Setelah final berakhir, keesokan harinya tim kembali ke Dortmund membawa piala juara.
Berbeda dengan perayaan meriah setelah tim utama meraih gelar, Tim Junior Borussia Dortmund yang menjuarai kompetisi tidak disambut oleh suporter di sepanjang jalan.
Mereka langsung kembali ke Basis Pelatihan Brackel dengan bus, tanpa sorak-sorai, tepuk tangan, bunga, ataupun gadis cantik.
Namun pemain tim junior tampaknya sudah terbiasa dengan situasi tanpa apresiasi ini, tak ada yang mengeluh.
Sekaligus ini menjadi motivasi mereka untuk masuk ke tim utama - Siapa yang mau terus tenggelam dalam ketidakternamaan di tim junior? Siapa yang tidak ingin menjadi bintang sejati di tim utama dan meraih sorakan ribuan orang?
Di Basis Pelatihan Brackel, Peter Hyballa berpidato di depan seluruh pemain yang turun dari bus: "Dua gelar juara, musim ini sungguh luar biasa bagi kalian. Aku juga bangga kita bisa meraih prestasi gemilang ini. Gelar juara adalah hadiah terbaik untuk kita. Sekarang, terima kasih atas kerja keras kalian sepanjang musim. Kalian bisa istirahat sejenak. Hingga 15 Juli, kita akan berkumpul kembali. Sekarang, bubar!"
Para pemain bersorak gembira, akhirnya bisa beristirahat dengan tenang!
"Luar biasa!" Mark bertepuk tangan sambil bertanya ke Zhou Yi di sampingnya, "Zhou Yi, apa kamu akan pulang ke rumah?"
“Hm.” Zhou Yi mengangguk. Delapan bulan, delapan ribu kilometer, ini adalah kali pertama dia meninggalkan rumah selama dan sejauh ini. Memang dia juga mulai rindu kampung halaman. Tentu saja, sekaligus ingin pulang untuk pamer prestasi yang diraihnya di Jerman. “Mark, mau ikut aku jalan-jalan ke China?”
Zhou Yi mengajak Mark.
Dia tak henti-hentinya membanggakan betapa maju dan modernnya China saat ini pada Mark, juga pernah berjanji akan mengajak Mark jalan-jalan ke China untuk melihat metropolis internasional yang sesungguhnya sekaligus mencicipi kuliner Tiongkok.
Saat itu Mark juga mengungkapkan keinginan kuatnya untuk mengunjungi China.
Jadi Zhou Yi yakin Mark pasti akan langsung menyetujui ajakannya.
Tapi reaksi Mark justru mengejutkannya – Mark menggelengkan kepala!
“Uh, lebih baik tidak, Zhou Yi.”
“Kenapa? Takut kubawa ke China untuk dijual?” Zhou Yi heran. “Tenang, wajahmu model begini di China nggak laku.”
Mark melirik ke atas, lalu menjelaskan dengan serius: “Bukan itu alasannya, Zhou Yi. Sebenarnya liburan ini aku tidak akan ke mana-mana, tetap di Dortmund, di rumah. Meski sangat ingin ke China, tapi musim panas ini ada hal yang lebih penting daripada jalan-jalan ke China.”
“Hal apa?”
"Delapan bulan ini adalah periode kemajuan terbesarku, Zhou Yi. Terima kasih atas bantuanmu. Tapi kurasa kemajuanku masih belum cukup cepat dan baik. Jadi aku ingin memanfaatkan liburan untuk meningkatkan kemampuanku di rumah, baik fisik maupun teknikal..." kata Mark. "Jadi, China harus ditunda dulu, Zhou Yi."
Zhou Yi tak menyangka Mark bisa sepenuh hati seperti ini. Ia tertegun sejenak lalu tertawa: "Bagus juga. Kalau bukan karena rindu rumah, pasti aku akan menemanimu di sini, Mark! Karena aku juga merasa masih belum cukup kuat!"
Mark yang dipuji Zhou Yi jadi malu-malu garuk kepala: "Sampaikan salamku untuk Ayah dan Ibumu, Zhou Yi. Tahun depan pasti aku temani kamu pulang ke China!"
"Baik, tahun depan jangan ingkar janji ya!"
"Pasti! Tidak mungkin tidak!"
……
Setiba di rumah Mark, Zhou Yi buru-buru menelepon nomor telepon rumahnya.
Saat ini jam 1:30 siang waktu Dortmund, yang berarti jam 7:30 malam waktu Beijing di China.
Kebetulan kedua orang tuanya sudah pulang kerja.
Telepon diangkat setelah berdering tiga kali.
"Halo, siapa ini?" Suara Ayah terdengar dari gagang telepon.
"Ayah, ini aku, Zhou Yi." Ucap Zhou Yi.
"Wah, akhirnya kamu ingat menelepon rumah!" Suara Zhou Jianliang langsung berubah mendengar suara anaknya.
Li Cuiyun yang sedang sibuk di sampingnya langsung berhenti bekerja dan menyimak.
Zhou Jianliang memperhatikan gerakan kecil istrinya itu, lalu menekan tombol speaker dan meletakkan mikrofon.
Di sisi lain, segera terdengar suara Zhou Yi yang terdengar agak jujur: "Telepon internasional terlalu mahal, aku ini sedang menghemat pengeluaran kalian…"
"Kalau memang merasa telepon internasional mahal, cepatlah bicara hal penting."
"Ah, kami baru saja memenangkan gelar juara liga, Ayah. Double champion lho! Keren nggak?"
Zhou Jianliang tak menyangka Zhou Yi menggunakan kata-kata seperti itu, batuk kecil dengan canggung. Dari samping terdengar suara Li Cuiyun: "Rupanya kalian berdua biasa bicara seperti ini ya."
Zhou Yi di ujung telepon terkejut mendengar suara ibunya tiba-tiba muncul, buru-buru membenarkan: "Nggak kok, Bu. Aku ini baru menang double champion, jadi agak semangat. Ha, agak semangat. Biasanya obrolan dengan Ayah selalu serius dan sopan… Ngomong-ngomong, musim kompetisi sudah selesai, ada liburan dua minggu, rencananya aku mau pulang…"
"Kamu mau pulang?" Zhou Jianliang terdengar girang. "Bagus dong, buruan pesan tiket pesawat! Mau makan apa, bilang, biar Ibumu masakin!"
"Daging, banyak-banyak daging!"
"Bukannya kamu ingin jadi pemain profesional? Makan banyak daging bisa gendut…" Zhou Jianliang tiba-tiba tersadar, "Kamu masih perlu menambah berat badan ya?"
"Iya, pelatih bilang aku masih agak kurus."
“Baik, kalau begitu hanya makan daging sapi saja.” Zhou Jianliang melirik Li Cuiyun. Sang istri sedang menuliskan resep di buku catatannya sambil bertanya tanpa mengangkat kepala: “Kapan kamu bisa masuk tim utama, Zhou Yi? Waktu kamu berangkat dulu, sekolah kan menyimpan statusmu selama setahun?”
“Ah, Bu, aku sudah menjuarai dua gelar di tim muda. Buat apa kembali sekolah!” Zhou Yi yang baru saja menjadi juara ganda sekarang penuh percaya diri, kalimat seperti ini sebelumnya tidak berani dia ucapkan di depan ibunya.
Zhou Jianliang justru melihat istrinya dengan cemas dari samping, khawatir dia akan marah.
“Oh, baik.” Tak disangka Li Cuiyun hanya bertanya biasa saja, tidak berniat menegur.
Zhou Jianliang menghela napas lega, Zhou Yi juga terkejut dengan reaksi ibunya. Untuk sesaat, suasana di telepon menjadi hening.
Li Cuiyun bertanya: “Masih ada urusan lain?”
“Eh... tidak ada,” jawab Zhou Yi.
“Kalau tidak ada, tutup saja. Ini telepon internasional yang mahal itu.” Li Cuiyun masih mengingat biaya telepon internasional lebih mahal dari telepon lokal.
“Oh, baik...”
Zhou Yi menuruti perintah mematikan telepon. Memegang mikrofon, dia masih termenung – kenapa ibu tidak berkomentar soal niatnya tidak mau kembali sekolah? Biasanya, dia selalu memberi ceramah beberapa patah kata.
Daripada bingung memikirkannya, lebih baik tidak dipikirkan. Bagaimanapun, ibunya tidak mengomel tentu hal yang baik bagi Zhou Yi sendiri.
Setelah menaruh telepon, Zhou Yi bersiap naik ke lantai atas untuk memesan tiket pulang ke Tiongkok. Tepat saat ia baru saja naik tangga, telepon di bawah berbunyi lagi.
Nyonya Wagner yang sedang memanggang kue kering di dapur menyambut telepon sambil mengelap tangan, sementara Zhou Yi terus melanjutkan langkahnya.
Namun ketika baru sampai di depan pintu kamarnya, terdengar teriakan Nyonya Wagner: "Zhou Yi! Zhou Yi! Turunlah ambil telepon!"
Zhou Yi heran, biasanya tak ada yang menelepon ke rumah Markus hanya untuk mencari dirinya...
Dengan penuh kecurigaan ia turun, melihat Nyonya Wagner memegang mikrofon sambil mengedipkan mata: "Telepon dari klub."
Zhou Yi mengambil mikrofon: "Halo, saya Zhou Yi."
"Hai Zhou Yi, ini Lars Ricken."
"Ah, Tuan Ricken." Zhou Yi tak menyangka Kepala Pelatih Akademi Lars Ricken yang menelepon. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Eh, bisakah kamu dan Markus Wagner datang ke klub sore ini?"
"Brackel?"
"Ya."
Zhou Yi penasaran: "Boleh saya tahu ini mengenai apa, Tuan Ricken?"
"Tentu, kabar baik. Klub berencana menandatangani kontrak profesional dengan kalian berdua."
Zhou Yi membeku memegang gagang telepon.
"Halo? Zhou Yi? Masih di sana?" Ricken tak mendengar suara dan mengira sambungan terputus.
Tiba-tiba terdengar lengkingan gembira seperti lolongan serigala dari seberang sana.
“WOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO——！！”
Teriakan tiba-tiba ini membuat Lars Ricken hampir menjatuhkan telepon genggamnya. Meski cepat menjauhkan ponsel dari telinga, dia tetap mengerang kesakitan akibat suara yang mengguncang itu.
……
Mark sedang bermain game di kamarnya. Borussia Dortmund yang dikendalikannya sedang bertanding melawan Barcelona di Final Liga Champions. Pertandingan memasuki menit ke-88 dengan skor 0-1, Borussia tertinggal dari Barcelona.
Mark terlihat sangat tegang - sebelum pertandingan ini dia lupa menyimpan progres! Jika kalah dalam pertandingan ini, berarti semua usahanya sepanjang musim sia-sia. Borussia akan kehilangan kejuaraan tertinggi klub, Liga Champions Eropa.
Tangannya yang menggenggam stik game hampir basah oleh keringat karena gugup.
Pada momen krusial ini, setelah serangkaian umpan brilian dan keberuntungan besar, Mark berhasil membawa bola ke area penalti Barcelona. Karakter virtual barunya yang dibangun ulang akhirnya menerima umpan.
Saatnya menembak!
Persis ketika jarinya akan menekan tombol tembak, tiba-tiba...
Suara lolongan serigala yang menggelegar menggema dari lantai bawah!
“WOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO——！！”
Tangan Mark yang berkeringat licin saat menekan tombol. Tragisnya, stik game terlepas dari genggaman dan jatuh ke lantai.
Di dalam game, karakternya hanya berdiam diri setelah menerima bola, lalu direbut oleh bek tengah Barcelona, Piqué...
