zhou Yi langsung melanjutkan: "Kamu bilang bisa memahami kenapa tidak jadi pemain utama di pertandingan pertama, aku pikir kamu benar-benar mengerti... Ternyata itu cuma alasan buat terlihat santai. Baiklah, aku akui sebelumnya aku juga terlalu berkhayal, mengira setelah naik ke U19 bersamamu semuanya akan lancar. Tapi nyatanya sepakbola lebih rumit dari yang kita bayangkan. Jika kamu ingin bermain di U19, jika kamu ingin membuat Schneider terpaku di bangku cadangan, kamu harus bekerja lebih keras, lebih dari saat di U17. Tapi kerja keras ini bukan cuma satu sesi latihan."
"Masih terlalu dini untuk bilang takdirmu gagal meraih mimpi. Kalau benar begitu, aku mulai meragukan apakah mimpimu cuma main-main."
Zhou Yi menatap Mark dengan serius.
Mark benar-benar tertegun, tak bisa berkata-kata.
"Sekarang, masih ada masalah?"
"Aku... aku tidak mau bergantung padamu, Zhou Yi... Tapi aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana..." kata Mark dengan wajah putus asa.
Zhou Yi mendekat dan menepuk bahu Mark: "Ini bukan bergantung, Mark. Aku temanmu, tentu harus membantu saat teman kesulitan. Kalau aku yang kesusahan, apa kamu tidak akan membantuku?"
"Akan, Zhou Yi, pasti akan!"
“Jadi, tidak perlu dipikirkan, kita saling membantu saja. Tentu saja, jika kamu ingin berkembang lebih baik, kamu memang harus meningkatkan kemampuanmu sendiri. Minimal, kamu harus bisa mencetak gol tanpa assist dariku. Jika kamu ingin menjadi legenda Borussia Dortmund, kamu harus mencapai itu.”
Mendengar perkataan Zhou Yi, hati Mark merasa lebih nyaman. Zhou Yi tidak menganggapnya sebagai beban atau penghambat.
“Aku tahu, Zhou Yi, aku juga ingin meningkatkan kemampuanku. Kenapa lagi aku berlatih keras? Tapi… aku tidak tahu harus mulai dari mana… Aku, aku kehilangan arah…”
Zhou Yi berkata pada Mark: “Jangan buru-buru, Mark, selalu ada solusi. Tapi pertama-tama tingkatkan kemampuanmu sendiri, itu pasti benar. Teknik tembakanmu perlu ditingkatkan, kalau tidak, meski dapat peluang, kamu tetap tidak bisa mencetak gol. Tidak mungkin selalu mengharapkan umpan yang mudah untuk ditembak, kan?”
“Benar, aku memang harus meningkatkan kemampuan individu…” Mark teringat karakter yang dihapusnya, Mark virtual itu yang atribut tembakannya mencapai 92.
“Nah, kan.” Zhou Yi mengangkat tangan. “Meningkatkan kemampuan teknik bukan hal instan, sekarang kamu panik juga percuma. Terus latih saja. Sudah, waktunya tidur…” Ia menguap lebar.
“Baik, tidur, tidur dulu…” Melihat Zhou Yi sudah mengantuk sampai menguap, Mark pun tidak enak hati terus bertanya meski masih punya banyak pertanyaan di benaknya.
Zhou Yi sepertinya juga menyadari hal ini, lalu dia berkata pada Mark: "Sekarang jangan pikirkan apa pun, jangan pikirkan masa depan, jangan pikirkan mimpi, dan jangan pikirkan bagaimana caranya. Tidur saja. Bangun besok, semuanya akan membaik, semua masalah bukan masalah. Selamat malam, Mark."
Setelah berkata demikian, ia melambaikan tangan untuk berpamitan.
"Selamat malam, Zhou Yi. Terima kasih." Mark juga berpamitan pada Zhou Yi.
……
Yang membuat Nyonya Wagner senang adalah, saat sarapan keesokan harinya, diam-diam ia mengamati perilaku kedua anak itu dengan cermat. Meski belum bisa dibilang terlihat santai dan ceria, kondisi mereka jauh lebih baik dibanding kemarin malam.
Meski ia tidak tahu pasti apa yang terjadi sehingga membuat anak-anak bersikap seperti kemarin, dan perubahan hari ini. Tapi bagaimanapun, melihat kedua anak mulai kembali normal, hatinya pun lebih tenang.
Dalam hal sepak bola, ia memang tak bisa banyak membantu putranya.
Putranya benar-benar mulai berubah setelah kedatangan Zhou Yi.
Ia berharap jalur karier kedua anak ini bisa berjalan mulus.
……
Setelah tiba di lapangan latihan dengan mobil Ayah, Mark turun dan berjalan ke sisi pengemudi, berkata pada ayahnya: "Yah, jemputku setengah jam lebih lambat ya."
Pak Wagner tua tidak menanyakan alasannya, hanya mengangguk: "Baik."
Justru Zhou Yi heran memandangi Mark.
“Aku ingin latihan tambahan, Zhou Yi.” Mark berkata kepada Zhou Yi. “Latihan tembakan. Nanti setelah latihanmu selesai, tolong tunggu aku sebentar…”
“Oh, tidak masalah. Aku akan latihan stamina di gym saja.” Zhou Yi juga tidak mau menyia-nyiakan waktu setengah jam hanya untuk menunggu. Jika Mark latihan tambahan, dia pun akan melakukan hal yang sama.
Bagaimanapun, dia memang masih perlu meningkatkan staminanya.
……
Keduanya masuk ke ruang ganti. Tak lama kemudian, Götze juga datang.
Melihat mereka, dia langsung mendekat dan berhenti di depan Mark. “Aku datang untuk meminta maaf, Mark. Semalam aku berpikir, ucapan kemarinku terlalu keras. Kumohon jangan disimpan di hati…”
Mark terkejut Götze justru meminta maaf. Dengan gugup dia menggerakkan tangan: “Ah, tidak… Aku tidak menyalahkanmu, Mario. Lagipula kau benar, aku tidak boleh terlalu bergantung pada orang lain, baik Zhou Yi maupun siapapun.”
Götze tersenyum lega. “Bagus kalau kau berpikir begitu. Aku khawatir kau akan terjebak dalam pikiran negatif.”
Zhou Yi di sampingnya menggelengkan kepala – kalau bukan karena dirinya menyusup ke bawah tempat tidur Mark di tengah malam untuk berpura-pura jadi hantu, mungkin Mark memang akan depresi!
Malah kepalanya sampai benjol… Sungguh tidak mudah menjadi temannya!
Dia mengusap-usap belakang kepalanya dengan hati-hati. Perban masih ada.
"Kamu ini bicara blak-blakan, aku bukan hanya harus berbaring di bawah ranjang yang bau, dingin, dan keras, tapi juga kena pukulan tanpa alasan... Aku benar-benar tidak bersalah!"
Götze sepertinya memperhatikan gerakan Zhou Yi di sampingnya, dia juga berbalik dan berkata pada Zhou Yi: "Aku juga harus minta maaf padamu..."
Zhou Yi cepat-cepat melambaikan tangan: "Tidak perlu, tidak perlu. Kamu sepolog kertas putih, bagus kok."
Götze mengerutkan kening dan berpikir beberapa detik: "Kok aku merasa kamu sedang mengejekku?"
"Aku sudah cukup puas kamu tidak perlu mikir semalaman baru ngerti ejekanku." Zhou Yi membuka mulut lebar.
Orang biasa akan marah kalau diejek, tapi Götze tidak. Reaksinya malah tertawa: "Kamu orang yang menarik, Zhou Yi."
"Kamu yang lebih menarik, Mario. Pertama kali aku lihat orang senang setelah dimaki."
"Bukan dimaki. Apa yang kamu katakan semuanya benar. Kebenaran memang menyakitkan tapi tidak salah." Götze berkata serius. Ini konsisten dengan pandangannya kemarin, sepertinya Götze tipe orang yang berpegang pada prinsip...
Menghadapi Götze seperti ini, Zhou Yi sampai tidak bisa bicara.
"Kamu tahu tapi tetap melakukannya!"
"Ini memang kekuranganku, tapi kekurangan dan kelebihan adalah bagian dariku. Aku akan berusaha memperbaiki, tapi tidak akan gelisah karenanya." Götze berkata dengan wajah tenang.
Zhou Yi menatap jenius yang satu tahun lebih muda ini, menghela nafas: "Kamu benar-benar unik, Mario... Tapi aku salut bisa hidup seyakin ini."
Götze tertawa: "Terima kasih pujiannya, Zhou Yi. Sebenarnya menurutku kamu juga cukup unik."
Tampaknya dia mengartikan kata "unik" dari Zhou Yi sebagai "yang spesial" seperti klaim Mourinho...
"'Unik' bukan kata pujian!"
