"Keesokan harinya, saat Zhou Yi bangun dari tempat tidur dan menguap, dia mendengar suara lemah Mark di sebelahnya: 'Kamu tidur nyenyak semalam, Zhou Yi?'"
Zhou Yi menoleh: "Apa kamu tidak tidur nyenyak?"
Mark menunjuk lingkaran hitam di matanya: "Menurutmu ini terlihat seperti orang yang tidur nyenyak?"
"Hmm..."
"Aku bahkan tidak tahu kapan tertidur, lalu bangun sangat pagi..." kata Mark dengan wajah muram.
"Ini tidak baik, Mark. Hari ini ada final, kalau istirahatmu kurang, bagaimana nanti mencetak gol di lapangan?"
"Justru karena final!" seru Mark. "Setiap kali memikirkan final, aku jadi gugup, lalu tidak bisa tidur..."
"Setelah makan siang sepertinya ada waktu istirahat siang. Kamu harus tidur nyenyak tanpa memikirkan apapun." Zhou Yi turun dari tempat tidur. "Kalau masih tidak bisa tidur, aku bisa membantumu."
"Bantu bagaimana?" tanya Mark.
"Pukul sampai pingsan!"
Mark menggelengkan kepala.
Setelah makan siang, Mark benar-benar mengikuti nasihat Zhou Yi untuk istirahat siang. Mungkin karena kelelahan, kali ini Mark langsung tertidur begitu menyentuh kasur.
Saat Mark terbangun, Zhou Yi sedang membaca buku di sofa kamar.
Mendengar suara dari tempat tidur Mark, dia bertanya: "Bagaimana tidurnya?"
"Nyenyak." Mark menguap sambil meregangkan badan.
“Bagus, kesempatan kita juara semakin besar!” Zhou Yi menutup buku sambil berkata.
“Hei, jangan bicara seolah-olah hanya mengandalkan aku untuk juara...” Mark menggerutu, “Kau bikin aku gugur nanti...”
“Kita trio penyerang, jika salah satu dari trio tidak oke, mustahil mengeluarkan kekuatan penuh trio. Lagi pula kalau tekanan segini saja sudah bikin kau stres, nanti di tim utama tekanannya lebih besar lagi, apa kau mau pensiun dini?” Zhou Yi melirik Mark, “Nanti saat konferensi pers pensiunmu mau bilang apa? 'Ah, persaingan di tim utama terlalu ketat, delapan puluh ribu penonton menonton pertandingan, banyak lensa kamera mengarahiku, tekanan terlalu besar. Aku berhenti main, pulang jadi orang biasa saja!' Bagaimana menurutmu?”
“Sangat konyol.”
“Nah kan?” Zhou Yi membuka tangannya, “Mark, jika kau ingin menjadi seperti yang kau impikan, anggap saja final Piala Jerman ini sebagai latihan.”
“Aku mengerti, Zhou Yi.” Mark mengangguk.
Zhou Yi benar. Untuk menjadi pemain profesional yang kompeten, harus bisa menahan tekanan. Jika tidak bisa, lebih baik segera menyerah.
……
“Kita datang terlalu pagi?” Nyonya Wagner berdiri di tribun Stadion Olimpiade Berlin sambil memandang ke sekeliling. Pandangannya hanya menjumpai area yang masih kosong.
“Ini adalah stadion olahraga multifungsi yang bisa menampung 75.000 penonton, dengan jalur atletik biru putih. Tapi sekarang tribun stadion ini tidak terisi banyak orang. Penonton tersebar di empat sisi tribun, jumlahnya sangat sedikit.”
“Pertandingan tim muda bisa dapat berapa penonton?” kata Kottane.
“Tapi ini final Piala Jerman!” sanggah Nyonya Wagner pada putrinya.
“Ini Piala Jerman U19, Ibu. Kalau bukan karena adik laki-laki masuk final, kita bahkan tidak akan menonton siaran TV ini. Sudah lumayan banyak yang datang nonton langsung,” kata Kottane.
Nyonya Wagner menghela napas, menyesali fakta bahwa performa putranya di final Piala Jerman tidak bisa disaksikan lebih banyak orang.
……
Saat bus pemain Borussia Dortmund U19 tiba di luar Stadion Olimpiade Berlin, mereka tidak melihat kerumunan suporter yang mereka bayangkan sedang bersorak di pinggir jalan.
Ini membuat semua orang agak kecewa.
“Kok sepi sekali?” Mark melihat ke sekitar lama-lama tapi hanya melihat sedikit suporter Borussia Dortmund.
“Lha ini kan pertandingan tim muda,” kata Zhou Yi sambil melihat ke luar.
Stadion Olimpiade Jerman, dia pernah melihatnya di siaran langsung Piala Dunia 2006 di Jerman, tapi hari ini adalah yang paling dekat dia dengan venue final Piala Dunia itu.
“Zhou Yi, kenapa aku merasa kamu sama sekali tidak gugup?” Mark menoleh ke Zhou Yi.
“Apa yang perlu gugup ini?” Zhou Yi menunjuk ke luar yang sepi.
“Tidak, tidak ada hubungannya dengan banyaknya orang. Bagaimanapun ini juga Final Piala Jerman.” kata Mark.
“Ah, kita nanti pasti akan main di Final Liga Champions. Final Piala Jerman U19 kecil begini mana mungkin bikin aku grogi?” Zhou Yi menyindir ucapan Mark.
“Final Liga Champions?” Mendengar ini, Mark tertegun.
Saat ini dia baru bisa bermain di Final Piala Jerman U19 bersama Borussia Dortmund U19, tapi Zhou Yi sudah memikirkan Final Liga Champions. Harus dikatakan dia terlalu mengkhayal atau berani?
Götze yang duduk di belakang langsung mencondongkan badan: “Iya, Zhou Yi benar. Dan bukan cuma Final Liga Champions, aku juga mau main di Final Piala Dunia nanti!”
Zhou Yi meliriknya curiga, merasa ada maksud tersembunyi dalam kata-kata Götze - Final Liga Champions masih mungkin, tapi sebagai orang China, Final Piala Dunia itu terlalu mustahil!
“Final Piala Dunia?” Mark semakin terpana.
Zhou Yi menepuk bahu Mark: “Sadarlah. Final Piala Dunia masih terlalu jauh. Lebih baik fokus pada realitas, baru bisa melangkah lebih jauh.”
Götze berkata: “Seolah Final Liga Champions itu realistis. Lebih baik fokus dulu ke pertandingan hari ini. Aku tidak mau pulang dari Berlin dengan tangan hampa.”
Saat mereka berbincang, mobil berhenti. Mereka telah tiba.
Pemain muda turun dari mobil bersama para pelatih, tidak ada sorakan suporter yang berkumpul, juga tidak ada jurnalis media yang menyambut mereka dengan peralatan kamera lengkap.
Dibandingkan dengan final Piala Jerman tim dewasa yang akan digelar dua hari kemudian, pertandingan level remaja tidak banyak menarik minat orang.
……
Setelah masuk ke ruang ganti, semua mulai berganti pakaian untuk pemanasan. Tapi Zhou Yi setelah siap, bukannya ikut keluar bersama yang lain, malah mengeluarkan kamera digital dan meminta Mark memotretnya di depan lokernya.
Memegang kamera, Mark menekan shutter saat melihat Zhou Yi berpose di jendela bidik. Saat hendak mengembalikan kamera, Zhou Yi mengibaskan tangan: "Tunggu, ganti pose dulu beberapa kali."
Mark menggeleng: "Kita harus pemanasan, Zhou Yi..."
"Nggak lama kok. Cepat, Mark!" Sambil berbicara, Zhou Yi sudah berganti pose lagi.
Akhirnya Mark memotret beberapa kali sesuai permintaan Zhou Yi. Setelah memeriksa kualitas foto satu per satu, barulah Zhou Yi menyimpan kameranya kembali ke tas, lalu pergi pemanasan bersama Mark - saat itu ruang ganti hanya tersisa mereka berdua.
"Pas pertandingan sebelumnya juga nggak lihat kamu foto-foto?" Mark heran.
"Ini kan final, nanti foto-foto ini dikirim ke orang tuaku. Mereka nggak bisa nonton langsung, di China juga pasti nggak ada siaran langsung." Zhou Yi menjelaskan. "Nanti kasih lihat foto-foto ini, biar mereka tahu aku main di final Piala Jerman."
“Oh, begitu rupanya…” Mark memahami Zhou Yi. Orang tua dan kakak perempuannya akan menonton pertandingan ini di tribun, mereka begitu dekat dengannya. Jika jumlah penonton sedikit, mungkin dia bahkan bisa mendengar teriakan dukungan Ibu untuknya.
Tapi bagaimana dengan Zhou Yi? Orang tuanya berada di dalam negeri, mustahil datang menonton pertandingan ini. Zhou Yi juga tak bisa mendengar sorak dukungan mereka.
Memikirkan ini, Mark tiba-tiba merasa dirinya begitu lemah.
Zhou Yi seorang diri jauh dari kampung halaman, datang ke Jerman yang asing, tapi tetap optimis dan kuat.
Lalu dirinya sendiri?
Tidak perlu berjauhan dari orang tua, setiap hari setelah latihan bisa pulang ke rumah, menikmati masakan Ibu yang lezat, bahkan bisa bermain di tim favoritnya sejak kecil.
Bagaimana mungkin dirinya sampai merasa gugup hanya karena final Piala Pemuda Jerman?
Dulu dia hanya menganggap Zhou Yi pintar, punya otak, banyak ide, berpengetahuan luas, sehingga mau mendengarkannya. Tapi sekarang baru dia pahami mengapa.
Karena kekuatan dan kepercayaan diri Zhou Yi selalu menjadi hal yang dia kagumi dan ingin miliki.
Dirinya juga ingin seperti Zhou Yi: percaya diri, kuat, dan bertekad mengejar tujuan tanpa ragu.
Maka mulai hari ini, dari pertandingan inilah.
Menjadi pribadi yang percaya diri dan mandiri.
Mark berjalan mengikuti di belakang Zhou Yi menuju lapangan.
"Ketegangan menjelang pertandingan final mulai mereda dari dirinya."
……
"Belum selesai juga?"
Di rumah Zhou Yi di China, Li Cuiyun membawa secangkir air hangat dan duduk di samping suaminya.
Suaminya, Zhou Jianliang, sibuk menekan berbagai tombol di depan komputer, terus berpindah antara desktop dan halaman web.
"Masih berusaha, semuanya dalam bahasa Inggris, susah dimengerti..." Zhou Jianliang menyentakkan kacamatanya di pangkal hidung, lalu membuka-buka kamus Inggris-Mandarin yang tergeletak di meja sambil menunjuk-nunjuk halaman.
"Kapan pertandingan anak kita dimulai?"
"Di sini jam tengah malam tanggal 30."
Li Cuiyun melirik waktu di pojok kanan bawah layar: "Sudah pukul 23.50! Tinggal 10 menit lagi, kamu bisa selesai?"
"Aku berusaha! Yang penting kamu bisa nonton pertandingan si kecil!"
"Hmph, bukannya kamu yang paling ingin nonton?" Li Cuiyun merebut kamus, "Cara pakai software itu cari di internet. Kalau ada kata bahasa Inggris nggak ngerti, aku yang bantu cari."
"Oke."
"Ini artinya 'registrasi' ya? Harus bikin akun dulu..."
"Lah ini maksudnya apa?"
Pasangan suami istri itu saling mendekatkan kepala, sambil bolak-balik kamus mencoba memahami layar komputer.
